Jumat, 11 Maret 2016

Gus Dur dan Perbedaan

Siapa yang tidak kenal sosok Gus Dur di Indonesia, sosok Kyai NU yang eksentrik dan banyak menuai berbagai pujian serta kecaman. Hal ini karena sosok Gus Dur sendiri yang memang terkadang memunculkan gagasan-gagasan baru yang umumnya kurang familiar di telinga masyarakat Indonesia, sehingga menjadi bahan tabu untuk dibicarakan (kontroversi). Gus Dur sendiri adalah seorang putra dari tokoh nasioanl yang juga pahlawan nasional yang ikut andil merumuskan butir-butir PANCASILA yaitu KH. Wahid Hasyim, yang juga merupakan putra dari seorang ulama besar dan juga sekaligus pendiri organisasi NU, KH. Hasyim Asya’ari dengan gelarnya yang diberikan oleh warga Nahdhiyin sebagai Hadratus Syaikh (Guru Agung).


Dengan latar belakang keturunan orang-orang besar (ulama besar) ini, Gus Dur tumbuh dan berkembang, dan dengan kultur keislaman yang ia temukan sejak kecil baik dari ayah maupun kakeknya, juga sangat berperan besar dalam membangun karakter seorang Gus Dur, baik dari sikap maupun prisip. Dibesarkan di linkungan pesatren, dan akrab dengan oragnisasi NU, serta telah bersentuhan langsung sejak dini melalui ayahnya dengan dunia politik, telah menjadikan pemikiran seorang Gus Dur sangat matang baik dari sisi agama, politik, sosial, serta budaya. Sebagaiman kita ketahui bahwa NU sebagai organisasi yang mengedepankan prinsip toleransi terhadap perbedaan juga sebagai organisasi yang memperjuangkan betul keutuhan hidup berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI dan Bineka Tunggal Ika, inilah juga menumbuhkan sikap bersahabatnya Gus Dur dalam menghargai setiap perbedaan yang ada, dan juga memupuk jiwa patriotisme dan nasionalisme yang sempurna di dalam diri seorang Gus Dur.
Berangkat dari itu semua, Gus Dur menjalani kehidupannya sebagai seorang Kyai, politikus, budayawan, serta warga Negara Indonesia. Dengan menyadari dan menerima kenyataan, bahwa Negara Indonesia sebagai Negara yang berdiri di atas berbagai macam suku, bangsa, serta agama yang berbeda yang selalu beresiko memunculkan konflik horizontal antar warga negara, Gus Dur selalu menawarkan dan mengajak untuk hidup toleran terhadap semua perbedaan yang ada. Sebab dalam pandangannya setiap orang berhak dan bebas meyakini dan menjalankan apa yang bagi mereka benar dan yakini, tanpa harus mendapat gangguan dan intervensi dari  pihak manapun, baginya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara, semua harus hidup damai dalam kebinekaan.
Bagi Gus Dur sendiri perbedaan adalah suatu keniscayaan dan tak dapat dihindarkan, terlebih jika kita hidup di Negara Indonesia yang memang sudah ditakdirkan Tuhan untuk beragam. Ketika pada tahun 1979 setahun sebelum Gus Dur menjabat sebagai ketua umum PB NU, yaitu ketika ia masih menjabat sebagai Tanfidziyah (Dewan Eksekutif PB NU), KH Ahmad Sidiq yang menjabat sebagai Ro’is ‘Aam (Ketua Dewan Syuriah Pengurus Pusat), yang berhasil merumuskan tiga sikap yang harus dimiliki warga NU dalam menjalankan ajaran Islam-Pengikut Ahlussunah wal jamaah, di mana tiga sikap itu antara lain: al-tawasuth (berada di tengah), al-I’tidal (adil), dan tawazun (keseimbangan), Gus Dur bersama Kyai Sidiq menambahkan dua sikap lagi sebagai pedoman warga NU dalam bersikap dan beribadah yaitu: al-Tasamuh (bentuk sikap toleransi kepada perbedaan agama, sosial, serta budaya), dan al-amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar (mengajak berbuat baik dan mencegah perbuatan buruk). (Gustiana, 2012)
Dalam konteks kebangsaan, ia menyadari betul bahwa umat Islam sebagai umat mayoritas di lingkungan Negara yang majemuk ini, ada sebagian kelompok orang menginginkan agar Indonesia menjadi Negara Islam, dan harus menerapkan aturan-aturan Islam  secara formil. Hal ini dilihat oleh Gus Dur sebagai suatu yang harus segera diselesaikan dan dicarikan solusinya, sebab dalam pandangannya meskipun Indonesia sebagai Negara yang mayoritas umat Islam tidak bisa lantas harus menjadikan Indonesia sebagai Negara yang menerapkan aturan Islam secar formil, dengan mengabaikan umat-umat lain, serta kelompok bangsa tertentu yang tidak Islam dan hidup di Indonesia. Sebab bilamana umat Islam memaksakan untuk menerapkan aturan-aturan secara formil maka dikhawatirkan akan menimbulkan konflik, dan menyebabkan NKRI menjadi bubar.
Melalui pendekatan sosio-budaya Gus Dur berupaya untuk memperkenalkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Pendekatan ini memberikan keleluasaan dan prioritas untuk mengembangkan sarana dan wawasan budaya, di mana budaya dijadikan sebagai suatu metode untuk mengembangkan sebuah sistem sosial yang sesuai dengan wawasan budaya, yang juga hal ini menekankan pada kegiatan budaya guna membangun institusi yang dapat mendukung transformasi sistem sosial secara bertahap melalui evolusi. (Gustiana; 2012) Jika kita mengenal pemikiran agama secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu pemikiran yang bersifat substansial dan tekstual, maka dalam menykipai persoalan di atas tadi Gus Dur berada dalam kategori substansial. Dengan pendekatan inilah Gus Dur ia kemudian mengusulkan untuk menjadikan ide Islam sebagai upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai universal Islam di Indonesia dengan berbagai budaya yang ada. Dalam konteks ini sekali lagi ia memandang bahwa budaya Islam bukanlah satu-satunya budaya yang eksis di Indonesia, ia melihat bahwa budaya Islam adalah pelengkap bagi budaya Indonesia secara keseluruhan, dengan pemikiran ini, ia mengharapkan bahwa masyarakat Islam memiliki kesadaran nasioanl dan begitu pun Indonesia sebagai suatu Negara yang mejemuk harus dikembangkan berdasarkan kesadaran ini.
Dalam hal lain, misalnya dalam mengatasi dominasi mayoritas terhadap minoritas, serta praktek-praktek kekerasan oleh suatu kelompok terhadap kelompo-kelompok tertentu, ia selalu berusaha untuk melindungi segenap komponen bangsa yang mendapat perlakuan tidak adil itu, bukan karena ia satu ideologi dengan mereka, namun ia lebih melihat bahwa setiap manusia haruslah mendapatkan perlakuan yang manusia oleh sesamanya, dan nilai-nilai kemanusiaan haruslah mendapat junjungan serta perhatian yang tinggi dan harus dikedepankan, terlebih jika mereka adalah warga yang sah secara hukum sebagai warga Negara Indonesia yang tentunya memiliki hak serta kewajiban yang sama dengan yang lainnya, bagi Gus Dur jika kita saja dapat meyakini apa yang kita percayai, masak orang lain tidak boleh meyakini apa yang mereka percayai.
Suatu contoh kasus di mana Gus Dur benar-benar menunjukan loyalitas terhadap prinsip serta apa yang ia yakini, di mana ketika terjadi kerusuhan di Jawa Timur yang melibatkan warga NU yang merusak serta membakar gereja milik umat kristiani di sana, Gus Dur dengan jujur mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh oknum NU itu salah, dan Gus Dur turun langsung ke masyarakat yang menjadi Korban dan meminta maaf atas kejadian itu pada mereka dan pastur setempat. Begitu juga ketika ia membela warga Ahmadiyah atas ketidakadilan yang di dapat, membela Inul serta Dorce. Hal ini semua dilakukan bukan karena ia membenarkan semua kesalahan yang mungkin terjadi, namun ia melihat bahwa seseorang harus dilindungi sebagai makhluk ciptaan Ilahi yang tidak mendapat dukungan dari yang lain. Serta sikapnya yang memberikan kesempatan untuk warga Syi’ah menjalankan ibadahnya di masjid dekat rumahnya, serta bersikap seimbang atas pemikiran-pemikiran terhadap berbagai kelompok atau mazhab seperti Mu’tazilah dan Syi’ah yang notabene berseberangan pemikiran dengan mazhab sunni dalam hal ini terkhusus NU. Ini adalah salah satu sikap dari seorang ‘alim yang teguh menjalankan prinsip-prinsipnya membela kemanusiaan meski ia harus mendapatkan perlawanan dan penentangan baik dari luar organisasinya maupun dari dalam organisasinya. Maka ada sebagian pandangan yang mengatakan, meski Gus Dur adalah seorang ulama NU tapi segala tindakan yang ia lakukan tidak selalu untuk NU tapi lebih banyak bersifat umum dan universal, sehingga banyak kalangan dari luar NU dan muslim simpati padanya atas sikapnya yang merangkul semua golongan, segala yang ia lakukan lebih  didasari atas prinsip diri sendiri yang ia yakini.
Bagi Gus Dur untuk menjadi  muslim yang baik tidaklah cukup dengan memilki keyakinan yang teguh atas keyakinan tauhidnya, melainkan juga adalah orang yang sanggup untuk hidup bersama dengan masyarakat yang memilki pandangan hidup keyakinan dan agama yang berbeda-beda. Siapapun pasti menganggap keyakinannyalah yang benar, dan keyakinan yang lain adalah salah. Itu merupakan suatu logika yang wajar. Justru akan menjadi aneh  jika ada orang yang meragukan kebenaran dari keyakinannya sendiri. Biarkan orang lain beragama menurut cara dan keyakinan mereka, kita pun sebagai umat Islam menjalani kehidupan secara Islami. Kewajiban kita sebagai umat beragama adalah saling menghormati dan menghargai keyakinan dan agama orang lain, itulah yang pernah diajarkan oleh Gus Dur pada Bangsa ini.

Meskipun banyak yang membencinya akibat sikap “kontroversialnya” baik dikalangan NU Khususnya, dan Islam pada umumnya, namun tidak sedikitpun menggoyahkan prinsipnya, dan juga yang mencintai dan mendukungnya tidak sedikit pula. Itu kita bisa lihat pada 30 Desember 2009 (wafatnya Gus Dur) betapa banyak orang merasa kehilangan. Bahkan orang-orang yang dahulu membenci dan memusuhinya akhirnya paham bahwa Gus Dur adalah sosok yang tidak kontroversial. Terlepas dari yang pro maupun yang kontra. Yang jelas Gus Dur adalah salah satu tokoh bagi bangsa ini yang menjunjung nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan di atas kebinekaan berbangsa dan bernegara yang berasas PANCASILA.. Maka tidak salah jika Buya Syafi’i Ma’arif (mantan ketua umum Muhammadiyah) dan Muhammad Najib (Pengurus Pusat Muhammadiyah) mengatakan Gus Dur adalah sosok yang multidimensi. Dan yang terpenting adalah Gus Dur merupakan guru bangsa untuk semua.

0 komentar:

Posting Komentar