Pada essai ini, saya ingin menulis semacam refleksi dengan
judul, “Antara Saya, Muslim, Jawa dan Bali”. Menurut saya ini sangat menarik
sekali untuk diceritakan. Perkenalkan, nama saya Deni Gunawan. Saya dari Bali,
asli lahir di Bali. Ayah saya adalah orang Bali Asli meski nenek moyang kami
adalah campuran Bugis-Bali. Dalam konteks Bugis-Bali ini tidak akan saya
jelaskan karena persoalan sejarah yang cukup panjang dan membutuhkan kajian
yang cukup mendalam. Kembali dalam konteks saya, jika kita perhatikan nama
saya, tidak akan kita temukan ada unsur-unsur Balinya sama sekali. Bahkan jika
merujuk dari nama Deni-nya terkesan kesunda-sundaan. Ya nama Deni memang khas
Sunda, meski secara darah saya tidak ada keturunan Sunda sama sekali.
Kita mungkin familiar dengan nama orang Bali yang
biasanya diawali huruf I, semisal I Putu, I Ketut, I Gusti, dan lain sebagainya.
Namun saya, memiliki nama yang berbeda
yakni, Deni Gunawan. Ini karena saya adalah Muslim Bali. Tapi meski begitu, ada
juga nama semisal itu yang di awali proposisi I juga digunakan oleh Muslim Bali
di satu daerah bernama Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, Bali. Seperti, I
Nengah Ahmad, I Made Rahman, dll. Sementara di Kabupaten Saya, di Jembrana, dan
Kabupaten lain pada umumnya tidak menggunakan proposisi I tersebut.
Muslim di Bali, meski penduduk asli—bukan pendatang—tidak
menggunakan identitas nama yang pada umumnya digunakan oleh saudara-saudara
Hindu Bali. Hal ini karena—mungkin—faktor agama yang bisa jadi menjadikan
penggunaan nama yang pada umumnya digunakan masyarakat Hindu Bali tidak
digunakan oleh masyarakat Muslim Bali. Sebagian dari Anda mungkin sudah
terlanjur menganggap bahwa Bali identik dengan Hindunya, dan penduduk asli Bali
adalah orang Hindu. Yang pertama mungkin benar, bahwa Bali memang identik
dengan Hindunya, selain Pariwisata tentunya. Sementara yang kedua, bisa jadi
Anda keliru, hal ini karena penduduk asli Bali bukan hanya bergama Hindu, ada
sebagian kecil—yang biasa kita sebut minoritas—adalah beragama Islam, Kristen,
bahkan Budha. Saya adalah salah satu bagian dari minoritas asli yang tidak
beragama mainstream (Hindu) dengan kata lain beragama Islam.
Saya tinggal di sebuah Desa kecil dekat dengan pantai lepas
(Samudera Hindia) dan jalur lintas Provinsi atau bisa kita sebut juga jalan
Nasional, Jl. Gilimanuk-Denpasar. Desa saya bernama Yeh Sumbul, di Kecamatan
Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Desa saya adalah salah satu desa di Bali, tepatnya
di kabupaten Jembrana yang penduduknya adalah mayoritas Muslim Bali. Di desa
saya ini terdapat empat buah masjid, antara lain di Dusun Yeh Sumbul dengan
masjid besarnya Baitul Amilin, Dusun Pangkungwani dengan Masjid Nurut Taqwa,
Dusun Samblong dengan Masjid Al-Huda, dan dusun Yeh Satang dengan Masjid. Meski
mayoritas Muslim, ada juga beberapa masyarakat Hindu Bali yang hidup di sana.
Dan belum saya temukan apakah ada masyarakat Kristen Bali, ataupun masyarat
Budha maupun Konghucu juga di sana.
Meski di desa saya masyarakatnya adalah Muslim, tidak
berarti bahasa yang digunakan bukanlah bahasa Bali. Tetap bahasa yang digunakan
adalah bahasa Bali. Meski bahasa Balinya bukanlah bahasa Bali yang paling
halus. Kenapa muslim menggunakan bahasa Bali? Sebab kami adalah orang Bali yang
beragama Islam. Kami bukan orang Jawa, Sunda, ataupun yang lainnya. Meski saat
ini, jika kita ke Bali, kita akan temukan banyak muslim dari suku Jawa dan
lainnya yang menetap dan tinggal di Bali. Antara Muslim Bali dan Hindu Bali mereka
semua dapat hidup berdampingan dan saling membantu. Tidak ada rasa canggung
serta curiga antara satu dengan yang lainnya. Selama saya hidup dan tinggal di
Bali—sebelum kuliah di Jakarta—saya merasakan satu bentuk hidup yang penuh
kedamaian dan toleransi yang tinggi. Masyarakat muslim bebas menjalankan
ibadahnya tanpa gangguan, bahkan sering didukung dalam segi pengamanan oleh
masyarakat Hindu Bali, dan sebaliknya masyarakat Hindu juga bebas melaksanakan
ibadahnya tanpa gangguan, dan juga sering didukung oleh masyarakat Muslim Bali.
Itulah kenapa, Bali dan beberapa daerah lain di Indonesia
(Manado dan Wonosobo) sering dianggap sebagai prototipe dari wajah
toleransi keberagamaan di Indoneisia. Selain di desa saya yang mayoritas
penduduknya adalah muslim Bali, ada juga desa lain yang penduduknya Muslim Bali
(masih di kabupaten Saya), antara lain Desa Yeh Kuning, Desa Medewi, dan Desa
Pulukuan, Desa Pekutatan, Desa Loloan Barat dan Timur, Desa Banyubiru, dan Desa
Pengambengan. Untuk Desa Pulukan, muslim
di sana telah terjadi mix (percampuran) karena di sana terhimpun antara
Muslim Bali dan Muslim dari suku Jawa. Sementara desa Pekutatan lebih dominan
adalah Umat Hindu. Adapun Desa Loloan Barat dan Timur, Desa Banyubiru dan Desa
Tegal Badeng adalah masyarakat Muslim Bali tapi memiliki karakteristik seperti
Suku Melayu.
“Seperti”, karena belum saya lakukan penelitian yang
mendalam akan opini ini. Namun, mengenai hal ini dapat kita lihat dari bahasa
yang digunakan di sana bukanlah bahasa Bali, tapi bahasa Melayu. Meski bersuku
Melayu, saya sebut ia sebagai Muslim Bali Melayu, karena dari cerita sejarah
yang diceritakan orang tua-orang tua di sana, masyarakat Melayu telah lama
tinggal dan menetap di sana (Hal ini perlu kajian dan penelitian lebih
mendalam). Sementara Desa Pengambengan masih memiliki ciri Melayu meski juga
terdapat Masyarakat Muslim Jawa (khususnya daerah-daerah Jawa yang dekat dengan
Bali seperti; Banyuwangi) yang telah menetap di sana sebagai pendatang.
Kembali pada persoalan saya, sebagai Muslim, yang dalam
konteks keindonesiaan dikatakan sebagai penduduk agama yang mayoritas tidak
lantas membuat saya merasa sebagai mayoritas. Hal ini karena dalam konteks kebalian
saya adalah minoritas. Pertanyaan yang mungkin timbul di benak Anda pada saya
adalah, Bagaimana perasaan Anda sebagai Muslim di Bali? Pernahkan Anda
mengalami intoleransi? Bagaimana hubungan Anda dengan saudara Hindu di sana?
Menjawab soal saya sendiri itu, mengenai perasaan sebagai
muslim atau minoritas di Bali. Perasaan saya mungkin bisa saya analogikan
seperti permen nano-nano. Penuh rasa, banyak warna. Menjadi minoritas bagi saya
gampang-gampang susah. Gampang karena alhamdulillah Bali sangatlah
toleran. Dengan begitu, saya merasa gampang-gampang saja dalam menjalankan
ritus-ritus keagamaan saya tanpa pernah takut akan adanya gangguan, karena
sikap dan bentuk toleransi yang diperlihatkan oleh kita dalam perilaku
sehari-hari memang riil adanya. Penuh warna dan menyenangkan karena menjadi
minoritas di Bali membuat saya menyadari bahwa betapa hal-hal semisal rasa
canggung dan takut menjadi minoritas dan hidup di tengah-tengah mayoritas juga
bisa saya rasakan pada apa yang juga dirasakan oleh mereka yang hidup menjadi
minoritas di dalam konteks Indonesia yang lebih luas. Dengan keadaan yang
begitu, saya menjadi lebih bisa belajar dan peka dalam menghargai tentang
perbedaan dan keragaman, serta lebih peka terhadap penindasan yang mengatasnamakan
agama/kelompok mayoritas terhadap minoritas. Dalam konteks yang demikian juga
mungkin saya rasakan susahnya.
Lanjut pada pertanyaan kedua, pernahkan Anda mengalami
intoleransi? Dengan jujur saya jawab pernah. Namun intoleransi tersebut bukan
dalam bentuk intimidasi, atau kekerasaan fisik. Lebih kepada intoleransi dalam
bentuk diskriminasi sosial. Saya punya pengalaman dalam hal ini, sebagai muslim
saya sering mendapatkan diskriminasi sosial ketika saya berada dalam komunitas
mayoritas, dalam hal ini Hindu. Kekerasaan itu biasanya paling banyak dalam
bentuk kata-kata yang tidak menyenangkan (stereotipe). Beberapa saudara Hindu
ketika tahu kalau saya adalah muslim, mereka akan menyapa saya dengan assalamualaikum
namun dalam nada yang mengejek. Selain itu juga, beberapa orang Hindu Bali
menganggap bahwa muslim yang ada di Bali adalah seluruhnya pendatang dari Jawa.
Kesalahpahaman seperti ini membuat mereka menganggap bahwa penduduk asli Bali
adalah mereka yang beragama Hindu.
Karena ketidaktahuan terhadap kenyataan bahwa di Bali
tidak hanya ada orang Hindu, akan tetapi ada masyarakat asli dengan keyakinan
lain selain Hindu eksis di Bali membuat mereka selalu memukul rata muslim, baik
yang asli maupun pendatang dianggap semuanya sebagai pendatang. Dan itu saya
alami selama saya hidup di Bali, meski tak sering namun, ketika momen-momen
tertentu hal itu saya dapati, semisal dengan menyebut diri saya sebagai Jawa.
Sering kali saya dapati kenayatan itu menimpa saya ketika saya ikut lomba-lomba
di Sekolah-sekolah Umum yang notabene mayoritas isinya adalah umat Hindu Bali.
Saya sendiri adalah sedari SD hingga SMA bersekolah di Madrasah Negeri di Bali.
Diskriminasi yang seperti itulah yang lebih banyak saya dapatkan di Bali
sebagai muslim minoritas. Meski Bali kita kenal dengan toleransinya yang
tinggi, namun untuk sampai toleransi yang sepenuhnya belum tercapai secara
mutlak, harus kita akui ini.
Ada hal lain yang kemudian saya merasakan satu bentuk
diskriminasi yang sangat luar biasa dampaknya adalah ketika terjadi BOM Bali I
dan II yang dilakukan oleh Amrozi CS atas nama Islam. Saat itu terjadi, betapa
selain ekonomi Bali terpuruk, khususnya pariwisatanya, juga terjadi satu
gesekan yang sangat luar biasa antara Muslim dan Hindu di Bali, meski tak
sampai terjadi benturan fisik. Dengan pemahaman yang terbatas tentang Islam,
didukung dengan emosi yang meluap karena ulah oknum yang meledakkan daerah di
Jimbaran yang mengatasnamakan Islam, membuat masyarakat Hindu Bali sangat
membenci orang-orang Jawa, Jawa di sini mereka identikkan dengan orang Islam.
Padahal tidak semua orang Islam Bali adalah Jawa/pendatang, meski tak dapat
dipungkiri, banyak muslim yang datang dari Jawa. Saya sendiri adalah satu
contoh orang non-Jawa, tapi orang Bali yang muslim yang lantas mendapatkan
dampak dari sentimen anti Islam/Jawa. Hal yang bisa Anda bayangkan, bagaimana
diskriminasi sosial dalam bentuk stereotipe menimpa kami bertubi-tubi
dan lebih intens lagi dari sebelum terjadi Bom Bali I dan II.
Tapi sekali lagi, hal ini karena selain ulah oknum yang
tidak bertanggung jawab memakai Islam untuk kekerasan, juga sebagian besar
masyarakat Hindu Bali tak mengenal wajah Islam yang seutuhnya. Sehingga
sentimen anti Jawa/Islam saat itu bisa terjadi. Dampak bom Bali yang kemudian
menimbulkan paradigma negatif terhadap Islam oleh masyarakat Hindu Bali
menimbulkan perubahan yang masiv dalam struktur sosial dan cara pandang
terhadap masyarak Islam. Salah satu contohnya adalah pengetatan penjagaan arus
manusia dan barang masuk ke Bali baik di Bandara Ngurah Rai atau Pelabuhan
Gilimanuk. Dulu sebelum terjadi bom Bali tak ada pemeriksaan yang ketat oleh
Brimob di Gilimanuk, sekarang ketika Anda hendak menuju Bali dari Jawa Anda
akan melewati beberapa lapis pemeriksaan. Mulai dari pemeriksaan barang, lalu
pemeriksaan diri Anda di pos Brimob, dan pemeriksaan kartu identitas oleh
Satpol PP. Bahkan tak jarang, ada perlakuan “khusus” bagi mereka yang Jawa
khsususnya muslim yang hendak ke Bali.
Mereka akan mendapatkan satu pemeriksaan yang begitu ketat dari SOP yang
biasa.
Seiring waktu berlalu, paradigma tentang Islam yang
negatif perlahan surut. Namun tak berarti bahwa itu hilang seutuhnya. Ini bisa
kita buktikan pada kasus tentang pelarangan penggunaan jilbab di sekolah umum
di Bali. Yang mencuat ke permukaan media Nasional terakhir belakangan. Memang
secara keseluruhan sentimen anti Islam masih lekat di Bali akibat Bom Bali yang
terjadi. Trauma terhadap Islam yang radikal tidak bisa begitu saja menghilang
dari pikiran dan perasaan Rakyat Bali, khususnya mereka yang Hindu. Memang
persoalan pelarangan jilbab adalah satu kesalahan yang mendasar yang dilakukan
oleh Sekolah Umum Negeri terhadap anak didik yang tentunya hak dan kebebasan
mereka di jamin oleh amanat konstitusi kita, yakni mengenai persoalan kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Sekolah tidak bisa menolak murid yang ingin masuk
sekolah dengan berjilbab dengan alasan bahwa sekolah telah menetapkan aturan
untuk itu. Sebagai lembaga pendidikan hal yang seperti ini tidak boleh terjadi.
Sementara itu, beberapa bulan lalu tepatnya bulan Januari
2015 saya pulang ke Bali, liburan kuliah. Saya mendapati satu situasi tentang
pro-kontra tentang persoalan desa. Di Bali, sebelum peraturan pemerintah
tentang desa muncul, terdapat dua desa yang hidup dan eksis di Bali yakni, desa
dinas dan desa adat. Desa dinas adalah desa yang sebagaimana kita ketahui pada
umumnya, yakni desa administratif yang melayani masyarakat secara umum.
Sementara desa adat adalah desa yang dibentuk untuk menjaga kebudayaan
masyarakat Bali, terkhusus Hindu. Memang desa ini hanya diperuntukkan untuk
masyarakat Hindu.
Ketika pemerintah pusat menginstruksikan bahwa desa harus
ada satu dan hanya satu yang berhak menerima dana desa, di sinilah terjadi
kebingungan dan kekacauan di Bali. Antara desa adat atau desa dinas yang akan
melayani masyarakat manakaha yang harus dipilih? Masyarakat Bali terpecah dalam
menanggapi soal ini, sementara umat Islam menolak, umat Hindu Bali terpecah dua
ada yang pro dan ada yang kontra. Di tengah-tengah kekusutan yang terjadi,
muncul seorang politikus muda Bali bernama Widya Karna yang sekarang duduk
sebagai DPD RI di Senayan memasang baliho di sepanjang jalan raya di Bali, yang
isinya sifatnya provokatif. Di mana ia mengajak kepada seluruh masyarakat Hindu
Bali untuk menggoalkan desa adat sebagai desa yang akan menjadi desa sah
di Bali. Tujuannya adalah—kata Widya Karna—untuk kedigdayaan masyarakat Hindu
Bali. Di sinilah letak kebodohan dan kesalahan politisi muda itu, ia tidak
memperhatikan sejarah dan realita yang ada bahwa Bali tidak hanya hidup manusia
dengan satu keyakinan yang homogen, dan bahwa Bali, meski secara mayoritas
adalah Hindu tidak berarti bahwa masyarakat dengan keyakinan lain seperti
Islam, Kristen, Budha, dan Konghucu tidak hidup di Bali.
Sikap konyol politisi yang demikianlah kadang-kadang juga
menimbulkan hal yang buruk bagi kehidupan antar keyakinan masyarakat Bali yang
selama ini hidup damai dalam perbedaan. Harus kita akui bahwa, di Bali penduduk
asli yang benar-benar asli adalah terletak di daerah yang bernama desa Trunyan.
Sehingga jika kita merujuk ke fakta itu, maka sejatinya baik Hindu maupun
muslim, dan yang lainnya bisa kita sebut adalah pendatang. Namun, tentu tidak
demikian dan semudah itu kita dapat menyimpulkan. Faktanya, masyarakat Hindu
Bali, dan sebagian kecil muslim Bali telah hidup lama dan jauh sejak masa
kolonialisme. Karena itu, baik sebagian kecil Muslim dan sebagian besar Hindu itu
bolehlah kita sebut sebagai orang Bali asli. Hal yang perlu disadari oleh kita
semua, tak terkecuali masyarakat Bali, baik muslim atau Hindu, ataupun yang
lainnya. Bahwa, kita hidup dalam kerangka bangsa Indonesia yang bineka. Di mana
segala perbedaan dan keyakinan dijamin oleh konstitusi akan keberadaannya.
Tidak boleh satu kelompok atas nama mayoritas berhak mengkebiri hak-hak
minoritas.
Jika kita lihat Bali, saya sendiri adalah anak orang
Bali—jika dilihat dari keturunan Bapak—dikatakan bahwa buyut saya adalah
campuran antara Bugis dan Bali. Kenapa Bugis? Ini adalah persoalan sejarah lain
yang panjang untuk diceritakan, kenapa suku Bugis bisa terdampar di Bali. Entah
benar atau salah, bahwa ada pendapat yang menyatakan bahwa Hindu Bali adalah
sisa-sisa dari kejayaan Majapahit yang terdesak oleh kerajaan Demak saat itu,
sehingga menemukan tempat pelarian dan perlindungan yang kini bernama Bali. Tentu ini hanya asumsi, namun
dari segi arsitektur, Bali merupakan miniatur Majapahit tempo dulu. Beberapa nama
tempat di Bali pun akan kita temukan sama dengan daerah di Jawa, semisal Kediri
juga terdapat daerah Kediri di Bali.
Untuk menutup refleksi ini, saya ingin mengatakan bahwa,
Bali dengan toleransinya yang kuat tak berarti hal-hal kecil seperti di atas sepenuhnya
tidak ada, tentu ada, dimanapun kecenderungan menjadi mayoritas kadang-kadang
membuat kita lalai akan kelompok minoritas yang hidup berdampingan dengan kita.
Kadang-kadang mayoritas merasa paling memiliki, seperti Islam dalam konteks
Aceh, Hindu dalam konteks Bali, Kristen dalam konteks NTT, dll. Menjadi muslim
dan minoritas di Bali terlebih sebagai orang Bali asli membuat saya bangga dan
bahagia. Bisa bertemu banyak orang baik dari komunitas Hindu. Perlu kita sadari
bahwa Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu adalah seluruhnya adalah agama
impor yang di bawa para saudagar dan penjajah ke negeri kita. Untuk itu, tak
jarang bahwa kita juga salah mencerap mana ajaran agama dan mana budaya para
pembawa agama itu yang kita ambil sebagai bagian dari ajaran agama. Bahkan
kadang-kadang sikap keras para pembawa agama juga kita ambil sebagai bagian
dari ajaran agama. Padahal tidak demikian juga adanya, karena itulah kita harus
yakin bahwa agama selalu mengajarkan kebaikan dan persamaan atas harkat dan martabat
manusia apapun agamanya.
Apa yang saya alami—sekaligus menjawab pertanyaan ketiga
tentang hubungan saya dengan Umat Hindu Bali—adalah mungkin cerita sebagai
minoritas yang riil saya alami. Namun begitu, saya menganggap kejadian stereotipe
itu bukanlah satu bentuk diskriminasi Hindu terhadap muslim, akan tetapi lebih
kepada person yang kemudian belum memiliki basis pengetahuan yang jelas dan
luas terhadap akar persolan yang ada. Untuk sikap saling menghargai,
menghormati, dan menjaga satu dengan yang lain haruslah senantiasa kita
galakkan, demi menjaga kesatuan kita berbangsa dan bernegara dalam kebinekaan.
Dan inilah juga yang merupakan ajaran nenek moyang serta leluhur kita dahulu.
Dalam al-Qur’an kita diajarkan untuk saling mengenal terhadap mereka yang
berbeda, bukan malah saling menjatuhkan dan menghujat satu dengan yang lainnya.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal” (QS-Al-Hujurat ayat 13).







0 komentar:
Posting Komentar