Siapa
yang tidak kenal sosok Gus Dur di Indonesia, sosok Kyai NU yang eksentrik dan
banyak menuai berbagai pujian serta kecaman. Hal ini karena sosok Gus Dur
sendiri yang memang terkadang memunculkan gagasan-gagasan baru yang umumnya
kurang familiar di telinga masyarakat Indonesia, sehingga menjadi bahan tabu
untuk dibicarakan (kontroversi). Gus Dur sendiri adalah seorang putra dari
tokoh nasioanl yang juga pahlawan nasional yang ikut andil merumuskan
butir-butir PANCASILA yaitu KH. Wahid Hasyim, yang juga merupakan putra dari
seorang ulama besar dan juga sekaligus pendiri organisasi NU, KH. Hasyim
Asya’ari dengan gelarnya yang diberikan oleh warga Nahdhiyin sebagai Hadratus
Syaikh (Guru Agung).
Dengan
latar belakang keturunan orang-orang besar (ulama besar) ini, Gus Dur tumbuh
dan berkembang, dan dengan kultur keislaman yang ia temukan sejak kecil baik dari
ayah maupun kakeknya, juga sangat berperan besar dalam membangun karakter
seorang Gus Dur, baik dari sikap maupun prisip. Dibesarkan di linkungan
pesatren, dan akrab dengan oragnisasi NU, serta telah bersentuhan langsung
sejak dini melalui ayahnya dengan dunia politik, telah menjadikan pemikiran
seorang Gus Dur sangat matang baik dari sisi agama, politik, sosial, serta
budaya. Sebagaiman kita ketahui bahwa NU sebagai organisasi yang mengedepankan
prinsip toleransi terhadap perbedaan juga sebagai organisasi yang
memperjuangkan betul keutuhan hidup berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI
dan Bineka Tunggal Ika, inilah juga menumbuhkan sikap bersahabatnya Gus Dur
dalam menghargai setiap perbedaan yang ada, dan juga memupuk jiwa patriotisme
dan nasionalisme yang sempurna di dalam diri seorang Gus Dur.
Berangkat
dari itu semua, Gus Dur menjalani kehidupannya sebagai seorang Kyai, politikus,
budayawan, serta warga Negara Indonesia. Dengan menyadari dan menerima
kenyataan, bahwa Negara Indonesia sebagai Negara yang berdiri di atas berbagai
macam suku, bangsa, serta agama yang berbeda yang selalu beresiko memunculkan
konflik horizontal antar warga negara, Gus Dur selalu menawarkan dan mengajak
untuk hidup toleran terhadap semua perbedaan yang ada. Sebab dalam pandangannya
setiap orang berhak dan bebas meyakini dan menjalankan apa yang bagi mereka
benar dan yakini, tanpa harus mendapat gangguan dan intervensi dari pihak manapun, baginya tidak ada istilah
mayoritas dan minoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara, semua harus hidup
damai dalam kebinekaan.
Bagi
Gus Dur sendiri perbedaan adalah suatu keniscayaan dan tak dapat dihindarkan,
terlebih jika kita hidup di Negara Indonesia yang memang sudah ditakdirkan
Tuhan untuk beragam. Ketika pada tahun 1979 setahun sebelum Gus Dur menjabat
sebagai ketua umum PB NU, yaitu ketika ia masih menjabat sebagai Tanfidziyah
(Dewan Eksekutif PB NU), KH Ahmad Sidiq yang menjabat sebagai Ro’is ‘Aam
(Ketua Dewan Syuriah Pengurus Pusat), yang berhasil merumuskan tiga sikap
yang harus dimiliki warga NU dalam menjalankan ajaran Islam-Pengikut Ahlussunah
wal jamaah, di mana tiga sikap itu antara lain: al-tawasuth (berada di
tengah), al-I’tidal (adil), dan tawazun (keseimbangan), Gus Dur
bersama Kyai Sidiq menambahkan dua sikap lagi sebagai pedoman warga NU dalam
bersikap dan beribadah yaitu: al-Tasamuh (bentuk sikap toleransi kepada
perbedaan agama, sosial, serta budaya), dan al-amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an
al-munkar (mengajak berbuat baik dan mencegah perbuatan buruk). (Gustiana, 2012)
Dalam
konteks kebangsaan, ia menyadari betul bahwa umat Islam sebagai umat mayoritas
di lingkungan Negara yang majemuk ini, ada sebagian kelompok orang menginginkan
agar Indonesia menjadi Negara Islam, dan harus menerapkan aturan-aturan
Islam secara formil. Hal ini dilihat
oleh Gus Dur sebagai suatu yang harus segera diselesaikan dan dicarikan
solusinya, sebab dalam pandangannya meskipun Indonesia sebagai Negara yang mayoritas
umat Islam tidak bisa lantas harus menjadikan Indonesia sebagai Negara yang
menerapkan aturan Islam secar formil, dengan mengabaikan umat-umat lain, serta
kelompok bangsa tertentu yang tidak Islam dan hidup di Indonesia. Sebab
bilamana umat Islam memaksakan untuk menerapkan aturan-aturan secara formil
maka dikhawatirkan akan menimbulkan konflik, dan menyebabkan NKRI menjadi
bubar.
Melalui
pendekatan sosio-budaya Gus Dur berupaya untuk memperkenalkan nilai-nilai Islam
kepada masyarakat. Pendekatan ini memberikan keleluasaan dan prioritas untuk
mengembangkan sarana dan wawasan budaya, di mana budaya dijadikan sebagai suatu
metode untuk mengembangkan sebuah sistem sosial yang sesuai dengan wawasan
budaya, yang juga hal ini menekankan pada kegiatan budaya guna membangun
institusi yang dapat mendukung transformasi sistem sosial secara bertahap
melalui evolusi. (Gustiana; 2012) Jika kita mengenal pemikiran agama secara
umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu pemikiran yang bersifat substansial dan
tekstual, maka dalam menykipai persoalan di atas tadi Gus Dur berada dalam
kategori substansial. Dengan pendekatan inilah Gus Dur ia kemudian mengusulkan untuk
menjadikan ide Islam sebagai upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
universal Islam di Indonesia dengan berbagai budaya yang ada. Dalam konteks ini
sekali lagi ia memandang bahwa budaya Islam bukanlah satu-satunya budaya yang
eksis di Indonesia, ia melihat bahwa budaya Islam adalah pelengkap bagi budaya
Indonesia secara keseluruhan, dengan pemikiran ini, ia mengharapkan bahwa
masyarakat Islam memiliki kesadaran nasioanl dan begitu pun Indonesia sebagai
suatu Negara yang mejemuk harus dikembangkan berdasarkan kesadaran ini.
Dalam
hal lain, misalnya dalam mengatasi dominasi mayoritas terhadap minoritas, serta
praktek-praktek kekerasan oleh suatu kelompok terhadap kelompo-kelompok
tertentu, ia selalu berusaha untuk melindungi segenap komponen bangsa yang
mendapat perlakuan tidak adil itu, bukan karena ia satu ideologi dengan mereka,
namun ia lebih melihat bahwa setiap manusia haruslah mendapatkan perlakuan yang
manusia oleh sesamanya, dan nilai-nilai kemanusiaan haruslah mendapat junjungan
serta perhatian yang tinggi dan harus dikedepankan, terlebih jika mereka adalah
warga yang sah secara hukum sebagai warga Negara Indonesia yang tentunya
memiliki hak serta kewajiban yang sama dengan yang lainnya, bagi Gus Dur jika
kita saja dapat meyakini apa yang kita percayai, masak orang lain tidak boleh
meyakini apa yang mereka percayai.
Suatu
contoh kasus di mana Gus Dur benar-benar menunjukan loyalitas terhadap prinsip
serta apa yang ia yakini, di mana ketika terjadi kerusuhan di Jawa Timur yang
melibatkan warga NU yang merusak serta membakar gereja milik umat kristiani di
sana, Gus Dur dengan jujur mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh oknum
NU itu salah, dan Gus Dur turun langsung ke masyarakat yang menjadi Korban dan
meminta maaf atas kejadian itu pada mereka dan pastur setempat. Begitu juga
ketika ia membela warga Ahmadiyah atas ketidakadilan yang di dapat, membela
Inul serta Dorce. Hal ini semua dilakukan bukan karena ia membenarkan semua
kesalahan yang mungkin terjadi, namun ia melihat bahwa seseorang harus
dilindungi sebagai makhluk ciptaan Ilahi yang tidak mendapat dukungan dari yang
lain. Serta sikapnya yang memberikan kesempatan untuk warga Syi’ah menjalankan
ibadahnya di masjid dekat rumahnya, serta bersikap seimbang atas
pemikiran-pemikiran terhadap berbagai kelompok atau mazhab seperti Mu’tazilah
dan Syi’ah yang notabene berseberangan pemikiran dengan mazhab sunni dalam hal
ini terkhusus NU. Ini adalah salah satu sikap dari seorang ‘alim yang teguh
menjalankan prinsip-prinsipnya membela kemanusiaan meski ia harus mendapatkan
perlawanan dan penentangan baik dari luar organisasinya maupun dari dalam
organisasinya. Maka ada sebagian pandangan yang mengatakan, meski Gus Dur
adalah seorang ulama NU tapi segala tindakan yang ia lakukan tidak selalu untuk
NU tapi lebih banyak bersifat umum dan universal, sehingga banyak kalangan dari
luar NU dan muslim simpati padanya atas sikapnya yang merangkul semua golongan,
segala yang ia lakukan lebih didasari
atas prinsip diri sendiri yang ia yakini.
Bagi Gus Dur untuk menjadi
muslim yang baik tidaklah cukup dengan memilki keyakinan yang teguh atas
keyakinan tauhidnya, melainkan juga adalah orang yang sanggup untuk hidup
bersama dengan masyarakat yang memilki pandangan hidup keyakinan dan agama yang
berbeda-beda. Siapapun pasti menganggap keyakinannyalah yang benar, dan
keyakinan yang lain adalah salah. Itu merupakan suatu logika yang wajar. Justru
akan menjadi aneh jika ada orang yang
meragukan kebenaran dari keyakinannya sendiri. Biarkan orang lain beragama
menurut cara dan keyakinan mereka, kita pun sebagai umat Islam menjalani
kehidupan secara Islami. Kewajiban kita sebagai umat beragama adalah saling
menghormati dan menghargai keyakinan dan agama orang lain, itulah yang pernah
diajarkan oleh Gus Dur pada Bangsa ini.
Meskipun banyak
yang membencinya akibat sikap “kontroversialnya” baik dikalangan NU Khususnya,
dan Islam pada umumnya, namun tidak sedikitpun menggoyahkan prinsipnya, dan
juga yang mencintai dan mendukungnya tidak sedikit pula. Itu kita bisa lihat pada
30 Desember 2009 (wafatnya Gus Dur) betapa banyak orang merasa kehilangan.
Bahkan orang-orang yang dahulu membenci dan memusuhinya akhirnya paham bahwa
Gus Dur adalah sosok yang tidak kontroversial. Terlepas dari yang pro maupun
yang kontra. Yang jelas Gus Dur adalah salah satu tokoh bagi bangsa ini yang
menjunjung nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan di atas kebinekaan berbangsa
dan bernegara yang berasas PANCASILA.. Maka tidak salah jika Buya Syafi’i Ma’arif
(mantan ketua umum Muhammadiyah) dan Muhammad Najib (Pengurus Pusat
Muhammadiyah) mengatakan Gus Dur adalah sosok yang multidimensi. Dan yang
terpenting adalah Gus Dur merupakan guru bangsa untuk semua.








0 komentar:
Posting Komentar