Ilustrasi
Perempuan
dalam konteks kebudayaan
tak jarang dianggap sebagai sosok yang lemah dan tak berguna. Pandangan ini
muncul karena wanita dianggapnya tidak bisa berbuat apa-apa dan
bahkan
justru membebani kehidupan dalam keluarga
dan masyarakat. Dan ini pulalah yang terjadi pada masa Arab jahiliyah
pada masa sebelum kedatangan (bahkan
setelah
kedatangan) Nabi. Wanita pada masa tersebut dianggapnya sebagai
barang rongsokan dan hama dalam keluarga. Wanita dipandangnya sebagai aib,
sehingga dalam tradisi, mereka terbiasa
dengan membunuh anak-anak perempuan mereka dengan menguburnya secara
hidup-hidup untuk menutupi aib dari lingkungan masyaraktnya. Kalaupun harus
hidup, wanita itu tak memiliki hak apapun pada dirinya.
Begitulah
kira-kira gambaran singkat pandangan manusia dan masyarakat Arab jahiliyah pada
waktu itu tentang wanita. Salah
satu misi diutusnya Nabi Muhammad adalah bagaimana mengangkat harkat dan
martabat wanita dengan mengembalikan hak-hak mereka sesuai tempatnya. Misi
tersebut tidaklah mudah dilakukan oleh Nabi meski dia seorang Nabi, selain
karena harus melawan arus kebiasaan buruk masyarakat Arab, ia juga mengalami
kendala dalam masalah penerimaan akan deklarasinya sebagai utusan Tuhan, sebab
banyak sekali yang menentang dan melakukan perlawanan, terutama sekali mereka
yang akal dan hatinya telah mati.
Namun
kenyatan tersebut tak lantas membuatnya menyerah, ia terus berjuang dengan
sabar, hingga sampai pada akhirnya Allah mengirimnya seorang putri yang suci
untuk menemani perjuangannya, putri itu bernama Fatimah. Sosok yang lahir di
tengah pergolakan dan penentangan terhadap sosok perempuan, justru Allah
mengirimkan pada Nabi Muhammad seorang putri. Bukannya Nabi merasa malu apalagi
takut, tapi justru Nabi membutuhkan Fatimah sebagai bentuk wujud kongkrit
perjuangan melawan penindasan terhadap hak-hak perempuan. Fatimah lah yang
kemudian menjadi sosok yang tak dapat dipisahkan dari sosok Muhammad dalam
perjuangan Islam.
Maka
dalam tulisan
sederhana ini penulis membatasi permasalah pada dua aspek, pertama penulis
ingin memaparkan gambaran kehidupan masyarakat Arab jahiliyah dan cara pandang
serta perlakuan mereka terhadap perempuan, kemudian yang kedua sendiri adalah
penggambaran sosok Fatimah serta perjuangannya. Dan pada bagian akhir tulisan penulis
meletakkan kesimpulannya terhadap sosok suci ini.
Kondisi Geografis dan Sosial
Tanah Arab
Tanah Arab atau yang lebih
dikenal dengan Jazirah Arab pada masa
sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw. bukanlah merupakan suatu tempat yang
memiliki daya tarik yang kuat bagi manusia-manusia non-Arab untuk berkunjung ke
sana. Bahkan Jazirah Arab luput dari suatu bentuk imperialisme dua kekuatan
besar pada saat itu yang saling berebut pengaruh, yakni; Romawi dan Persia. Hal
ini terjadi bukan karena Arab adalah merupakan suatu wilayah yang kuat secara
militer, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sehingga tidak bisa
ditaklukan.
Justru sebaliknya, wilayah
Arab sangatlah tidak menguntungkan dan menjanjikan apa-apa bagi dua
imperium besar itu, hal ini ditinjau dari sudut geografis wilayah Arab, yang
merupakan gurun yang tandus, sehingga tanahnya tidak bisa ditumbuhi segala
macam jenis tanaman. Dari keadaan geografis tersebut jelas tidaklah
menguntungkan secara ekonomi bila dilakukan satu bentuk imperialisasi oleh
kedua imperium itu. Di sisi lain bahwa memang juga secara sosial-politik bangsa
Arab tidak memiliki satu sistem tatanan pemerintahan yang baik. Dalam
pengertian bahwa bangsa Arab tidak memiliki satu bentuk pemerintahan yang tetap
dan kuat untuk mengatur kehidupannya secara keseluruhan.
Hal ini dapat dilihat dari
bagaimana hidup mereka yang lebih condong pada satu sikap kesukuan
(‘Ashabiyyah) ketimbang hidup bersatu dalam satu bentuk Negara. Satu bentuk
sikap kesukuan yang begitu kentalnya di kalangan masyarakat Arab juga
sering—bahkan menjadi tradisi bangsa Arab dulu—menimbulkan kefanatikan yang
berlebihan yang pada akhirnya berujung pada satu bentuk sikap vandalis yang
bermuara pada peperangan antar suku yang berkelanjutan dan tiada henti (bahkan
dalam hal-hal sepele sekalipun).
Memang dari sisi geografis
wilayah yang sulit itu,
Jazirah Arab mendapat keuntungan, bahwa mereka tidak menjadi daerah yang
dilirik untuk dijajah oleh dua imperium besar itu. Ditambah juga bahwa pada
faktanya dengan keadaan wilayah yang luas dan kondisi masyarakat yang cukup
rumit maka sangat sulit untuk dikendalikan. Jadi memang sangat wajar bila
Jazirah Arab relatif terlepas dari kedua kekuasaan itu.
Namun di sisi lain dari
kenyataan geografis yang sulit itu bangsa Arab mendapat kerugian yang sangat
besar, dalam arti bahwa konsekuensi yang harus diterima adalah secara
kebudayaan bangsa Arab tidak mengalami kemajuan yang berarti. Kebudayaan hanya
berkembang apabila ada pertemuan dengan kebudayaan-kebudayaan yang lain. Kebudayaan
Arab pada waktu itu relatif
sangat rendah dibandingkan dengan kebudayaan yang lain.[1]
Hal tersebut pula yang
mendasari gaya hidup bangsa Arab yang harus bertahan di sekitar negeri yang
tandus, dengan udara yang garang, mereka berusaha tetap hidup dengan
mempertahankan ikatan kelompok yang sangat kuat (qabiliyyah, ‘ashabiyyah).
Keterikatan itu sangat kuat dan tinggi sebab itulah satu-satunya cara mereka
tetap bertahan hidup.[2]
Bangsa Arab pada waktu itu dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama,
kelompok yang menetap di suatu tempat seperti di Mekkah. Mekkah dikenal sebagai
Ummul Qura’, induk dari seluruh tempat di sekitar Arab. Kota seperti
Mekkah menjadi pusat kegiatan berbagai kabilah. Kelompok kedua adalah
mereka yang tinggal di gurun-gurun pasir dan yang berkelana dari satu tempat ke
tempat yang lain. Mereka disebut Badawi (orang-orang yang tinggal di luar hadharah)
dan peradaban. Al-Qur’an tidak menyebut mereka dengan Arab, tetapi A’rab yang
menunjuk pada Badawi.[3]
Kedudukan Perempuan di Zaman
Jahiliyyah
Kedudukan perempuan pada masa
jahiliyyah sangatlah rendah dan hina. Sehingga pernah kita mendengar—dalam
kitab dan buku-buku sejarah Islam—banyak anak-anak perempuan yang baru lahir
dikubur hidup-hidup, karena malu pada orang lain disebabkan anak yang lahir
adalah perempuan,
yang dianggap sebagai lambang kehinaan. Ada dasar-dasar sosiologis kenapa
perempuan tidak begitu dihargai pada masa jahiliyyah. Pada saat itu gaya atau
pola hidup masyarakat adalah nomad.[4]
Gaya hidup nomad ini dikarenakan seringnya mereka kekurangan bahan makanan
bahkan hingga masa rasulullah. Tak dipungkiri kekurangan bahan makanan ini
faktor terbesarnya adalah disebabkan oleh faktor geografis wilayahnya yang
merupakan gurun pasir yang tandus.
Dalam keadaan kekurangan
bahan makanan ini, dalam pandangan Jalaluddin Rahmat bahwa kecenderungan untuk mengurangi
jumlah penduduk kemungkinan besar terjadi—dan bahkan harus terjadi. Maka hal
yang demikianpun terjadi pada masa lalu di lingkungan masyarakat Arab
jahiliyyah. Maka pada situasi dan kondisi yang demikian inilah masyarakat Arab
jahiliyyah dihadapakan pada dua pilihan, manusia (jenis kelamin atau anak) yang
harus dikorbankan. Maka pilihan mereka jatuh pada anak perempuan.
Hal ini memiliki beberapa
alasan mengapa hal ini terjadi, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa ada dua
alasan yang mendasari itu semua. Pertama, dalam sosio-kultur bangsa Arab
pada masa itu perempuan adalah beban kehidupan, ini karena perempuan tidak bisa
berperang dan berburu. Kedua, selain menjadi beban, populasi perempuan
yang banyak dalam suatu kabilah berarti adalah suatu kelemahan bagi kabilah
tersebut, dikarenakan kabilah-kabilah Arab pada masa itu sangat suka berperang,
sehingga jika populasi perempuan lebih banyak dari laki-laki maka kabilah itu
akan kalah, dan wanita tidak bisa mempertahankan kabilah.
Gaya dan pola hidup
masyarakat jahiliyyah ini juga terekam jelas dalam al-Qur’an, sebagaimana
al-Qur’an menyatakannya seperti pada;
dan
apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah
dia dibunuh
QS. Al-Takwir: 8-9
Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar. QS. Al-Isra’: 31 dan QS.
Al-An’am: 151
Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan
dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan
kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya
apa yang mereka tetapkan itu. QS. An-Nahl: 58-59
Ada pendapat yang mengatakan
bahwa sejarah tentang penguburan hidup-hidup bayi perempuan pada masa Arab
jahiliyyah itu tidak benar, salah satunya adalah Al-Khudhari—sebagaimana
dijelaskan oleh Jalaluddin Rahmat dalam bukunya—yang menyatakan tidak ada wa’dul
banat, ini kemudian ditolak oleh Rahmat bahwa pernyataan Al-Khudhari itu
tidak bisa dibenarkan dan harus ditolak, sebab menurutnya bahwa asumsi untuk
mengukur keabsahan suatu tarikh haruslah berdasarkan al-Qur’an.
Kemudian dari sisi sejarah,
bahwa tingkah pola kehidupan masyarakat Arab yang begitu primitif dalam
pengertian diskriminatif jender dan berpola pikir dangkal juga menunjukkan hal
yang berjalan positif dengan argumentasi di atas. Bahwa imam Ali kw. Pernah
menggambarkan suatu keadaan sosial-kultur bangsa Arab pada waktu sebelum
kehadiran rasul adalah, “Allah mengutus Muhammad saw. sebagai pemberi peringatan bagi seisi dunia dan
sebagai pengemban amanat wahyu-Nya, sementara Anda, penduduk Arabia, mengikuti
agama yang paling buruk, dan Anda berkediaman di antara batu-batu kasar dan
ular-ular berbisa. Anda meminum air kotor dan makan makanan najis. Anda saling
menumpahkan darah dan tidak mempedulikan kekerabatan. Berhala-berhala terpasang
di antara Anda dan dosa melekat pada Anda.”[5]
Dalam berita lain
digambarakan oleh Ja’far bin Abi Thalib ketika ditanya oleh Raja Habsyi. Ja’far
berkata, “Kami hidup dulu di zaman jahiliyyah. Kami tumpahkan darah, kami
putuskan silaturahmi, kami makan yang jelek-jelek. Orang-orang kuat di antara
kami memakan yang lemah, kemudian datanglah dia kepada kami mengajarkan kami
untuk berbuat
baik dan beramal shaleh”. Ini adalah gambaran Ja’far terhadap kondisi
masyarakat jahiliyyah sebelum bi’tsah dan setelah kedatangan kedatangan
Rasulullah.[6]
Dua berita ini digambarkan
atau disampaikan oleh orang yang pernah hidup pada masa itu, sehingga kondisi
dan situasi masyarakat Arab pada waktu itu dapat kita ketahui. Dari gambaran
tersebut, dapat kita lihat bahwa betapa “primitifnya” bangsa Arab pada tempo
itu, dimana sikap yang saling bermusuhan satu sama lain, suka berperang,
memutus hubungan kekerabatan, tidak ada sistem aturan
yang kokoh dan bagus dalam membangun kehidupan berkelompok apalagi berbangsa,
serta sikap diskriminatif jender pada anak-anak perempuan mereka, dengan
mengubur mereka hidup-hidup dan tidak menghargai keberadaan mereka sebagai
suatu eksistensi ciptaan Tuhan, sebagaimana laki-laki, ini menunjukkan betapa
terbelakangnya mereka.
Kelahiran Fatimah; Simbol
Perlawanan Terhadap Ketidakadilan
Sebagaimana telah dijelaskan
pada bagian awal—dan kita ketahui bersama bahwa
kehidupan sosio-kultur bangsa Arab adalah keras kaku, terbelakang
dan tidak suka menetap dalam artian pola tempat tinggal mereka selalu
berubah-ubah (nomaden). Di sisi lain dari sisi sikap dan watak, selain dikenal
sebagai bangsa yang kasar dan keras—dipengaruhi faktor demografi berupa gurun,
juga dikenal sebagai bangsa yang gengsinya tinggi, hal ini dibuktikan dengan
sikap mereka yang sangat malu apabila dalam keluarga atau kelompok mereka
terdapat seorang anak perempuan.
Pada masa ini, perempuan
memang memiliki kedudukan yang luar biasa rendahnya, perempuan
dipandang sebagai kehinaan, beban, najis, bahkan kotoran yang harus
disingkirkan jauh-jauh dari pandangan dan kehidupan mereka. Dari pikiran kerdil
dan picik itulah kemudian memunculkan sikap dan sifat yang lebih rendah daripada
binatang dengan mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka yang baru
lahir. Sekali lagi sikap dan cara pandang yang kerdil dengan memandang
perempuan sebagai sesuatu beban dan kehinaan adalah andil dari pengaruh
geografis wilayah yang keras dan tidak terjamah peradaban yang tinggi terutama
dalam ilmu pengetahuan yang berkembang atau mendominasi saat itu, yakni, Romawi
dan Persia.
Tidak terjamahnya bangsa Arab
saat itu selain alasan utamanya adalah wilayah yang sulit dan tidak
menguntungkan, ini juga dipengaruhi oleh pola kehidupan masyarakat saat itu
yang barbar. Dengan alasan-alasan itu pulalah menjadikan bangsa Arab saat itu
menjadi bangsa yang terbelakang dan terpinggirkan oleh dunia luar. Dalam
kondisi yang seperti itu, kemudian pantaslah kiranya Allah swt. mengutus rasul-Nya Muhammad saw. untuk
menyampaikan risalah ketuhanan, agar manusia—khususnya Arab saat itu—kembali
pada jalan Tuhan.
Namun usaha Tuhan melalui
Muhammad saw. itu tidaklah mudah dilakukan, banyak tantangan dan perlawan yang
terjadi yang dilakukan oleh bangsa Arab jahiliyyah. Pada konteks inilah
sebenarnya risalah Tuhan sedang melewati dan memasuki tahap-tahap yang luar
biasa ke tubuh bangsa Arab jahiliyyah. Penolakan dan perlawanan ini timbul
akibat berlawananannya ajaran yang dibawakan Muhammad oleh ajaran-ajaran mainstream
jahiliyyah. Salah satu tugas kerisalahan Muhammad adalah selain
menyempurnakan akhlak manusia juga hendak menyampaikan dan menuntun manusia
untuk mengakui dan menghargai hak-hak setiap individu tanpa diskriminasi jender
dan apapun itu.
Maka salah satu tugas berat
Nabi Muhammad adalah bagaimana menunjukkan dan mengajak manusia Arab waktu itu
untuk memperlakukan perempuan sebagaimana mestinya, Nabi menentang dan melawan
sikap orang-orang jahiliyyah Arab yang mendeskreditkan anak-anak perempuan
mereka. Untuk itulah salah satu dakwah Nabi adalah bagaimana mengangkat hak-hak
dan derajat perempuan yang diinjak-injak.
Tentu penolakan akan hal itu
datang dari berbagai penjuru kabilah Arab yang jahiliyyah, sebagai seorang
rasul Muhammad tentu harus memiliki dan memberikan contoh kepada masyarakat
yang pola pikirnya bar-bar dan kerdil. Maka Allah menitipkan seorang putri di
kandungan Khadijah melalui benih suci Muhammad, sosok bayi perempuan yang akan
lahir di tengah-tengah kondisi yang menolak kehadiran perempuan, justru dinanti-nanti oleh
Rasulullah dan Khadijah. Sedikitpun tidak ada kekhawatiran dan rasa malu
sebagaimana kaumnya terhadap anugerah janin perempuan itu. Hal yang justru
berlawanan diperlihatkan oleh Muhammad dan keluarganya dalam menanti kehadiran
sosok perempuan yang pada akhirnya menjadi simbol dan contoh perlawanan
terhadap ketidakadilan.
Hingga pada akhirnya ketika
Fatimah az-Zahra lahir betapa hal itu telah menentramkan hati Nabi dan juga
menjadi pelipur lara dari perjuangannya yang berat di tengah orang-orang yang
pemikirannya masih terbelakang. Kelahiran Fatimah ibarat embun yang
menghapuskan dahaga di tengah gurun pasir yang tandus. Ini terbukti dari betapa
bahagia dan bangganya rasul ketika para sahabat menanyakan tentang anak
perempuan itu, ia dengan lantang dan bangga menjawab bahwa anak perempuan itu
adalah anak seorang utusan Tuhan semesta alam.
Sikap rasul yang berlawanan
dengan sikap masyarakat Arab jahiliyyah itu membuat suasana menjadi gaduh dan
menimbulkan kebencian di masyarakat Arab jahiliyyah. Dimana perempuan adalah simbol
kehinaan dan nestapa bagi seorang ayah, maka jika sebuah keluarga kehadiran
seorang bayi perempuan maka itu adalah simbol kerusakan dan kemelaratan. Maka
pantas kiranya perempuan harus disingkirkan.
Dalam pandangan yang sangat
merendah-hinakan perempuan itu, Fatimah lahir. Dimana Muhammad adalah Nabi
terakhir pembimbing manusia menggapai cahaya ilahi setelah sekian lama terpuruk
dalam kebodohan yang pekat.[7]
Fatimah lahir dan besar dalam naungan wahyu. Dialah perempuan yang dipersiapkan
sebagai insan ilahiah; perempuan sempurna sesuai dengan tujuan penciptaan
manusia. Meski usia Fatimah tidak panjang—ada yang mengatakan 18 tahun ada juga
usianya sampai 21 tahun—namun kehidupan singkat yang dilaluinya menjadikan
ayahnya bangga. Kebanggaan Nabi Muhhammad karena Fatimah adalah wanita sejati.[8]
Perbaikan yang dibawa oleh
ayah Fatimah, Rasulullah saw. khususnya adalah masalah kesetaran jender, yang
memiliki pengertian bagaimana seharusnya wanita itu berkedudukan dalam
masyarakat. Zaman ke zaman berlalu pasti, ketika tidak ada sebuah negeri, sebuah sistem hidup
dan masyarakat memberi hak layak kepada perempuan—gadis maupun bersuami,
seorang ibu maupun seorang isteri. Ketika dimana kelahiran seorang anak
perempuan dianggap bencana. Maka saat itulah Muhammad diutus untuk membawa
risalah Islam
dari Tuhan, untuk memperbaiki semua kekacauan itu, salah satunya adalah masalah
wanita.
Tindakan penghormatan Islam
terhadap perempuan, ditunjukkan secara demonstratif oleh Nabi Muhammad yang
sangat bangga mempunyai putri Fatimah. Jika ada seorang bertanya tentang
perempuan kecil itu, maka dengan bangga Nabi berkata, “Siapa yang mengenal anak
ini, maka dia telah mengenalnya. Siapa yang belum mengenal anak ini, maka
ketahuilah dialah Fatimah putriku. Dia belahan jiwa, hati dan ruhku. Siapa
menyakitinya berarti telah menyakitiku. Siapa menyakiti aku dia telah menyakiti
Allah.”[9]
Tidak dapat dipungkiri
kelahrian Fatimah terjadi saat dimana perjuangan Islam sedang berlangsung dan
digalakkan oleh Muhammad ayahnya. Maka dari itulah kedudukan Fatimah sangat
erat dan besar dalam perjuangan Islam itu sedniri. Dimana Fatimah telah menjadi
bagian dan simbol kemerdekaan bagi kemanusiaan yang tertindas melalui perjuangan
dan contoh yang diberikan
oleh Rasulullah. Selain itu juga Fatimah menjadi contoh abadi perjuangan
menegakkan keadilan. Bahwa sebagian besar perjalanan hidup Fatimah diabdikan
untuk menopang perjuangannya. Fatimah sedari kecil telah ikut serta dalam
perjuangan ayahnya, maka tidak heran bila dari kondisi tersebut terbangun sosok
yang memiliki pengetahuan yang tinggi, dimana pengetahuannya adalah bersifat
ilahiyyah yang didapat dari seorang utusan Tuhan, memiliki nalar yang jernih
yang merupakan wujud kecerdasannya.
Ketika Fatimah menginjak usia
remaja—sejak kecil Fatimah menghibahkan hidupnya untuk turut serta menopang
perjuangan ayahnya—Fatimah mengganti kedudukan ibunya, Khadijah. Ia memahami
betul seluruh misi yang diemban oleh ayahnya; memperbaiki moral masyarakat di
sekitarnya yang bar-bar. Fatimah sadar bahwa misi yang diemban ayahnya adalah
misi suci dari Sang pencipta. Karena itu Fatimah menjadi wanita di deretan
terdepan untuk melaksanakan segala perintah dan larangan Islam. Seorang putri
dari seorang rasul, yang senantiasa hari-harinya penuh dengan didikan dari yang
mulia rasul, maka ini menjadikan Fatimah sebagai sosok yang memiliki
kepribadian sempurna.[10]
Kenapa Fatimah?
Tidak
dapat dipungkiri bahwa di dalam perjuangan Islam oleh Rasulullah, peranan
Fatimah az-Zahra juga tidak dapat dipisahkan darinya. Bahwa Fatimah telah
memberikan semangat kepada rasulullah dalam menjalankan misi sucinya. Fatimah
hadir di tengah-tengah perjuangan Rasul, di masa dimana bagi mereka itu adalah
masa yang sangat sulit bagi keluarga mulia itu. Dimana kelahiran itu terjadi
saat tradisi Arab jahiliyah sangat merendahkan derajat dan harkat perempuan.
Kelahiran
Fatimah adalah simbol kesetaraan dan simbol perjuangan mengangkat derajat
manusia khususnya perempuan. Dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh Aisyah
disebutkan, “Tidak pernah aku melihat seorang pun yang lebih mirip
pembicaraannya dengan Rasulullah dibanding Fatimah. “Jika Rasulullah masuk ke tempatnya, ia bangun lalu
mencium Rasulullah, memegang tangan beliau, dan mendudukkan beliau di
tempatnya.”[11]
Kemudian
dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Aisyah dikatakan bahwa, “Aku
tidak melihat seorang pun yang dapat dipercaya dari Fatimah selain ayahnya.[12]”
Ada
sebuah nilai yang penting dicatat dari hadits tersebut, bahwa hadits tersebut
telah diriwayatkan oleh Aisyah, yang mana Aisyah menjelaskan bahwa Fatimah
bukan hanya sekadar orang yang dapat dipercaya tapi yang paling bisa dipercaya setelah
Rasulullah. Gambaran tersebut telah menunjukkan pada setiap orang bahwa
Rasulullah dan Fatimah merupakan orang yang paling memiliki tingkat
sensitivitas tertinggi terhadap amanah, sehingga mereka adalah orang-orang yang
paling benar dan paling dapat dipercaya dalam
setiap ucapan dan perilakunya. Aisyah melihat bahwa Fatimah adalah sosok
yang dapat dipercaya (benar), dan seseorang yang telah menunjukkan kebenaran
tersebut dalam ucapan dan akhlaknya, sebagaimana hal itu pula yang ditampilkan
oleh ayahnya yang digelari al-Amin oleh masyarakatnya sendiri.[13]
Sementara
itu Fatimah sendiri adalah sosok yang berkepribadian benar, dimana kesedihannya adalah kesedihan terhadap
persolan-persoalan Islam, dan juga kebahagiaannya adalah pesan kebahagiaan;
bahkan dalam sosok Fatimah sendiri adalah
merupakan
simbol kedalaman dan keluasan Islam dan kebajikan-kebjikan Islam juga kita bisa
dapati itu semua terkumpul pada sosok wanita mulia itu—jika kita melihatnya
secara jujur dan jernih. Hal ini juga dibukiktikan—dalam aspek teologi Islam
(Khususnya mazhab Syiah)—semenjak ia menjadi penghulu wanita dunia yang
menunjukkan bahwa ia telah sampai pada puncak spiritual dan etika moral yang
tertinggi.[14]
Dengan
argumen dan alasan-alasan itulah mengapa Fatimah az-Zahra begitu menarik untuk
dikaji dan dipahami serta diikuti aspek-aspek luhur yang diajarkan dan
diperjuangkannya untuk ummat manusia. Maka ketika kita sampai pada tahap-tahap
tertentu katakanlah ketika mengingatnya, itu meniscayakan kita juga harus ingat
akan pesan dan tuntunannya. Dan Fatimah sendiri menjadi figur paling sentral
(selain rasul) ketika mengingat Islam dan perasalahan-permasalahan yang
senantiasa berubah. Dalam aspek teologis, kita semua merasa bahwa dalam seluruh
aspek kehidupan ini Fatimah az-Zahra hidup dan hadir di tengah-tengah kita.
Banyak
orang yang hidup kemudian setelah mati tak memiliki bekas atau tidak terekam
zaman dalam jejak-jejak kehidupannya. Hal ini dikarenakan mereka hanya sekadar
hidup dan tidak memberikan arti dalam kehidupan ini. Sehingga semakin zaman
berlalu semakin hilanglah namanya dalam kehidupan, sebab orang segan atau
bahkan tak mengerti apa yang harus diteruskan dari orang-orang seperti itu. Hal
ini tentu berbeda dengan Fatimah az-Zahra yang merupakan sosok dari beberapa
sosok mulia yang dibicarakan oleh zaman tentang kemulian dan keagungannya.
Sepanjang pesan-pesan kebajikan itu masih terus dibicarakan dan sepanjang
manusia masih membuka pesan-pesan kebajikan itu, maka orang-orang bijak akan
tetap hidup di tengah-tengah kehidupan zaman yang berbeda-beda.
Dan
Fatimah az-Zahra adalah sosok yang menempati puncak tertinggi dari orang-orang
yang seperti ini, agak sulit bagi kita menbicarakan Rasul tanpa menyebut sosok
Fatimah. Fatimah adalah buah hati yang terlahir dari jiwa terdalam dari jasad
Nabi, dan kita juga tidak bisa berbicara sosok seorang Ali tanpa menyebutnya,
yang merupakan sahabat atau pun belahan jiwanya dalam suka dan duka. Demikian
pula ketika berbicara al-Hasan, al-Husain, dan Zainab kita tidak bisa
melepaskan sosok Fatimah az-Zahra sebagai sosok yang paling berpengaruh dan
paling memiliki banyak rahasia dari kesucian masa kanak-kanak dan kepribadian
mereka sepanjang hidup.
Rahasia
inilah yang kemudian harus kita ingat selalu di dalam pikiran dan hati kita
bahwa keadaan tersebut (kehidupan Fatimah dan keluarga) bukanlah harus menjadi
tangisan semata. Kita tidak bisa hanya dengan menagis saja lantas kemudian
telah mengaku menjadi pengikut setianya, tapi yang lebih penting dari itu
adalah bagaimana air mata itu membuka diri kita untuk memahami betul pesan dan
ajaran-ajaran beliau, hal ini dikarenakan ia dan seluruh hidupnya adalah air
mata di mana air mata itu ia peruntukkan untuk menyampaikan
pesan-pesan ilahi pada ummat manusia dan tak sekalipun ia berpaling dari tugas
suci itu. Ini adalah rahasia dari seluruh
Ahlull Bait yang mana mereka semua hidup seluruhnya hanya untuk Islam dan memberikan
hidup mereka kepada Islam dan perjuangan.[15]
Suri Tauladan Bagi Ummat
Manusia Yang Tak Lekang Oleh Zaman
Pada
bagian ini, penulis ingin memfokuskan pembahasan tentang sosok seorang Fatimah
yang merupakan sosok wanita
yang diteladani dan menjadi contoh dari masa ke masa oleh setiap orang yang
jujur dan beritikad baik dalam menemukan kebenaran. Dalam Islam persoalan kenabian
selalu diletakkan atau dibebankan pada sosok laki-laki, dan tak ada seorang
perempuan pun yang mengemban misi kenabian tersebut, hal ini terkadang menjadi
sisi yang selalu dikritik oleh lawan-lawan Islam, bahwa Islam diskriminatif
terhadap sosok wanita dalam misi kenabiannya.
Tapi
penulis tidak akan membahas permasalahan tersebut, pada bagian ini penulis
mencoba mengangkat sosok Fatimah az-Zahra sendiri sebagai seorang wanita suci
dan mulia tapi minus gelar kenabian, yang senantiasa mejadi teladan sepanjang
zaman, ini adalah sebuah usaha penulis untuk mencoba menjawab persoalan pelik
tersebut. Dalam Islam memang yang mengemban misi atau tugas-tugas kenabian
adalah sosok laki-laki, dan faktanya memang demikian sebab tidak ditemukan satu
orang perempuan pun yang diklaim menjadi Nabi di Islam. Nabi secara sederhana
dapat diartikan adalah sebagai sosok yang dibebankan padanya sebuah tugas
Ilahiyyah untuk menyampaikan berita dari-Nya kepada manusia seluruhnya. Di
al-Qur’an sendiri menyebutkan tidak lebih dari 25 Nabi dan rasul yang wajib
diakui (diimani), meski di sisi lain al-Qur’an juga menyebut ada Nabi dan
rasul-rasul lain yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Tapi dari 25 Nabi dan
rasul yang disebutkan itu kesemuanya adalah laki-laki.
Lalu,
bagaimana dengan perempuan? Apakah perempuan tidak bisa mengemban tugas kenabian?
Apakah Islam bersikap diskriminatif?
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabari disebutkan “Semulia-mulia wanita di surga adalah
Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiah
binti Muzahim.” Inilah empat sosok wanita yang dijelaskan oleh Muhammad
putra Abdullah sebagai sebaik-baik wanita dan menjadi penghuni surga. Beberapa
wanita dalam hadits itu juga namanya disebutkan dalam al-Qur’an sebagai wanita
yang mulia meski memiliki kemuliaan itu mereka tak disebutkan sebagai Nabi, hal
ini juga terjadi pada sosok Lukman al-Hakim yang dijelaskan sebagai manusia
yang tunduk dan patuh pada Tuhan tapi tak disebut sebagai sosok Nabi, tapi
laki-laki yang sholeh.
Ini
menunjukkan bahwa ada manusia suci dan
sholeh entah itu wanita atau laki-laki yang dimuliakan Allah bahkan diabadikan
dalam al-Qur’an maupun hadits tapi tak juga disebutkan sebagai sosok Nabi.
Keyakinan syariat dan teologis kita meyakini bahwa tugas kenabian memang telah
ditetapkan kepada laki-laki, namun secara spiritualitas
penulis menilai bahwa maqam-maqam kenabian dalam aspek spiritual/maknawi, itu
juga terdapat pada sosok perempuan—terkhusus wanita yang tingkat spiritualitas
dan tugasnya memliki kemiripan sebagaimana tugas para Nabi yang notabene
laki-laki itu. Dan itu kita lihat pada sosok Maryam as. bagaimana ketaatannya
pada Tuhan dalam menjaga kesucian jiwa dan dirinya, bagaimana juga Asiah as.
yang patuh dan abdi pada Tuhan di tengah kehidupan raja (suami) yang zalim, dan
bagaimana pula Khadijah menghibah dan mengabdikan dirinya pada Tuhan dengan
membantu perjuangan Nabi Muhammad secara totalitas, dan juga bagaimana Fatimah
az-Zahra yang sedari kecil hingga wafatnya berdiri di garda depan perjuangan Islam
bersama ayahnya.
Ketika
kita mencoba menghadirkan Fatimah sebagai sosok panutan atau sebuah contoh
utama suri tauladan yang baik, ini berarti kita sejatinya tidak sedang
berbicara tentang wanita semata. Kita menghadirkan sosok Fatimah sebagai
seorang suri tauladan bagi laki-laki dan wanita seluruhnya, karena sosok
Fatimah adalah gambaran dari seluruh unsur dan elemen dari Islam dan masyarakat
Islam seluruhnya, sekali lagi ini tidak menunjukkan bahwa sosoknya teladan bagi
wanita saja, sekalipun di dalam dirinya terdapat sebuah sosok yang agung untuk
diteladani sebagai seorang wanita. Di sini wanita-wanita muslim dapat mengambil
ibrah yang banyak dari sosok wanita mulia itu ketika mereka menyadari bagaimana
sosok wanita suci itu menghabiskan waktunya secara bernilai, dan bagaimana dia
berusaha dan berjuang untuk menyadarkan manusia dan mengangkat derajat mereka
dari kebejatan dan kehinaan mereka
seorang diri, ia melakukan itu semua dengan seluruh kekuatan, pengetahuan,
serta tingkat spiritualitas dan etika perilakunya yang dinamis, menyesuaikan
dengan kemampuan orang-orang yang
dibimbingnya.
Sementara
itu—khususnya dalam mazhab Syiah—sosok Fatimah sering disebut sebagai
al-Kautsar yang memiliki arti “nikmat yang banyak”, dalam beberapa penafsiran
disebutkan bahwa ketika suku Quraish mengejek bahwa Nabi Muhammad Saw tidak
memiliki keturunan, saat demikian pula turun ayat al-Kautsar “Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, Maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmu; dan berkorbanlah, Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu
dialah yang terputus”.
(QS. 108: 1-3).
Dikatakan
bahwa ayat ini diturunkan untuk menghibur Nabi sekaligus juga untuk membantah
ejekan-ejekan kaum Quraish, bahwa Nabi telah diberkahi dengan memberikan Nabi
berbagai kenikmatan yang berlimpah,
diantaranya adalah Fatimah yang merupakan karunia Allah yang berlimpah. Dari beberapa gambaran ini memberikan
penjelasan pada kita tentang sosok Fatimah yang agung yang secara kepribadian
memiliki pribadi yang agung seperti ayahnya dan bisa dan patut untuk dijadikan
teladan bagi kehidupan dan perjuangan melawan segala bentuk penindasan. Sosok
wanita mulia ini, memiliki berbagai aspek yang melampaui manusia lain, ia
memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, tingkat kezuhudan yang tak dapat
digambarkan, serta maqam spiritualitas yang luar biasa, meski tak bisa disebut
sebagai seorang Nabi, tapi wanita semisal Fatimah ini memiliki kesamaan
spiritual dan mental kenabian secara maknawi. Kalaulah diibaratkan maka Fatimah
adalah pahlawan tanpa tanda jasa, atau wali Allah tanpa gelar kenabian.
Menikmati Kebebasan
Sebagaimana telah diurai di atas, berbicara
perempuan pra Muhammad memanglah pelik (bahkan saat dan setelah Muhammad).
Perempuan sebagai entitas yang sempurna dianggapnya sebelah mata sebagai barang
rongsokan, hina, dan aib. Telah banyak pembicaraan mengenai isu ini (pendekatan
Muhammada pada persoalan perempuan) namun masih banyak yang belum tuntas.
Tulisan ini tentu masih jauh dari kelayakan untuk mengurainya, terlebih tulisan
ini tidak difokuskan ke arah tersebut. Banyak karya-karya yang kemudian
menceritakan sosok Muhammad dalam persoalan ini secara serampangan—kalau bukan
cercaan musuh karena kebenciannya semua itu dapat kita lihat tak lebih dari
sekadar sesuatu yang dilebih-lebihkan, kebohongan, tuduhan dan distorsi atas
fakta sejarah, sebaliknya pujian hangat dan usaha menginterprestasi dan
menjustifikasi isu-isu yang berkaitan sedemikian rupa agar sejalan dengan
suasana periode tertentu dan cita rasa umatnya seringkali tidak sukses. Tetap
saja kedua pendekatan tersebut tidak dapat memuaskan orang yang ingin menemukan
realitas kebenaran.[16]
Isu perempuan dari sudut pandang emosi dan sosial
masih patut dibahas, bahkan hingga saat ini. Sebab ilmu pengetahuan tidak mampu
menjawab persoalan ini, maka mau tidak mau persoalan ini masih menjadi domain
dari ideologi. Tidak hanya itu, banyak hal kemudian yang tidak dapat dijawab
oleh ilmu pengetahuan akhirnya diserahkan pada filsafat, agama, tradisi,
tren-tren yang berlaku, dan kebutuhan sosial (sosial dan individu) saat itu
untuk menginterpretasi dan menjustifikasinya. Pada setiap mazhab pemikiran, era
atau masyarakat memperlakukannya secara tertentu.[17]
Karena itu orang yang mencoba memasuki hal ini tidak bisa lepas dari lima hal
di atas. Karena itulah pendekatan emosi dan sosial manusia pada perempuan dan
interpretasinya tidak bisa lepas dari zaman dan lingkungannya. Maka setiap
zaman menuntut jawaban yang berbeda atas persoalan yang memiliki bentuk berbeda
di setiap era dan masyarakat.
Ini kemudian dalam kaca mata Syariati dijelaskan
bahwa persoalan perempuan dari berbagai sudut yang dapat didiskusikan
bergantung pada variabel zaman dan lingkungan sampai pada batas tertentu
sehingga kadang-kadang banyak prinsip dan norma dianggap sangat manusiawi pada
periode tertentu dan dianggap kejahatan antikemanusiaan di lingkungan dan era
lainnya. Dalam konteks poligami misalnya, dalam sudut pandang Barat modern,
poligami dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan tindakan
paling tidak manusiawi terhadap perempuan. Tentu akan positif jawabannya, jika
kaca mata yang digunakan adalah kaca mata Barat modern untuk melihat Arab tempo
dulu. Tidak bisa dilepaskan bahwa konteks geografi dan kultur bangsa Arab saat
itu dalam menilai ini, maka melihat dan menilainya akan lebih fair jika
kita gunakan kaca mata saat itu untuk melihat zamannya. Islam bukanlah agama
yang memunculkan poligami, poligami jauh hadir sebelum Islam datang di Arab,
bahkan lebih rumit dari yang dibayangkan. Pada intinya Islam tidak menganjurkan
poligami tidak juga melarang total keberadaannya. Islam justru membatasi
poligami menjadi empat dari jumlah yang tak terbatas. Mengenai pertanyaan
mengapa Islam tidak menafikan poligami seutuhnya, itu adalah soal lain yang tak
bisa dijawab di sini.
Atau dalam konteks hijab atau ‘chador’ (baju
panjang yang terlentang dari wajah sampai kaki), era modern saat ini pakaian
tersebut dianggap sebagai suatu bentuk pengekangan terhadap perempuan, dan satu
bentuk lambang yang menjijikan. Padahal dalam konteksnya saat itu, baju
demikian bagi perempuan adalah satu bentuk kedudukan dan kehormatan serta signal
yang menunjukkan bahwa perempuan itu memiliki status sosial yang tinggi, bahkan
di Timur Tengah perempuan masih ada yang menggunakannya sebagai bentuk prestige
dalam masyarakat.
Banyak kemudian penulis dan peneliti yang berbicara
soal demikian, namun tidak ada yang seserius Muhammad dalam memperjuangkan itu
semua. Muhammad tidak hanya mengusahakan kemerdekaan perempuan itu dalam
rumusan-rumusan teoritis, namun secara praktis iapun meletakkan pondasi yang
luar biasa. Muhammadlah satu-satunya orang yang serius memperhatikan dan
memperjuangkan nasib kaum perempuan dan menganugerahinya kehormatan manusiawi
dan hak-hak sosial yang sebelumnya tak dapat didapati. Penganugerahan Islam
atas hak-hak kepemilikan individual dan kemerdekaan ekonomi atas perempuan,
sementara pada saat yang sama mengharuskan para laki-laki menjamin seluruh
kebutuhan materialnya pada batas ketika perempuan dapat menuntut upah atas
perawatan anak-anak mereka dan mengharuskan laki-laki membayar mahar istrinya,
walaupun ide ini ditolak menurut keadilan, merupakan indikasi kepribadian (dan
hak dalam Islam) atas perempuan.[18]
Langkah-langkah ini juga dimaksudkan untuk mengantisipasi kesialan masa
depannya dengan memastikan status ekonominya. Lebih jauh lagi, persamaan dalam
masalah agama dan hukum atas perempuan dan laki-laki (dalam Islam) termasuk di
antara faktor yang memberi mereka kemerdekaan yang sebenarnya di hadapan
laki-laki yang selalu berusaha membawa mereka di bawah dominasi yang despotik
(zalim).[19]
Persoalan ini nampak begitu sensitif dan ruwet jika
dilihat dari sisi Islam. Namun apa yang kemudian dapat kita ambil simpulan dari
penilaian kita akan hak sosial perempuan dan martabat moral serta manusiawi
yang komprehensif dalam mazhab pemikiran bahwa Islam secara tegas dan diametris
menentang diskriminasi seks, tidak berpihak pada gagasan persamaan seks juga.
Dengan kata lain Islam tidak mendukung atau menolak diskriminasi juga tidak
meyakini persamaan antara laki-laki dan perempuan. Yang kemudian terjadi adalah
Islam memberikan tempatnya yang alami di masyarakat pada dua jenis kelamin
tersebut. Islam sekali lagi menganggap bahwa diskriminasi sebagai suatu
kejahatan dan persamaan sebagai kesesatan, yang pertama bertentangan dengan
peradaban dan yang kedua bertentangan dengan alam.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Muhammad tidak
hanya bekerja secara serius dalam soal teori namun dalam praktek juga ia
membangun suatu peradaban bagi kemanusiaan dengan menempatkan perempuan pada
posisi yang semestinya. Satu contoh yang telah dibahas sebelumnya misalnya soal
betapa bahagia Muhammad dan bangganya ia mengumumkan anak perempuannya Fatimah
di bangsa Arab yang menolak anak perempuan. Hal ini dilakukan guna mengingatkan
pada bangsa Arab bahwa anak perempuanpun harus dicintai dan disayangi
sebagaimana anak laki-laki. Pun demikian saat Ali melamar Fatimah kepada
Ayahnya, Muhammad tidak memutuskan sepihak, justru ia mengembalikan semua itu
kepada Fatimah apakah ia menerima atau menolak lamaran tersebut. Bukankah ini satu
bentuk penghargaan yang paling tinggi kepada perempuan, memberikan ruang
demokrasi yang begitu luas untuk perempuan menentukan nasibnya sendiri. Dalam
sejarah misalnya, tak kurang, banyak perempuan yang kemudian menjadi sahabat
Rasul (lihat Thabaqat jil. 8 karya Ibn Sa’d).
Sementara itu, saat perempuan lain tidak merasa aman
dari suaminya, sering mendapatkan perlakuan kasar dan pengusiran jika dianggap
mengganggu dan bertabiat tidak sesuai dengan suaminya. Banyak yang kemudian
mengadu pada rasul perihal ulah suaminya. Berbeda dengan istri-istri rasul,
mereka justru menikmati kebebasan yang sebebas-bebasnya. Bahkan dalam riwayat
dikisahkan beberapa istri Nabi justru bertingkah kurang ajar di hadapan Nabi.
Bahkan Nabi sering pergi ke gudang gandum dan naik ke tempat yang paling tinggi
untuk menghindari istri-istrinya yang sering “ngomel-ngomel” dan nabi merasa
gusar dan kesal karenanya. Beliau berdiam di sana selama satu bulan. Hal ini kemudian membuat umat
gusar dan khawatir, akhirnya diutuslah Umar untuk menemui Nabi. Umar meminta
izin untuk berbincang dengannya, namun beliau menolak. Setelahnya Umar mengirim
pesan yang isinya, “Bila Anda berpikir aku ingin berbicara kepada Anda mengenai
anak perempuanku (Hafsah), aku begitu jijik dengan kelakuannya sehingga bila
Anda mengizinkan aku, aku akan memotong lehernya.” Barulah Nabi mengizinkan
Umar masuk.
Menurut riwayat dari Umar: “Ketika memasuki kamar
gudang, aku melihat Nabi berbaring di atas tikar jerami di suatu sudut.
Manakala beliau bangun, terlihat bekas tikar pada sisi beliau, sebuah
pemandangan yang membautku mengucurkan air mata.” Ketika melihat Umar begitu
berduka, beliau berbicara kepadanya tentang bahagianya hidup sebagai seorang
zahid serta menceraikan dunia dan menenangkannya.[20]
Tingkah laku para istri Nabi Saw. adalah salah satu kesulitan terburuk yang
dihadapi Nabi. Hal ini dapat dipahami bahwa terdapat jurang yang begitu dalam
yang membedakan mereka secara spiritual dan idiologis. Lebih jauh lagi,
kalangan perempuan pada saat itu dianggap tidak lebih dari budak yang tidak
berdaya, rendah, serta tidak memiliki kebebasan yang berharga. Oleh karenanya
hanya di rumah dan bersama Muhammadlah mereka menikmati kebebasan dan
kehormatan yang selama ini mereka tidak dapatkan.[21]
Penutup
Fatimah
az-zahra adalah satu sosok wanita yang multidimensional, multidimensional ini
memiliki pengertian bahwa Fatimah az-zahra memiliki berbagai aspek keunggulan
dalam kehidupannya yang bisa dan patut untuk dijadikan acuan keteladanan bagi
manusia sezaman dan manusia setelahnya. Fatimah az-zahra sendiri tidak bisa dilepaskan
dari sosok yang bernama Muhammad putra Abdullah, yang juga sekaligus merupakan
ayahanda beliau. Dari pengajaran Nabi itulah pribadi agung Fatimah terbentuk
sehingga karakter kenabian Muhammad sangat erat melekat dalam kepribadian Nabi
Muhammad.
Maka sangat wajar kiranya
Fatimah adalah salah satu sosok wanita dari empat deretan wanita mulia yang
dijanjikan Nabi sebagai penghulu surga. Dalam karya ilmiah sederhana ini,
penulis rasa tidak akan cukup bahkan menggambarkan sosok Fatimah itu sendiri,
sebab sosok tersebut terlalu agung untuk digambarkan, semakin digambarkan
semakin luas terlihat kemuliaan sosok perempuan suci
tersebut. Maka di sini penulis hanya mampu menggambarkan secara sederhana
pribadi agung tersebut dari beberapa aspek kehidupannya yang mungkin bisa kita
realisasikan dengan keadaan kehidupan kita sekarang ini.
Fatimah adalah
sosok—sebagaimana digambarkan oleh Hasan al-Basri—wanita yang tak ada seorang
pun di dunia ini yang lebih bijaksana dari Fatimah; dia selalu tunduk dan patuh
(do’a) hingga kakinya tak jarang bengkak. Al-Hasan menggambarkan az-Zahra sebagai orang yang paling zuhud, “Aku melihat ibuku berdiri di mihrabnya
setiap malam jum’at. Dia ruku’ dan sujud dengan khusyu’, dan aku mendengar do’a
yang ia peruntukkan untuk ummatnya, menyebut-nyebut mereka”.
Fatimah adalah sosok yang
menanggung masalah keluarga, saat sedang hamil, saat mengasuh ank-anak, dan
ikut betanggunh jawab terhadap Islam dalam permasalahn sosial, meskipun dengan
seluruh kebencian yang dialamatkan pada dirinya dan kelemahan tubuhnya, ia
selalu tunduk dan patuh dengan menghadap Allah setiap saat terkhusus malam hari
hingga bengkak kakinya, dan didapati pada sosoknya yang setiap malam menguntai
do’a-do’a tulus yang ia sampaikan pada Tuhan dan semua itu ia peruntukkan bagi
ummatnya.
[1]
Rahmat, Jalaluddin, Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw,
2002, Bandung: Muthahhari Press, hal. 128
[2]
Ibid, 129
[3]
Ibid
[4]
Ibid, 132
[5]
Ibid, hal. 134
[6]
Ibid, hal 135
[7]
Amin, Muhammad, The True Story of Muhammad and Khadijah’s Beloved Daugther;
Fatimah, 2013, Jakarta: Arifa, hal. 13
[8]
Ibid. hal. 13-14
[9]
Ibid
[10]
Ibid, hal. 15
[11]
Amini, Ibrahim, Fatimah az-Zahra,
2005, Jakarta: Lentera, hal. 95 dalam Kasyf
Al-Ghummah, II, hal. 79
[12]
Fadlullah, Sayyid Muhammad Husayn, Fatimah
Al-Ma’sumah (as): A Role Model for Men and Women, 2012, hal. 37 (PDF dan
Penerbit tidak dicantumkan).
[13]
Ibid
[14]
Ibid, hal. 5 b(bisa dibaca selengkapnya penjelasan Sayyid Muhammad Husayn
Fadlullah dalam buku PDF yang sama)
[15]
Penjelasan ini juga diungkapkan oleh Sayyid Muhammad Husayn Fadlullah.
[16] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di
Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal, 9-10.
[17] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di
Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal, 10.
[18] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di
Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal, 14.
[19] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di
Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal, 14.
[20] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di
Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal,19.
[21] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di
Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal,19.
DAFTAR RUJUKAN
Amini, Ibrahim, Fatimah az-Zahra,
2005, Jakarta: Lentera.
Amini, Ibrahim, Fatimah az-Zahra,
2008, Kuwait: Thohor (PDF).
Amin, Muhammad, The True Story of Muhammad and Khadijah’s Beloved
Daugther; Fatimah, 2013, Jakarta: Arifa.
Fadlullah, Sayyid Muhammad Husayn, Fatimah
Al-Ma’sumah (as): A Role Model for Men and Women, 2012, (PDF dan Penerbit
tidak dicantumkan).
H. Baihaqi A.K, Ilmu Mantik; Teknik Dasar
Berpikir Logik, (Tanpa Tahun), Darul Ulum Press.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan, 2015, Bandung: Mizan.
Rahmat, Jalaluddin, Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi
Saw, 2002, Bandung: Muthahhari Press.
Syariati, Ali, Fatimah, Pribadi
Agung Putri Rasulullah, 2002, Jakarta: Pustaka Zahra (terj: Hashem
Assegaf). Cet. III
Syariati, Ali, Perempuan-perempuan di Sisi Nabi Muhammad Saw, 2012,
Yogyakarta: Rausan Fikr. 2012.







0 komentar:
Posting Komentar