Jumat, 04 Maret 2016

FATIMAH: SIMBOL PERJUANGAN DAN PEMBEBASAN ATAS PENINDASAN HAK-HAK PEREMPUAN

Ilustrasi
Perempuan dalam konteks kebudayaan tak jarang dianggap sebagai sosok yang lemah dan tak berguna. Pandangan ini muncul karena wanita dianggapnya tidak bisa berbuat apa-apa dan bahkan justru membebani kehidupan dalam keluarga dan masyarakat. Dan ini pulalah yang terjadi pada masa Arab jahiliyah pada masa sebelum kedatangan (bahkan setelah kedatangan) Nabi. Wanita pada masa tersebut dianggapnya sebagai barang rongsokan dan hama dalam keluarga. Wanita dipandangnya sebagai aib, sehingga dalam tradisi, mereka terbiasa dengan membunuh anak-anak perempuan mereka dengan menguburnya secara hidup-hidup untuk menutupi aib dari lingkungan masyaraktnya. Kalaupun harus hidup, wanita itu tak memiliki hak apapun pada dirinya.
Begitulah kira-kira gambaran singkat pandangan manusia dan masyarakat Arab jahiliyah pada waktu itu tentang wanita. Salah satu misi diutusnya Nabi Muhammad adalah bagaimana mengangkat harkat dan martabat wanita dengan mengembalikan hak-hak mereka sesuai tempatnya. Misi tersebut tidaklah mudah dilakukan oleh Nabi meski dia seorang Nabi, selain karena harus melawan arus kebiasaan buruk masyarakat Arab, ia juga mengalami kendala dalam masalah penerimaan akan deklarasinya sebagai utusan Tuhan, sebab banyak sekali yang menentang dan melakukan perlawanan, terutama sekali mereka yang akal dan hatinya telah mati.
Namun kenyatan tersebut tak lantas membuatnya menyerah, ia terus berjuang dengan sabar, hingga sampai pada akhirnya Allah mengirimnya seorang putri yang suci untuk menemani perjuangannya, putri itu bernama Fatimah. Sosok yang lahir di tengah pergolakan dan penentangan terhadap sosok perempuan, justru Allah mengirimkan pada Nabi Muhammad seorang putri. Bukannya Nabi merasa malu apalagi takut, tapi justru Nabi membutuhkan Fatimah sebagai bentuk wujud kongkrit perjuangan melawan penindasan terhadap hak-hak perempuan. Fatimah lah yang kemudian menjadi sosok yang tak dapat dipisahkan dari sosok Muhammad dalam perjuangan Islam.
Maka dalam tulisan sederhana ini penulis membatasi permasalah pada dua aspek, pertama penulis ingin memaparkan gambaran kehidupan masyarakat Arab jahiliyah dan cara pandang serta perlakuan mereka terhadap perempuan, kemudian yang kedua sendiri adalah penggambaran sosok Fatimah serta perjuangannya. Dan pada bagian akhir tulisan penulis meletakkan kesimpulannya terhadap sosok suci ini.
Kondisi Geografis dan Sosial Tanah Arab
Tanah Arab atau yang lebih dikenal dengan Jazirah Arab  pada masa sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw. bukanlah merupakan suatu tempat yang memiliki daya tarik yang kuat bagi manusia-manusia non-Arab untuk berkunjung ke sana. Bahkan Jazirah Arab luput dari suatu bentuk imperialisme dua kekuatan besar pada saat itu yang saling berebut pengaruh, yakni; Romawi dan Persia. Hal ini terjadi bukan karena Arab adalah merupakan suatu wilayah yang kuat secara militer, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sehingga tidak bisa ditaklukan.
Justru sebaliknya, wilayah Arab sangatlah tidak menguntungkan dan menjanjikan apa-apa bagi dua imperium besar itu, hal ini ditinjau dari sudut geografis wilayah Arab, yang merupakan gurun yang tandus, sehingga tanahnya tidak bisa ditumbuhi segala macam jenis tanaman. Dari keadaan geografis tersebut jelas tidaklah menguntungkan secara ekonomi bila dilakukan satu bentuk imperialisasi oleh kedua imperium itu. Di sisi lain bahwa memang juga secara sosial-politik bangsa Arab tidak memiliki satu sistem tatanan pemerintahan yang baik. Dalam pengertian bahwa bangsa Arab tidak memiliki satu bentuk pemerintahan yang tetap dan kuat untuk mengatur kehidupannya secara keseluruhan.
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana hidup mereka yang lebih condong pada satu sikap kesukuan (‘Ashabiyyah) ketimbang hidup bersatu dalam satu bentuk Negara. Satu bentuk sikap kesukuan yang begitu kentalnya di kalangan masyarakat Arab juga sering—bahkan menjadi tradisi bangsa Arab dulu—menimbulkan kefanatikan yang berlebihan yang pada akhirnya berujung pada satu bentuk sikap vandalis yang bermuara pada peperangan antar suku yang berkelanjutan dan tiada henti (bahkan dalam hal-hal sepele sekalipun).
Memang dari sisi geografis wilayah yang sulit itu, Jazirah Arab mendapat keuntungan, bahwa mereka tidak menjadi daerah yang dilirik untuk dijajah oleh dua imperium besar itu. Ditambah juga bahwa pada faktanya dengan keadaan wilayah yang luas dan kondisi masyarakat yang cukup rumit maka sangat sulit untuk dikendalikan. Jadi memang sangat wajar bila Jazirah Arab relatif terlepas dari kedua kekuasaan itu.
Namun di sisi lain dari kenyataan geografis yang sulit itu bangsa Arab mendapat kerugian yang sangat besar, dalam arti bahwa konsekuensi yang harus diterima adalah secara kebudayaan bangsa Arab tidak mengalami kemajuan yang berarti. Kebudayaan hanya berkembang apabila ada pertemuan dengan kebudayaan-kebudayaan yang lain. Kebudayaan Arab pada waktu itu relatif sangat rendah dibandingkan dengan kebudayaan yang lain.[1]
Hal tersebut pula yang mendasari gaya hidup bangsa Arab yang harus bertahan di sekitar negeri yang tandus, dengan udara yang garang, mereka berusaha tetap hidup dengan mempertahankan ikatan kelompok yang sangat kuat (qabiliyyah, ‘ashabiyyah). Keterikatan itu sangat kuat dan tinggi sebab itulah satu-satunya cara mereka tetap bertahan hidup.[2] Bangsa Arab pada waktu itu dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menetap di suatu tempat seperti di Mekkah. Mekkah dikenal sebagai Ummul Qura’, induk dari seluruh tempat di sekitar Arab. Kota seperti Mekkah menjadi pusat kegiatan berbagai kabilah. Kelompok kedua adalah mereka yang tinggal di gurun-gurun pasir dan yang berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka disebut Badawi (orang-orang yang tinggal di luar hadharah) dan peradaban. Al-Qur’an tidak menyebut mereka dengan Arab, tetapi A’rab yang menunjuk pada Badawi.[3]
Kedudukan Perempuan di Zaman Jahiliyyah
Kedudukan perempuan pada masa jahiliyyah sangatlah rendah dan hina. Sehingga pernah kita mendengar—dalam kitab dan buku-buku sejarah Islam—banyak anak-anak perempuan yang baru lahir dikubur hidup-hidup, karena malu pada orang lain disebabkan anak yang lahir adalah perempuan, yang dianggap sebagai lambang kehinaan. Ada dasar-dasar sosiologis kenapa perempuan tidak begitu dihargai pada masa jahiliyyah. Pada saat itu gaya atau pola hidup masyarakat adalah nomad.[4] Gaya hidup nomad ini dikarenakan seringnya mereka kekurangan bahan makanan bahkan hingga masa rasulullah. Tak dipungkiri kekurangan bahan makanan ini faktor terbesarnya adalah disebabkan oleh faktor geografis wilayahnya yang merupakan gurun pasir yang tandus.
Dalam keadaan kekurangan bahan makanan ini, dalam pandangan Jalaluddin Rahmat bahwa kecenderungan untuk mengurangi jumlah penduduk kemungkinan besar terjadi—dan bahkan harus terjadi. Maka hal yang demikianpun terjadi pada masa lalu di lingkungan masyarakat Arab jahiliyyah. Maka pada situasi dan kondisi yang demikian inilah masyarakat Arab jahiliyyah dihadapakan pada dua pilihan, manusia (jenis kelamin atau anak) yang harus dikorbankan. Maka pilihan mereka jatuh pada anak perempuan.
Hal ini memiliki beberapa alasan mengapa hal ini terjadi, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa ada dua alasan yang mendasari itu semua. Pertama, dalam sosio-kultur bangsa Arab pada masa itu perempuan adalah beban kehidupan, ini karena perempuan tidak bisa berperang dan berburu. Kedua, selain menjadi beban, populasi perempuan yang banyak dalam suatu kabilah berarti adalah suatu kelemahan bagi kabilah tersebut, dikarenakan kabilah-kabilah Arab pada masa itu sangat suka berperang, sehingga jika populasi perempuan lebih banyak dari laki-laki maka kabilah itu akan kalah, dan wanita tidak bisa mempertahankan kabilah.
Gaya dan pola hidup masyarakat jahiliyyah ini juga terekam jelas dalam al-Qur’an, sebagaimana al-Qur’an menyatakannya seperti pada;
dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh QS. Al-Takwir: 8-9
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. QS. Al-Isra’: 31 dan QS. Al-An’am: 151
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. QS. An-Nahl: 58-59
Ada pendapat yang mengatakan bahwa sejarah tentang penguburan hidup-hidup bayi perempuan pada masa Arab jahiliyyah itu tidak benar, salah satunya adalah Al-Khudhari—sebagaimana dijelaskan oleh Jalaluddin Rahmat dalam bukunya—yang menyatakan tidak ada wa’dul banat, ini kemudian ditolak oleh Rahmat bahwa pernyataan Al-Khudhari itu tidak bisa dibenarkan dan harus ditolak, sebab menurutnya bahwa asumsi untuk mengukur keabsahan suatu tarikh haruslah berdasarkan al-Qur’an.
Kemudian dari sisi sejarah, bahwa tingkah pola kehidupan masyarakat Arab yang begitu primitif dalam pengertian diskriminatif jender dan berpola pikir dangkal juga menunjukkan hal yang berjalan positif dengan argumentasi di atas. Bahwa imam Ali kw. Pernah menggambarkan suatu keadaan sosial-kultur bangsa Arab pada waktu sebelum kehadiran rasul adalah, “Allah mengutus Muhammad saw. sebagai  pemberi peringatan bagi seisi dunia dan sebagai pengemban amanat wahyu-Nya, sementara Anda, penduduk Arabia, mengikuti agama yang paling buruk, dan Anda berkediaman di antara batu-batu kasar dan ular-ular berbisa. Anda meminum air kotor dan makan makanan najis. Anda saling menumpahkan darah dan tidak mempedulikan kekerabatan. Berhala-berhala terpasang di antara Anda dan dosa melekat pada Anda.”[5]
Dalam berita lain digambarakan oleh Ja’far bin Abi Thalib ketika ditanya oleh Raja Habsyi. Ja’far berkata, “Kami hidup dulu di zaman jahiliyyah. Kami tumpahkan darah, kami putuskan silaturahmi, kami makan yang jelek-jelek. Orang-orang kuat di antara kami memakan yang lemah, kemudian datanglah dia kepada kami mengajarkan kami untuk berbuat baik dan beramal shaleh”. Ini adalah gambaran Ja’far terhadap kondisi masyarakat jahiliyyah sebelum bi’tsah dan setelah kedatangan kedatangan Rasulullah.[6]
Dua berita ini digambarkan atau disampaikan oleh orang yang pernah hidup pada masa itu, sehingga kondisi dan situasi masyarakat Arab pada waktu itu dapat kita ketahui. Dari gambaran tersebut, dapat kita lihat bahwa betapa “primitifnya” bangsa Arab pada tempo itu, dimana sikap yang saling bermusuhan satu sama lain, suka berperang, memutus hubungan kekerabatan, tidak ada sistem aturan yang kokoh dan bagus dalam membangun kehidupan berkelompok apalagi berbangsa, serta sikap diskriminatif jender pada anak-anak perempuan mereka, dengan mengubur mereka hidup-hidup dan tidak menghargai keberadaan mereka sebagai suatu eksistensi ciptaan Tuhan, sebagaimana laki-laki, ini menunjukkan betapa terbelakangnya mereka.
Kelahiran Fatimah; Simbol Perlawanan Terhadap Ketidakadilan
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal—dan kita ketahui bersama bahwa  kehidupan sosio-kultur bangsa Arab adalah keras kaku, terbelakang dan tidak suka menetap dalam artian pola tempat tinggal mereka selalu berubah-ubah (nomaden). Di sisi lain dari sisi sikap dan watak, selain dikenal sebagai bangsa yang kasar dan keras—dipengaruhi faktor demografi berupa gurun, juga dikenal sebagai bangsa yang gengsinya tinggi, hal ini dibuktikan dengan sikap mereka yang sangat malu apabila dalam keluarga atau kelompok mereka terdapat seorang anak perempuan.
Pada masa ini, perempuan memang memiliki kedudukan yang luar biasa rendahnya, perempuan dipandang sebagai kehinaan, beban, najis, bahkan kotoran yang harus disingkirkan jauh-jauh dari pandangan dan kehidupan mereka. Dari pikiran kerdil dan picik itulah kemudian memunculkan sikap dan sifat yang lebih rendah daripada binatang dengan mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka yang baru lahir. Sekali lagi sikap dan cara pandang yang kerdil dengan memandang perempuan sebagai sesuatu beban dan kehinaan adalah andil dari pengaruh geografis wilayah yang keras dan tidak terjamah peradaban yang tinggi terutama dalam ilmu pengetahuan yang berkembang atau mendominasi saat itu, yakni, Romawi dan Persia.
Tidak terjamahnya bangsa Arab saat itu selain alasan utamanya adalah wilayah yang sulit dan tidak menguntungkan, ini juga dipengaruhi oleh pola kehidupan masyarakat saat itu yang barbar. Dengan alasan-alasan itu pulalah menjadikan bangsa Arab saat itu menjadi bangsa yang terbelakang dan terpinggirkan oleh dunia luar. Dalam kondisi yang seperti itu, kemudian pantaslah kiranya Allah swt. mengutus rasul-Nya Muhammad saw. untuk menyampaikan risalah ketuhanan, agar manusia—khususnya Arab saat itu—kembali pada jalan Tuhan.
Namun usaha Tuhan melalui Muhammad saw. itu tidaklah mudah dilakukan, banyak tantangan dan perlawan yang terjadi yang dilakukan oleh bangsa Arab jahiliyyah. Pada konteks inilah sebenarnya risalah Tuhan sedang melewati dan memasuki tahap-tahap yang luar biasa ke tubuh bangsa Arab jahiliyyah. Penolakan dan perlawanan ini timbul akibat berlawananannya ajaran yang dibawakan Muhammad oleh ajaran-ajaran mainstream jahiliyyah. Salah satu tugas kerisalahan Muhammad adalah selain menyempurnakan akhlak manusia juga hendak menyampaikan dan menuntun manusia untuk mengakui dan menghargai hak-hak setiap individu tanpa diskriminasi jender dan apapun itu.
Maka salah satu tugas berat Nabi Muhammad adalah bagaimana menunjukkan dan mengajak manusia Arab waktu itu untuk memperlakukan perempuan sebagaimana mestinya, Nabi menentang dan melawan sikap orang-orang jahiliyyah Arab yang mendeskreditkan anak-anak perempuan mereka. Untuk itulah salah satu dakwah Nabi adalah bagaimana mengangkat hak-hak dan derajat perempuan yang diinjak-injak.
Tentu penolakan akan hal itu datang dari berbagai penjuru kabilah Arab yang jahiliyyah, sebagai seorang rasul Muhammad tentu harus memiliki dan memberikan contoh kepada masyarakat yang pola pikirnya bar-bar dan kerdil. Maka Allah menitipkan seorang putri di kandungan Khadijah melalui benih suci Muhammad, sosok bayi perempuan yang akan lahir di tengah-tengah kondisi yang menolak kehadiran perempuan, justru dinanti-nanti oleh Rasulullah dan Khadijah. Sedikitpun tidak ada kekhawatiran dan rasa malu sebagaimana kaumnya terhadap anugerah janin perempuan itu. Hal yang justru berlawanan diperlihatkan oleh Muhammad dan keluarganya dalam menanti kehadiran sosok perempuan yang pada akhirnya menjadi simbol dan contoh perlawanan terhadap ketidakadilan.
Hingga pada akhirnya ketika Fatimah az-Zahra lahir betapa hal itu telah menentramkan hati Nabi dan juga menjadi pelipur lara dari perjuangannya yang berat di tengah orang-orang yang pemikirannya masih terbelakang. Kelahiran Fatimah ibarat embun yang menghapuskan dahaga di tengah gurun pasir yang tandus. Ini terbukti dari betapa bahagia dan bangganya rasul ketika para sahabat menanyakan tentang anak perempuan itu, ia dengan lantang dan bangga menjawab bahwa anak perempuan itu adalah anak seorang utusan Tuhan semesta alam.
Sikap rasul yang berlawanan dengan sikap masyarakat Arab jahiliyyah itu membuat suasana menjadi gaduh dan menimbulkan kebencian di masyarakat Arab jahiliyyah. Dimana perempuan adalah simbol kehinaan dan nestapa bagi seorang ayah, maka jika sebuah keluarga kehadiran seorang bayi perempuan maka itu adalah simbol kerusakan dan kemelaratan. Maka pantas kiranya perempuan harus disingkirkan.
Dalam pandangan yang sangat merendah-hinakan perempuan itu, Fatimah lahir. Dimana Muhammad adalah Nabi terakhir pembimbing manusia menggapai cahaya ilahi setelah sekian lama terpuruk dalam kebodohan yang pekat.[7] Fatimah lahir dan besar dalam naungan wahyu. Dialah perempuan yang dipersiapkan sebagai insan ilahiah; perempuan sempurna sesuai dengan tujuan penciptaan manusia. Meski usia Fatimah tidak panjang—ada yang mengatakan 18 tahun ada juga usianya sampai 21 tahun—namun kehidupan singkat yang dilaluinya menjadikan ayahnya bangga. Kebanggaan Nabi Muhhammad karena Fatimah adalah wanita sejati.[8]
Perbaikan yang dibawa oleh ayah Fatimah, Rasulullah saw. khususnya adalah masalah kesetaran jender, yang memiliki pengertian bagaimana seharusnya wanita itu berkedudukan dalam masyarakat. Zaman ke zaman berlalu pasti, ketika tidak ada sebuah negeri, sebuah sistem hidup dan masyarakat memberi hak layak kepada perempuan—gadis maupun bersuami, seorang ibu maupun seorang isteri. Ketika dimana kelahiran seorang anak perempuan dianggap bencana. Maka saat itulah Muhammad diutus untuk membawa risalah Islam dari Tuhan, untuk memperbaiki semua kekacauan itu, salah satunya adalah masalah wanita.
Tindakan penghormatan Islam terhadap perempuan, ditunjukkan secara demonstratif oleh Nabi Muhammad yang sangat bangga mempunyai putri Fatimah. Jika ada seorang bertanya tentang perempuan kecil itu, maka dengan bangga Nabi berkata, “Siapa yang mengenal anak ini, maka dia telah mengenalnya. Siapa yang belum mengenal anak ini, maka ketahuilah dialah Fatimah putriku. Dia belahan jiwa, hati dan ruhku. Siapa menyakitinya berarti telah menyakitiku. Siapa menyakiti aku dia telah menyakiti Allah.”[9]
Tidak dapat dipungkiri kelahrian Fatimah terjadi saat dimana perjuangan Islam sedang berlangsung dan digalakkan oleh Muhammad ayahnya. Maka dari itulah kedudukan Fatimah sangat erat dan besar dalam perjuangan Islam itu sedniri. Dimana Fatimah telah menjadi bagian dan simbol kemerdekaan bagi kemanusiaan yang tertindas melalui perjuangan dan contoh yang diberikan oleh Rasulullah. Selain itu juga Fatimah menjadi contoh abadi perjuangan menegakkan keadilan. Bahwa sebagian besar perjalanan hidup Fatimah diabdikan untuk menopang perjuangannya. Fatimah sedari kecil telah ikut serta dalam perjuangan ayahnya, maka tidak heran bila dari kondisi tersebut terbangun sosok yang memiliki pengetahuan yang tinggi, dimana pengetahuannya adalah bersifat ilahiyyah yang didapat dari seorang utusan Tuhan, memiliki nalar yang jernih yang merupakan wujud kecerdasannya.
Ketika Fatimah menginjak usia remaja—sejak kecil Fatimah menghibahkan hidupnya untuk turut serta menopang perjuangan ayahnya—Fatimah mengganti kedudukan ibunya, Khadijah. Ia memahami betul seluruh misi yang diemban oleh ayahnya; memperbaiki moral masyarakat di sekitarnya yang bar-bar. Fatimah sadar bahwa misi yang diemban ayahnya adalah misi suci dari Sang pencipta. Karena itu Fatimah menjadi wanita di deretan terdepan untuk melaksanakan segala perintah dan larangan Islam. Seorang putri dari seorang rasul, yang senantiasa hari-harinya penuh dengan didikan dari yang mulia rasul, maka ini menjadikan Fatimah sebagai sosok yang memiliki kepribadian sempurna.[10]
Kenapa Fatimah?
Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam perjuangan Islam oleh Rasulullah, peranan Fatimah az-Zahra juga tidak dapat dipisahkan darinya. Bahwa Fatimah telah memberikan semangat kepada rasulullah dalam menjalankan misi sucinya. Fatimah hadir di tengah-tengah perjuangan Rasul, di masa dimana bagi mereka itu adalah masa yang sangat sulit bagi keluarga mulia itu. Dimana kelahiran itu terjadi saat tradisi Arab jahiliyah sangat merendahkan derajat dan harkat perempuan.
Kelahiran Fatimah adalah simbol kesetaraan dan simbol perjuangan mengangkat derajat manusia khususnya perempuan. Dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh Aisyah disebutkan, “Tidak pernah aku melihat seorang pun yang lebih mirip pembicaraannya dengan Rasulullah dibanding Fatimah. Jika Rasulullah masuk ke tempatnya, ia bangun lalu mencium Rasulullah, memegang tangan beliau, dan mendudukkan beliau di tempatnya.”[11]
Kemudian dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Aisyah dikatakan bahwa, “Aku tidak melihat seorang pun yang dapat dipercaya dari Fatimah selain ayahnya.[12]
Ada sebuah nilai yang penting dicatat dari hadits tersebut, bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan oleh Aisyah, yang mana Aisyah menjelaskan bahwa Fatimah bukan hanya sekadar orang yang dapat dipercaya tapi yang paling bisa dipercaya setelah Rasulullah. Gambaran tersebut telah menunjukkan pada setiap orang bahwa Rasulullah dan Fatimah merupakan orang yang paling memiliki tingkat sensitivitas tertinggi terhadap amanah, sehingga mereka adalah orang-orang yang paling benar dan paling dapat dipercaya dalam  setiap ucapan dan perilakunya. Aisyah melihat bahwa Fatimah adalah sosok yang dapat dipercaya (benar), dan seseorang yang telah menunjukkan kebenaran tersebut dalam ucapan dan akhlaknya, sebagaimana hal itu pula yang ditampilkan oleh ayahnya yang digelari al-Amin oleh masyarakatnya sendiri.[13]
Sementara itu Fatimah sendiri adalah sosok yang berkepribadian benar, dimana kesedihannya adalah kesedihan terhadap persolan-persoalan Islam, dan juga kebahagiaannya adalah pesan kebahagiaan; bahkan dalam sosok Fatimah sendiri adalah merupakan simbol kedalaman dan keluasan Islam dan kebajikan-kebjikan Islam juga kita bisa dapati itu semua terkumpul pada sosok wanita mulia itu—jika kita melihatnya secara jujur dan jernih. Hal ini juga dibukiktikan—dalam aspek teologi Islam (Khususnya mazhab Syiah)—semenjak ia menjadi penghulu wanita dunia yang menunjukkan bahwa ia telah sampai pada puncak spiritual dan etika moral yang tertinggi.[14]
Dengan argumen dan alasan-alasan itulah mengapa Fatimah az-Zahra begitu menarik untuk dikaji dan dipahami serta diikuti aspek-aspek luhur yang diajarkan dan diperjuangkannya untuk ummat manusia. Maka ketika kita sampai pada tahap-tahap tertentu katakanlah ketika mengingatnya, itu meniscayakan kita juga harus ingat akan pesan dan tuntunannya. Dan Fatimah sendiri menjadi figur paling sentral (selain rasul) ketika mengingat Islam dan perasalahan-permasalahan yang senantiasa berubah. Dalam aspek teologis, kita semua merasa bahwa dalam seluruh aspek kehidupan ini Fatimah az-Zahra hidup dan hadir di tengah-tengah kita.
Banyak orang yang hidup kemudian setelah mati tak memiliki bekas atau tidak terekam zaman dalam jejak-jejak kehidupannya. Hal ini dikarenakan mereka hanya sekadar hidup dan tidak memberikan arti dalam kehidupan ini. Sehingga semakin zaman berlalu semakin hilanglah namanya dalam kehidupan, sebab orang segan atau bahkan tak mengerti apa yang harus diteruskan dari orang-orang seperti itu. Hal ini tentu berbeda dengan Fatimah az-Zahra yang merupakan sosok dari beberapa sosok mulia yang dibicarakan oleh zaman tentang kemulian dan keagungannya. Sepanjang pesan-pesan kebajikan itu masih terus dibicarakan dan sepanjang manusia masih membuka pesan-pesan kebajikan itu, maka orang-orang bijak akan tetap hidup di tengah-tengah kehidupan zaman yang berbeda-beda.
Dan Fatimah az-Zahra adalah sosok yang menempati puncak tertinggi dari orang-orang yang seperti ini, agak sulit bagi kita menbicarakan Rasul tanpa menyebut sosok Fatimah. Fatimah adalah buah hati yang terlahir dari jiwa terdalam dari jasad Nabi, dan kita juga tidak bisa berbicara sosok seorang Ali tanpa menyebutnya, yang merupakan sahabat atau pun belahan jiwanya dalam suka dan duka. Demikian pula ketika berbicara al-Hasan, al-Husain, dan Zainab kita tidak bisa melepaskan sosok Fatimah az-Zahra sebagai sosok yang paling berpengaruh dan paling memiliki banyak rahasia dari kesucian masa kanak-kanak dan kepribadian mereka sepanjang hidup.
Rahasia inilah yang kemudian harus kita ingat selalu di dalam pikiran dan hati kita bahwa keadaan tersebut (kehidupan Fatimah dan keluarga) bukanlah harus menjadi tangisan semata. Kita tidak bisa hanya dengan menagis saja lantas kemudian telah mengaku menjadi pengikut setianya, tapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana air mata itu membuka diri kita untuk memahami betul pesan dan ajaran-ajaran beliau, hal ini dikarenakan ia dan seluruh hidupnya adalah air mata di mana air mata itu ia peruntukkan untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi pada ummat manusia dan tak sekalipun ia berpaling dari tugas suci itu. Ini adalah rahasia dari seluruh  Ahlull Bait yang mana mereka semua hidup seluruhnya hanya untuk Islam dan memberikan hidup mereka kepada Islam dan perjuangan.[15]
Suri Tauladan Bagi Ummat Manusia Yang Tak Lekang Oleh Zaman
Pada bagian ini, penulis ingin memfokuskan pembahasan tentang sosok seorang Fatimah yang merupakan sosok wanita yang diteladani dan menjadi contoh dari masa ke masa oleh setiap orang yang jujur dan beritikad baik dalam menemukan kebenaran. Dalam Islam persoalan kenabian selalu diletakkan atau dibebankan pada sosok laki-laki, dan tak ada seorang perempuan pun yang mengemban misi kenabian tersebut, hal ini terkadang menjadi sisi yang selalu dikritik oleh lawan-lawan Islam, bahwa Islam diskriminatif terhadap sosok wanita dalam misi kenabiannya.
Tapi penulis tidak akan membahas permasalahan tersebut, pada bagian ini penulis mencoba mengangkat sosok Fatimah az-Zahra sendiri sebagai seorang wanita suci dan mulia tapi minus gelar kenabian, yang senantiasa mejadi teladan sepanjang zaman, ini adalah sebuah usaha penulis untuk mencoba menjawab persoalan pelik tersebut. Dalam Islam memang yang mengemban misi atau tugas-tugas kenabian adalah sosok laki-laki, dan faktanya memang demikian sebab tidak ditemukan satu orang perempuan pun yang diklaim menjadi Nabi di Islam. Nabi secara sederhana dapat diartikan adalah sebagai sosok yang dibebankan padanya sebuah tugas Ilahiyyah untuk menyampaikan berita dari-Nya kepada manusia seluruhnya. Di al-Qur’an sendiri menyebutkan tidak lebih dari 25 Nabi dan rasul yang wajib diakui (diimani), meski di sisi lain al-Qur’an juga menyebut ada Nabi dan rasul-rasul lain yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Tapi dari 25 Nabi dan rasul yang disebutkan itu kesemuanya adalah laki-laki.
Lalu, bagaimana dengan perempuan? Apakah perempuan tidak bisa mengemban tugas kenabian? Apakah Islam bersikap diskriminatif?  Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabari disebutkan “Semulia-mulia wanita di surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiah binti Muzahim.” Inilah empat sosok wanita yang dijelaskan oleh Muhammad putra Abdullah sebagai sebaik-baik wanita dan menjadi penghuni surga. Beberapa wanita dalam hadits itu juga namanya disebutkan dalam al-Qur’an sebagai wanita yang mulia meski memiliki kemuliaan itu mereka tak disebutkan sebagai Nabi, hal ini juga terjadi pada sosok Lukman al-Hakim yang dijelaskan sebagai manusia yang tunduk dan patuh pada Tuhan tapi tak disebut sebagai sosok Nabi, tapi laki-laki yang sholeh.
Ini menunjukkan bahwa ada manusia suci  dan sholeh entah itu wanita atau laki-laki yang dimuliakan Allah bahkan diabadikan dalam al-Qur’an maupun hadits tapi tak juga disebutkan sebagai sosok Nabi. Keyakinan syariat dan teologis kita meyakini bahwa tugas kenabian memang telah ditetapkan kepada laki-laki, namun secara spiritualitas penulis menilai bahwa maqam-maqam kenabian dalam aspek spiritual/maknawi, itu juga terdapat pada sosok perempuan—terkhusus wanita yang tingkat spiritualitas dan tugasnya memliki kemiripan sebagaimana tugas para Nabi yang notabene laki-laki itu. Dan itu kita lihat pada sosok Maryam as. bagaimana ketaatannya pada Tuhan dalam menjaga kesucian jiwa dan dirinya, bagaimana juga Asiah as. yang patuh dan abdi pada Tuhan di tengah kehidupan raja (suami) yang zalim, dan bagaimana pula Khadijah menghibah dan mengabdikan dirinya pada Tuhan dengan membantu perjuangan Nabi Muhammad secara totalitas, dan juga bagaimana Fatimah az-Zahra yang sedari kecil hingga wafatnya berdiri di garda depan perjuangan Islam bersama ayahnya.
Ketika kita mencoba menghadirkan Fatimah sebagai sosok panutan atau sebuah contoh utama suri tauladan yang baik, ini berarti kita sejatinya tidak sedang berbicara tentang wanita semata. Kita menghadirkan sosok Fatimah sebagai seorang suri tauladan bagi laki-laki dan wanita seluruhnya, karena sosok Fatimah adalah gambaran dari seluruh unsur dan elemen dari Islam dan masyarakat Islam seluruhnya, sekali lagi ini tidak menunjukkan bahwa sosoknya teladan bagi wanita saja, sekalipun di dalam dirinya terdapat sebuah sosok yang agung untuk diteladani sebagai seorang wanita. Di sini wanita-wanita muslim dapat mengambil ibrah yang banyak dari sosok wanita mulia itu ketika mereka menyadari bagaimana sosok wanita suci itu menghabiskan waktunya secara bernilai, dan bagaimana dia berusaha dan berjuang untuk menyadarkan manusia dan mengangkat derajat mereka dari kebejatan  dan kehinaan mereka seorang diri, ia melakukan itu semua dengan seluruh kekuatan, pengetahuan, serta tingkat spiritualitas dan etika perilakunya yang dinamis, menyesuaikan dengan  kemampuan orang-orang yang dibimbingnya.
Sementara itu—khususnya dalam mazhab Syiah—sosok Fatimah sering disebut sebagai al-Kautsar yang memiliki arti “nikmat yang banyak”, dalam beberapa penafsiran disebutkan bahwa ketika suku Quraish mengejek bahwa Nabi Muhammad Saw tidak memiliki keturunan, saat demikian pula turun ayat al-Kautsar Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah, Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”. (QS. 108: 1-3).
Dikatakan bahwa ayat ini diturunkan untuk menghibur Nabi sekaligus juga untuk membantah ejekan-ejekan kaum Quraish, bahwa Nabi telah diberkahi dengan memberikan Nabi berbagai kenikmatan yang berlimpah, diantaranya adalah Fatimah yang merupakan karunia Allah yang berlimpah. Dari beberapa gambaran ini memberikan penjelasan pada kita tentang sosok Fatimah yang agung yang secara kepribadian memiliki pribadi yang agung seperti ayahnya dan bisa dan patut untuk dijadikan teladan bagi kehidupan dan perjuangan melawan segala bentuk penindasan. Sosok wanita mulia ini, memiliki berbagai aspek yang melampaui manusia lain, ia memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, tingkat kezuhudan yang tak dapat digambarkan, serta maqam spiritualitas yang luar biasa, meski tak bisa disebut sebagai seorang Nabi, tapi wanita semisal Fatimah ini memiliki kesamaan spiritual dan mental kenabian secara maknawi. Kalaulah diibaratkan maka Fatimah adalah pahlawan tanpa tanda jasa, atau wali Allah tanpa gelar kenabian.

Menikmati Kebebasan
Sebagaimana telah diurai di atas, berbicara perempuan pra Muhammad memanglah pelik (bahkan saat dan setelah Muhammad). Perempuan sebagai entitas yang sempurna dianggapnya sebelah mata sebagai barang rongsokan, hina, dan aib. Telah banyak pembicaraan mengenai isu ini (pendekatan Muhammada pada persoalan perempuan) namun masih banyak yang belum tuntas. Tulisan ini tentu masih jauh dari kelayakan untuk mengurainya, terlebih tulisan ini tidak difokuskan ke arah tersebut. Banyak karya-karya yang kemudian menceritakan sosok Muhammad dalam persoalan ini secara serampangan—kalau bukan cercaan musuh karena kebenciannya semua itu dapat kita lihat tak lebih dari sekadar sesuatu yang dilebih-lebihkan, kebohongan, tuduhan dan distorsi atas fakta sejarah, sebaliknya pujian hangat dan usaha menginterprestasi dan menjustifikasi isu-isu yang berkaitan sedemikian rupa agar sejalan dengan suasana periode tertentu dan cita rasa umatnya seringkali tidak sukses. Tetap saja kedua pendekatan tersebut tidak dapat memuaskan orang yang ingin menemukan realitas kebenaran.[16]
Isu perempuan dari sudut pandang emosi dan sosial masih patut dibahas, bahkan hingga saat ini. Sebab ilmu pengetahuan tidak mampu menjawab persoalan ini, maka mau tidak mau persoalan ini masih menjadi domain dari ideologi. Tidak hanya itu, banyak hal kemudian yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan akhirnya diserahkan pada filsafat, agama, tradisi, tren-tren yang berlaku, dan kebutuhan sosial (sosial dan individu) saat itu untuk menginterpretasi dan menjustifikasinya. Pada setiap mazhab pemikiran, era atau masyarakat memperlakukannya secara tertentu.[17] Karena itu orang yang mencoba memasuki hal ini tidak bisa lepas dari lima hal di atas. Karena itulah pendekatan emosi dan sosial manusia pada perempuan dan interpretasinya tidak bisa lepas dari zaman dan lingkungannya. Maka setiap zaman menuntut jawaban yang berbeda atas persoalan yang memiliki bentuk berbeda di setiap era dan masyarakat.
Ini kemudian dalam kaca mata Syariati dijelaskan bahwa persoalan perempuan dari berbagai sudut yang dapat didiskusikan bergantung pada variabel zaman dan lingkungan sampai pada batas tertentu sehingga kadang-kadang banyak prinsip dan norma dianggap sangat manusiawi pada periode tertentu dan dianggap kejahatan antikemanusiaan di lingkungan dan era lainnya. Dalam konteks poligami misalnya, dalam sudut pandang Barat modern, poligami dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan tindakan paling tidak manusiawi terhadap perempuan. Tentu akan positif jawabannya, jika kaca mata yang digunakan adalah kaca mata Barat modern untuk melihat Arab tempo dulu. Tidak bisa dilepaskan bahwa konteks geografi dan kultur bangsa Arab saat itu dalam menilai ini, maka melihat dan menilainya akan lebih fair jika kita gunakan kaca mata saat itu untuk melihat zamannya. Islam bukanlah agama yang memunculkan poligami, poligami jauh hadir sebelum Islam datang di Arab, bahkan lebih rumit dari yang dibayangkan. Pada intinya Islam tidak menganjurkan poligami tidak juga melarang total keberadaannya. Islam justru membatasi poligami menjadi empat dari jumlah yang tak terbatas. Mengenai pertanyaan mengapa Islam tidak menafikan poligami seutuhnya, itu adalah soal lain yang tak bisa dijawab di sini.
Atau dalam konteks hijab atau ‘chador’ (baju panjang yang terlentang dari wajah sampai kaki), era modern saat ini pakaian tersebut dianggap sebagai suatu bentuk pengekangan terhadap perempuan, dan satu bentuk lambang yang menjijikan. Padahal dalam konteksnya saat itu, baju demikian bagi perempuan adalah satu bentuk kedudukan dan kehormatan serta signal yang menunjukkan bahwa perempuan itu memiliki status sosial yang tinggi, bahkan di Timur Tengah perempuan masih ada yang menggunakannya sebagai bentuk prestige dalam masyarakat.
Banyak kemudian penulis dan peneliti yang berbicara soal demikian, namun tidak ada yang seserius Muhammad dalam memperjuangkan itu semua. Muhammad tidak hanya mengusahakan kemerdekaan perempuan itu dalam rumusan-rumusan teoritis, namun secara praktis iapun meletakkan pondasi yang luar biasa. Muhammadlah satu-satunya orang yang serius memperhatikan dan memperjuangkan nasib kaum perempuan dan menganugerahinya kehormatan manusiawi dan hak-hak sosial yang sebelumnya tak dapat didapati. Penganugerahan Islam atas hak-hak kepemilikan individual dan kemerdekaan ekonomi atas perempuan, sementara pada saat yang sama mengharuskan para laki-laki menjamin seluruh kebutuhan materialnya pada batas ketika perempuan dapat menuntut upah atas perawatan anak-anak mereka dan mengharuskan laki-laki membayar mahar istrinya, walaupun ide ini ditolak menurut keadilan, merupakan indikasi kepribadian (dan hak dalam Islam) atas perempuan.[18] Langkah-langkah ini juga dimaksudkan untuk mengantisipasi kesialan masa depannya dengan memastikan status ekonominya. Lebih jauh lagi, persamaan dalam masalah agama dan hukum atas perempuan dan laki-laki (dalam Islam) termasuk di antara faktor yang memberi mereka kemerdekaan yang sebenarnya di hadapan laki-laki yang selalu berusaha membawa mereka di bawah dominasi yang despotik (zalim).[19]
Persoalan ini nampak begitu sensitif dan ruwet jika dilihat dari sisi Islam. Namun apa yang kemudian dapat kita ambil simpulan dari penilaian kita akan hak sosial perempuan dan martabat moral serta manusiawi yang komprehensif dalam mazhab pemikiran bahwa Islam secara tegas dan diametris menentang diskriminasi seks, tidak berpihak pada gagasan persamaan seks juga. Dengan kata lain Islam tidak mendukung atau menolak diskriminasi juga tidak meyakini persamaan antara laki-laki dan perempuan. Yang kemudian terjadi adalah Islam memberikan tempatnya yang alami di masyarakat pada dua jenis kelamin tersebut. Islam sekali lagi menganggap bahwa diskriminasi sebagai suatu kejahatan dan persamaan sebagai kesesatan, yang pertama bertentangan dengan peradaban dan yang kedua bertentangan dengan alam.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Muhammad tidak hanya bekerja secara serius dalam soal teori namun dalam praktek juga ia membangun suatu peradaban bagi kemanusiaan dengan menempatkan perempuan pada posisi yang semestinya. Satu contoh yang telah dibahas sebelumnya misalnya soal betapa bahagia Muhammad dan bangganya ia mengumumkan anak perempuannya Fatimah di bangsa Arab yang menolak anak perempuan. Hal ini dilakukan guna mengingatkan pada bangsa Arab bahwa anak perempuanpun harus dicintai dan disayangi sebagaimana anak laki-laki. Pun demikian saat Ali melamar Fatimah kepada Ayahnya, Muhammad tidak memutuskan sepihak, justru ia mengembalikan semua itu kepada Fatimah apakah ia menerima atau menolak lamaran tersebut. Bukankah ini satu bentuk penghargaan yang paling tinggi kepada perempuan, memberikan ruang demokrasi yang begitu luas untuk perempuan menentukan nasibnya sendiri. Dalam sejarah misalnya, tak kurang, banyak perempuan yang kemudian menjadi sahabat Rasul (lihat Thabaqat jil. 8 karya Ibn Sa’d).
Sementara itu, saat perempuan lain tidak merasa aman dari suaminya, sering mendapatkan perlakuan kasar dan pengusiran jika dianggap mengganggu dan bertabiat tidak sesuai dengan suaminya. Banyak yang kemudian mengadu pada rasul perihal ulah suaminya. Berbeda dengan istri-istri rasul, mereka justru menikmati kebebasan yang sebebas-bebasnya. Bahkan dalam riwayat dikisahkan beberapa istri Nabi justru bertingkah kurang ajar di hadapan Nabi. Bahkan Nabi sering pergi ke gudang gandum dan naik ke tempat yang paling tinggi untuk menghindari istri-istrinya yang sering “ngomel-ngomel” dan nabi merasa gusar dan kesal karenanya. Beliau berdiam di sana selama  satu bulan. Hal ini kemudian membuat umat gusar dan khawatir, akhirnya diutuslah Umar untuk menemui Nabi. Umar meminta izin untuk berbincang dengannya, namun beliau menolak. Setelahnya Umar mengirim pesan yang isinya, “Bila Anda berpikir aku ingin berbicara kepada Anda mengenai anak perempuanku (Hafsah), aku begitu jijik dengan kelakuannya sehingga bila Anda mengizinkan aku, aku akan memotong lehernya.” Barulah Nabi mengizinkan Umar masuk.
Menurut riwayat dari Umar: “Ketika memasuki kamar gudang, aku melihat Nabi berbaring di atas tikar jerami di suatu sudut. Manakala beliau bangun, terlihat bekas tikar pada sisi beliau, sebuah pemandangan yang membautku mengucurkan air mata.” Ketika melihat Umar begitu berduka, beliau berbicara kepadanya tentang bahagianya hidup sebagai seorang zahid serta menceraikan dunia dan menenangkannya.[20] Tingkah laku para istri Nabi Saw. adalah salah satu kesulitan terburuk yang dihadapi Nabi. Hal ini dapat dipahami bahwa terdapat jurang yang begitu dalam yang membedakan mereka secara spiritual dan idiologis. Lebih jauh lagi, kalangan perempuan pada saat itu dianggap tidak lebih dari budak yang tidak berdaya, rendah, serta tidak memiliki kebebasan yang berharga. Oleh karenanya hanya di rumah dan bersama Muhammadlah mereka menikmati kebebasan dan kehormatan yang selama ini mereka tidak dapatkan.[21]

Penutup
Fatimah az-zahra adalah satu sosok wanita yang multidimensional, multidimensional ini memiliki pengertian bahwa Fatimah az-zahra memiliki berbagai aspek keunggulan dalam kehidupannya yang bisa dan patut untuk dijadikan acuan keteladanan bagi manusia sezaman dan manusia setelahnya. Fatimah az-zahra sendiri tidak bisa dilepaskan dari sosok yang bernama Muhammad putra Abdullah, yang juga sekaligus merupakan ayahanda beliau. Dari pengajaran Nabi itulah pribadi agung Fatimah terbentuk sehingga karakter kenabian Muhammad sangat erat melekat dalam kepribadian Nabi Muhammad.
Maka sangat wajar kiranya Fatimah adalah salah satu sosok wanita dari empat deretan wanita mulia yang dijanjikan Nabi sebagai penghulu surga. Dalam karya ilmiah sederhana ini, penulis rasa tidak akan cukup bahkan menggambarkan sosok Fatimah itu sendiri, sebab sosok tersebut terlalu agung untuk digambarkan, semakin digambarkan semakin luas terlihat kemuliaan sosok perempuan suci tersebut. Maka di sini penulis hanya mampu menggambarkan secara sederhana pribadi agung tersebut dari beberapa aspek kehidupannya yang mungkin bisa kita realisasikan dengan keadaan kehidupan kita sekarang ini.
Fatimah adalah sosok—sebagaimana digambarkan oleh Hasan al-Basri—wanita yang tak ada seorang pun di dunia ini yang lebih bijaksana dari Fatimah; dia selalu tunduk dan patuh (do’a) hingga kakinya tak jarang bengkak. Al-Hasan menggambarkan az-Zahra  sebagai orang yang paling zuhud, “Aku melihat ibuku berdiri di mihrabnya setiap malam jum’at. Dia ruku’ dan sujud dengan khusyu’, dan aku mendengar do’a yang ia peruntukkan untuk ummatnya, menyebut-nyebut mereka”.
Fatimah adalah sosok yang menanggung masalah keluarga, saat sedang hamil, saat mengasuh ank-anak, dan ikut betanggunh jawab terhadap Islam dalam permasalahn sosial, meskipun dengan seluruh kebencian yang dialamatkan pada dirinya dan kelemahan tubuhnya, ia selalu tunduk dan patuh dengan menghadap Allah setiap saat terkhusus malam hari hingga bengkak kakinya, dan didapati pada sosoknya yang setiap malam menguntai do’a-do’a tulus yang ia sampaikan pada Tuhan dan semua itu ia peruntukkan bagi ummatnya.




[1] Rahmat, Jalaluddin, Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw, 2002, Bandung: Muthahhari Press, hal. 128
[2] Ibid, 129
[3] Ibid
[4] Ibid, 132
[5] Ibid, hal. 134
[6] Ibid, hal 135
[7] Amin, Muhammad, The True Story of Muhammad and Khadijah’s Beloved Daugther; Fatimah, 2013, Jakarta: Arifa, hal. 13
[8] Ibid. hal. 13-14
[9] Ibid
[10] Ibid, hal. 15
[11] Amini, Ibrahim, Fatimah az-Zahra, 2005, Jakarta: Lentera, hal. 95 dalam Kasyf Al-Ghummah, II, hal. 79
[12] Fadlullah, Sayyid Muhammad Husayn, Fatimah Al-Ma’sumah (as): A Role Model for Men and Women, 2012, hal. 37 (PDF dan Penerbit tidak dicantumkan).
[13] Ibid
[14] Ibid, hal. 5 b(bisa dibaca selengkapnya penjelasan Sayyid Muhammad Husayn Fadlullah dalam buku PDF yang sama)
[15] Penjelasan ini juga diungkapkan oleh Sayyid Muhammad Husayn Fadlullah.
[16] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal, 9-10.
[17] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal, 10. 
[18] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal, 14.
[19] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal, 14. 
[20] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal,19.
[21] Ali Syariati, Perempuan-perempuan di Sisi Nabi Muhammad Saw, Yogyakarta: Rausan Fikr, 2012. Hal,19.

DAFTAR RUJUKAN
Amini, Ibrahim, Fatimah az-Zahra, 2005, Jakarta: Lentera.
Amini, Ibrahim, Fatimah az-Zahra, 2008, Kuwait: Thohor (PDF).
Amin, Muhammad, The True Story of Muhammad and Khadijah’s Beloved Daugther; Fatimah, 2013, Jakarta: Arifa.
Fadlullah, Sayyid Muhammad Husayn, Fatimah Al-Ma’sumah (as): A Role Model for Men and Women, 2012, (PDF dan Penerbit tidak dicantumkan).
H. Baihaqi A.K, Ilmu Mantik; Teknik Dasar Berpikir Logik, (Tanpa Tahun), Darul Ulum Press.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, 2015, Bandung: Mizan.
Rahmat, Jalaluddin, Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw, 2002, Bandung: Muthahhari Press.
Syariati, Ali, Fatimah, Pribadi Agung Putri Rasulullah, 2002, Jakarta: Pustaka Zahra (terj: Hashem Assegaf). Cet. III
Syariati, Ali, Perempuan-perempuan di Sisi Nabi Muhammad Saw, 2012, Yogyakarta: Rausan Fikr. 2012.

0 komentar:

Posting Komentar