Selasa, 03 November 2015

Antara Saya, Muslim, Jawa dan Bali (Refleksi)

Pada essai ini, saya ingin menulis semacam refleksi dengan judul, “Antara Saya, Muslim, Jawa dan Bali”. Menurut saya ini sangat menarik sekali untuk diceritakan. Perkenalkan, nama saya Deni Gunawan. Saya dari Bali, asli lahir di Bali. Ayah saya adalah orang Bali Asli meski nenek moyang kami adalah campuran Bugis-Bali. Dalam konteks Bugis-Bali ini tidak akan saya jelaskan karena persoalan sejarah yang cukup panjang dan membutuhkan kajian yang cukup mendalam. Kembali dalam konteks saya, jika kita perhatikan nama saya, tidak akan kita temukan ada unsur-unsur Balinya sama sekali. Bahkan jika merujuk dari nama Deni-nya terkesan kesunda-sundaan. Ya nama Deni memang khas Sunda, meski secara darah saya tidak ada keturunan Sunda sama sekali.

Kita mungkin familiar dengan nama orang Bali yang biasanya diawali huruf I, semisal I Putu, I Ketut, I Gusti, dan lain sebagainya. Namun saya,  memiliki nama yang berbeda yakni, Deni Gunawan. Ini karena saya adalah Muslim Bali. Tapi meski begitu, ada juga nama semisal itu yang di awali proposisi I juga digunakan oleh Muslim Bali di satu daerah bernama Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, Bali. Seperti, I Nengah Ahmad, I Made Rahman, dll. Sementara di Kabupaten Saya, di Jembrana, dan Kabupaten lain pada umumnya tidak menggunakan proposisi I tersebut.

Sumber: backyardtravel.com

Muslim di Bali, meski penduduk asli—bukan pendatang—tidak menggunakan identitas nama yang pada umumnya digunakan oleh saudara-saudara Hindu Bali. Hal ini karena—mungkin—faktor agama yang bisa jadi menjadikan penggunaan nama yang pada umumnya digunakan masyarakat Hindu Bali tidak digunakan oleh masyarakat Muslim Bali. Sebagian dari Anda mungkin sudah terlanjur menganggap bahwa Bali identik dengan Hindunya, dan penduduk asli Bali adalah orang Hindu. Yang pertama mungkin benar, bahwa Bali memang identik dengan Hindunya, selain Pariwisata tentunya. Sementara yang kedua, bisa jadi Anda keliru, hal ini karena penduduk asli Bali bukan hanya bergama Hindu, ada sebagian kecil—yang biasa kita sebut minoritas—adalah beragama Islam, Kristen, bahkan Budha. Saya adalah salah satu bagian dari minoritas asli yang tidak beragama mainstream (Hindu) dengan kata lain beragama Islam.

Saya tinggal di sebuah Desa kecil dekat dengan pantai lepas (Samudera Hindia) dan jalur lintas Provinsi atau bisa kita sebut juga jalan Nasional, Jl. Gilimanuk-Denpasar. Desa saya bernama Yeh Sumbul, di Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Desa saya adalah salah satu desa di Bali, tepatnya di kabupaten Jembrana yang penduduknya adalah mayoritas Muslim Bali. Di desa saya ini terdapat empat buah masjid, antara lain di Dusun Yeh Sumbul dengan masjid besarnya Baitul Amilin, Dusun Pangkungwani dengan Masjid Nurut Taqwa, Dusun Samblong dengan Masjid Al-Huda, dan dusun Yeh Satang dengan Masjid. Meski mayoritas Muslim, ada juga beberapa masyarakat Hindu Bali yang hidup di sana. Dan belum saya temukan apakah ada masyarakat Kristen Bali, ataupun masyarat Budha maupun Konghucu juga di sana.

Meski di desa saya masyarakatnya adalah Muslim, tidak berarti bahasa yang digunakan bukanlah bahasa Bali. Tetap bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali. Meski bahasa Balinya bukanlah bahasa Bali yang paling halus. Kenapa muslim menggunakan bahasa Bali? Sebab kami adalah orang Bali yang beragama Islam. Kami bukan orang Jawa, Sunda, ataupun yang lainnya. Meski saat ini, jika kita ke Bali, kita akan temukan banyak muslim dari suku Jawa dan lainnya yang menetap dan tinggal di Bali. Antara Muslim Bali dan Hindu Bali mereka semua dapat hidup berdampingan dan saling membantu. Tidak ada rasa canggung serta curiga antara satu dengan yang lainnya. Selama saya hidup dan tinggal di Bali—sebelum kuliah di Jakarta—saya merasakan satu bentuk hidup yang penuh kedamaian dan toleransi yang tinggi. Masyarakat muslim bebas menjalankan ibadahnya tanpa gangguan, bahkan sering didukung dalam segi pengamanan oleh masyarakat Hindu Bali, dan sebaliknya masyarakat Hindu juga bebas melaksanakan ibadahnya tanpa gangguan, dan juga sering didukung oleh masyarakat Muslim Bali.

Itulah kenapa, Bali dan beberapa daerah lain di Indonesia (Manado dan Wonosobo) sering dianggap sebagai prototipe dari wajah toleransi keberagamaan di Indoneisia. Selain di desa saya yang mayoritas penduduknya adalah muslim Bali, ada juga desa lain yang penduduknya Muslim Bali (masih di kabupaten Saya), antara lain Desa Yeh Kuning, Desa Medewi, dan Desa Pulukuan, Desa Pekutatan, Desa Loloan Barat dan Timur, Desa Banyubiru, dan Desa Pengambengan.  Untuk Desa Pulukan, muslim di sana telah terjadi mix (percampuran) karena di sana terhimpun antara Muslim Bali dan Muslim dari suku Jawa. Sementara desa Pekutatan lebih dominan adalah Umat Hindu. Adapun Desa Loloan Barat dan Timur, Desa Banyubiru dan Desa Tegal Badeng adalah masyarakat Muslim Bali tapi memiliki karakteristik seperti Suku Melayu.

“Seperti”, karena belum saya lakukan penelitian yang mendalam akan opini ini. Namun, mengenai hal ini dapat kita lihat dari bahasa yang digunakan di sana bukanlah bahasa Bali, tapi bahasa Melayu. Meski bersuku Melayu, saya sebut ia sebagai Muslim Bali Melayu, karena dari cerita sejarah yang diceritakan orang tua-orang tua di sana, masyarakat Melayu telah lama tinggal dan menetap di sana (Hal ini perlu kajian dan penelitian lebih mendalam). Sementara Desa Pengambengan masih memiliki ciri Melayu meski juga terdapat Masyarakat Muslim Jawa (khususnya daerah-daerah Jawa yang dekat dengan Bali seperti; Banyuwangi) yang telah menetap di sana sebagai pendatang.

Kembali pada persoalan saya, sebagai Muslim, yang dalam konteks keindonesiaan dikatakan sebagai penduduk agama yang mayoritas tidak lantas membuat saya merasa sebagai mayoritas. Hal ini karena dalam konteks kebalian saya adalah minoritas. Pertanyaan yang mungkin timbul di benak Anda pada saya adalah, Bagaimana perasaan Anda sebagai Muslim di Bali? Pernahkan Anda mengalami intoleransi? Bagaimana hubungan Anda dengan saudara Hindu di sana?

Menjawab soal saya sendiri itu, mengenai perasaan sebagai muslim atau minoritas di Bali. Perasaan saya mungkin bisa saya analogikan seperti permen nano-nano. Penuh rasa, banyak warna. Menjadi minoritas bagi saya gampang-gampang susah. Gampang karena alhamdulillah Bali sangatlah toleran. Dengan begitu, saya merasa gampang-gampang saja dalam menjalankan ritus-ritus keagamaan saya tanpa pernah takut akan adanya gangguan, karena sikap dan bentuk toleransi yang diperlihatkan oleh kita dalam perilaku sehari-hari memang riil adanya. Penuh warna dan menyenangkan karena menjadi minoritas di Bali membuat saya menyadari bahwa betapa hal-hal semisal rasa canggung dan takut menjadi minoritas dan hidup di tengah-tengah mayoritas juga bisa saya rasakan pada apa yang juga dirasakan oleh mereka yang hidup menjadi minoritas di dalam konteks Indonesia yang lebih luas. Dengan keadaan yang begitu, saya menjadi lebih bisa belajar dan peka dalam menghargai tentang perbedaan dan keragaman, serta lebih peka terhadap penindasan yang mengatasnamakan agama/kelompok mayoritas terhadap minoritas. Dalam konteks yang demikian juga mungkin saya rasakan susahnya.

Lanjut pada pertanyaan kedua, pernahkan Anda mengalami intoleransi? Dengan jujur saya jawab pernah. Namun intoleransi tersebut bukan dalam bentuk intimidasi, atau kekerasaan fisik. Lebih kepada intoleransi dalam bentuk diskriminasi sosial. Saya punya pengalaman dalam hal ini, sebagai muslim saya sering mendapatkan diskriminasi sosial ketika saya berada dalam komunitas mayoritas, dalam hal ini Hindu. Kekerasaan itu biasanya paling banyak dalam bentuk kata-kata yang tidak menyenangkan (stereotipe). Beberapa saudara Hindu ketika tahu kalau saya adalah muslim, mereka akan menyapa saya dengan assalamualaikum namun dalam nada yang mengejek. Selain itu juga, beberapa orang Hindu Bali menganggap bahwa muslim yang ada di Bali adalah seluruhnya pendatang dari Jawa. Kesalahpahaman seperti ini membuat mereka menganggap bahwa penduduk asli Bali adalah mereka yang beragama Hindu.

Karena ketidaktahuan terhadap kenyataan bahwa di Bali tidak hanya ada orang Hindu, akan tetapi ada masyarakat asli dengan keyakinan lain selain Hindu eksis di Bali membuat mereka selalu memukul rata muslim, baik yang asli maupun pendatang dianggap semuanya sebagai pendatang. Dan itu saya alami selama saya hidup di Bali, meski tak sering namun, ketika momen-momen tertentu hal itu saya dapati, semisal dengan menyebut diri saya sebagai Jawa. Sering kali saya dapati kenayatan itu menimpa saya ketika saya ikut lomba-lomba di Sekolah-sekolah Umum yang notabene mayoritas isinya adalah umat Hindu Bali. Saya sendiri adalah sedari SD hingga SMA bersekolah di Madrasah Negeri di Bali. Diskriminasi yang seperti itulah yang lebih banyak saya dapatkan di Bali sebagai muslim minoritas. Meski Bali kita kenal dengan toleransinya yang tinggi, namun untuk sampai toleransi yang sepenuhnya belum tercapai secara mutlak, harus kita akui ini.

Ada hal lain yang kemudian saya merasakan satu bentuk diskriminasi yang sangat luar biasa dampaknya adalah ketika terjadi BOM Bali I dan II yang dilakukan oleh Amrozi CS atas nama Islam. Saat itu terjadi, betapa selain ekonomi Bali terpuruk, khususnya pariwisatanya, juga terjadi satu gesekan yang sangat luar biasa antara Muslim dan Hindu di Bali, meski tak sampai terjadi benturan fisik. Dengan pemahaman yang terbatas tentang Islam, didukung dengan emosi yang meluap karena ulah oknum yang meledakkan daerah di Jimbaran yang mengatasnamakan Islam, membuat masyarakat Hindu Bali sangat membenci orang-orang Jawa, Jawa di sini mereka identikkan dengan orang Islam. Padahal tidak semua orang Islam Bali adalah Jawa/pendatang, meski tak dapat dipungkiri, banyak muslim yang datang dari Jawa. Saya sendiri adalah satu contoh orang non-Jawa, tapi orang Bali yang muslim yang lantas mendapatkan dampak dari sentimen anti Islam/Jawa. Hal yang bisa Anda bayangkan, bagaimana diskriminasi sosial dalam bentuk stereotipe menimpa kami bertubi-tubi dan lebih intens lagi dari sebelum terjadi Bom Bali I dan II.

Tapi sekali lagi, hal ini karena selain ulah oknum yang tidak bertanggung jawab memakai Islam untuk kekerasan, juga sebagian besar masyarakat Hindu Bali tak mengenal wajah Islam yang seutuhnya. Sehingga sentimen anti Jawa/Islam saat itu bisa terjadi. Dampak bom Bali yang kemudian menimbulkan paradigma negatif terhadap Islam oleh masyarakat Hindu Bali menimbulkan perubahan yang masiv dalam struktur sosial dan cara pandang terhadap masyarak Islam. Salah satu contohnya adalah pengetatan penjagaan arus manusia dan barang masuk ke Bali baik di Bandara Ngurah Rai atau Pelabuhan Gilimanuk. Dulu sebelum terjadi bom Bali tak ada pemeriksaan yang ketat oleh Brimob di Gilimanuk, sekarang ketika Anda hendak menuju Bali dari Jawa Anda akan melewati beberapa lapis pemeriksaan. Mulai dari pemeriksaan barang, lalu pemeriksaan diri Anda di pos Brimob, dan pemeriksaan kartu identitas oleh Satpol PP. Bahkan tak jarang, ada perlakuan “khusus” bagi mereka yang Jawa khsususnya muslim yang hendak ke Bali.  Mereka akan mendapatkan satu pemeriksaan yang begitu ketat dari SOP yang biasa.

Seiring waktu berlalu, paradigma tentang Islam yang negatif perlahan surut. Namun tak berarti bahwa itu hilang seutuhnya. Ini bisa kita buktikan pada kasus tentang pelarangan penggunaan jilbab di sekolah umum di Bali. Yang mencuat ke permukaan media Nasional terakhir belakangan. Memang secara keseluruhan sentimen anti Islam masih lekat di Bali akibat Bom Bali yang terjadi. Trauma terhadap Islam yang radikal tidak bisa begitu saja menghilang dari pikiran dan perasaan Rakyat Bali, khususnya mereka yang Hindu. Memang persoalan pelarangan jilbab adalah satu kesalahan yang mendasar yang dilakukan oleh Sekolah Umum Negeri terhadap anak didik yang tentunya hak dan kebebasan mereka di jamin oleh amanat konstitusi kita, yakni mengenai persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sekolah tidak bisa menolak murid yang ingin masuk sekolah dengan berjilbab dengan alasan bahwa sekolah telah menetapkan aturan untuk itu. Sebagai lembaga pendidikan hal yang seperti ini tidak boleh terjadi.

Sementara itu, beberapa bulan lalu tepatnya bulan Januari 2015 saya pulang ke Bali, liburan kuliah. Saya mendapati satu situasi tentang pro-kontra tentang persoalan desa. Di Bali, sebelum peraturan pemerintah tentang desa muncul, terdapat dua desa yang hidup dan eksis di Bali yakni, desa dinas dan desa adat. Desa dinas adalah desa yang sebagaimana kita ketahui pada umumnya, yakni desa administratif yang melayani masyarakat secara umum. Sementara desa adat adalah desa yang dibentuk untuk menjaga kebudayaan masyarakat Bali, terkhusus Hindu. Memang desa ini hanya diperuntukkan untuk masyarakat Hindu.

Ketika pemerintah pusat menginstruksikan bahwa desa harus ada satu dan hanya satu yang berhak menerima dana desa, di sinilah terjadi kebingungan dan kekacauan di Bali. Antara desa adat atau desa dinas yang akan melayani masyarakat manakaha yang harus dipilih? Masyarakat Bali terpecah dalam menanggapi soal ini, sementara umat Islam menolak, umat Hindu Bali terpecah dua ada yang pro dan ada yang kontra. Di tengah-tengah kekusutan yang terjadi, muncul seorang politikus muda Bali bernama Widya Karna yang sekarang duduk sebagai DPD RI di Senayan memasang baliho di sepanjang jalan raya di Bali, yang isinya sifatnya provokatif. Di mana ia mengajak kepada seluruh masyarakat Hindu Bali untuk menggoalkan desa adat sebagai desa yang akan menjadi desa sah di Bali. Tujuannya adalah—kata Widya Karna—untuk kedigdayaan masyarakat Hindu Bali. Di sinilah letak kebodohan dan kesalahan politisi muda itu, ia tidak memperhatikan sejarah dan realita yang ada bahwa Bali tidak hanya hidup manusia dengan satu keyakinan yang homogen, dan bahwa Bali, meski secara mayoritas adalah Hindu tidak berarti bahwa masyarakat dengan keyakinan lain seperti Islam, Kristen, Budha, dan Konghucu tidak hidup di Bali.

Sikap konyol politisi yang demikianlah kadang-kadang juga menimbulkan hal yang buruk bagi kehidupan antar keyakinan masyarakat Bali yang selama ini hidup damai dalam perbedaan. Harus kita akui bahwa, di Bali penduduk asli yang benar-benar asli adalah terletak di daerah yang bernama desa Trunyan. Sehingga jika kita merujuk ke fakta itu, maka sejatinya baik Hindu maupun muslim, dan yang lainnya bisa kita sebut adalah pendatang. Namun, tentu tidak demikian dan semudah itu kita dapat menyimpulkan. Faktanya, masyarakat Hindu Bali, dan sebagian kecil muslim Bali telah hidup lama dan jauh sejak masa kolonialisme. Karena itu, baik sebagian kecil Muslim dan sebagian besar Hindu itu bolehlah kita sebut sebagai orang Bali asli. Hal yang perlu disadari oleh kita semua, tak terkecuali masyarakat Bali, baik muslim atau Hindu, ataupun yang lainnya. Bahwa, kita hidup dalam kerangka bangsa Indonesia yang bineka. Di mana segala perbedaan dan keyakinan dijamin oleh konstitusi akan keberadaannya. Tidak boleh satu kelompok atas nama mayoritas berhak mengkebiri hak-hak minoritas.

Jika kita lihat Bali, saya sendiri adalah anak orang Bali—jika dilihat dari keturunan Bapak—dikatakan bahwa buyut saya adalah campuran antara Bugis dan Bali. Kenapa Bugis? Ini adalah persoalan sejarah lain yang panjang untuk diceritakan, kenapa suku Bugis bisa terdampar di Bali. Entah benar atau salah, bahwa ada pendapat yang menyatakan bahwa Hindu Bali adalah sisa-sisa dari kejayaan Majapahit yang terdesak oleh kerajaan Demak saat itu, sehingga menemukan tempat pelarian dan perlindungan yang kini  bernama Bali. Tentu ini hanya asumsi, namun dari segi arsitektur, Bali merupakan miniatur Majapahit tempo dulu. Beberapa nama tempat di Bali pun akan kita temukan sama dengan daerah di Jawa, semisal Kediri juga terdapat daerah Kediri di Bali.

Untuk menutup refleksi ini, saya ingin mengatakan bahwa, Bali dengan toleransinya yang kuat tak berarti hal-hal kecil seperti di atas sepenuhnya tidak ada, tentu ada, dimanapun kecenderungan menjadi mayoritas kadang-kadang membuat kita lalai akan kelompok minoritas yang hidup berdampingan dengan kita. Kadang-kadang mayoritas merasa paling memiliki, seperti Islam dalam konteks Aceh, Hindu dalam konteks Bali, Kristen dalam konteks NTT, dll. Menjadi muslim dan minoritas di Bali terlebih sebagai orang Bali asli membuat saya bangga dan bahagia. Bisa bertemu banyak orang baik dari komunitas Hindu. Perlu kita sadari bahwa Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu adalah seluruhnya adalah agama impor yang di bawa para saudagar dan penjajah ke negeri kita. Untuk itu, tak jarang bahwa kita juga salah mencerap mana ajaran agama dan mana budaya para pembawa agama itu yang kita ambil sebagai bagian dari ajaran agama. Bahkan kadang-kadang sikap keras para pembawa agama juga kita ambil sebagai bagian dari ajaran agama. Padahal tidak demikian juga adanya, karena itulah kita harus yakin bahwa agama selalu mengajarkan kebaikan dan persamaan atas harkat dan martabat manusia apapun agamanya.

Apa yang saya alami—sekaligus menjawab pertanyaan ketiga tentang hubungan saya dengan Umat Hindu Bali—adalah mungkin cerita sebagai minoritas yang riil saya alami. Namun begitu, saya menganggap kejadian stereotipe itu bukanlah satu bentuk diskriminasi Hindu terhadap muslim, akan tetapi lebih kepada person yang kemudian belum memiliki basis pengetahuan yang jelas dan luas terhadap akar persolan yang ada. Untuk sikap saling menghargai, menghormati, dan menjaga satu dengan yang lain haruslah senantiasa kita galakkan, demi menjaga kesatuan kita berbangsa dan bernegara dalam kebinekaan. Dan inilah juga yang merupakan ajaran nenek moyang serta leluhur kita dahulu. Dalam al-Qur’an kita diajarkan untuk saling mengenal terhadap mereka yang berbeda, bukan malah saling menjatuhkan dan menghujat satu dengan yang lainnya.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS-Al-Hujurat ayat 13).


0 komentar:

Posting Komentar