Jumat, 04 Maret 2016

KEADILAN ALI BIN ABI THALIB: Ali dan Perjuangannya Membela Hak Asasi Manusia


Sumber Foto: nute.edu.vn

Pengantar
Adil adalah kata yang mungkin dalam sejarah manusia adalah kata yang paling sering didengungkan dan menjadi idaman manusia. Adil memiliki banyak pengertian menurut para Ahli. Namun dalam pandangan penulis pengertian yang paling sesuai untuk adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Ini adalah pengertian yang diberikan oleh seorang kader dan pemimpin terbaik Islam yang merupakan keluaran dari madrasah Nabi Saw. yakni Ali bin Abi Thalib.
Sepanjang kehidupan masih ada, maka adil akan menjadi persoalan yang terus akan berkumandang. Dari adil seseorang akan berbicara keadilan. Keadilan ini muncul akibat adanya ketidaksesuaian peletakan sesuatu oleh yang lain terhadap yang lain. Karena itu kemudian orang-orang yang memegang teguh prinsip keadilan akan berusaha untuk memperjuangkannya. Hal ini karena persoalan keadilan erat kaitannya dengan penjagaan terhadap diri manusia, yakni hak asasinya. Jika keadilan tidak pernah ditegakkan, atau tidak ada sekolompok orang yang kemudian memperjuangkannya, maka kehancuran demi kehancuran, penindasan demi penindasan terhadap diri manusia akan terjadi, dan kekacauan dalam tatanan kehidupan membuat manusia takut untuk hidup.
Salah satu tokoh atau manusia yang paling ‘getol’ dalam membela dan menegakkan keadilan demi membela hak asasi manusia adalah Ali bin Abi Thalib, perkataannya mengenai keadilan adalah perkataan yang paling tepat, bukan hanya sekedar retorika belaka yang ia sampaikan, pada kenyataannya sejarah mencatat Ali sepanjang hidupnya selalu memperjuangkan keadilan. Bahkan kematiannya pun akibat kegigihan dan konsistensinya terhadap penegakan keadilan. Ali terbunuh dengan tebasan pedang yang ingin menentang keadilan, dan ingin menegakkan kezaliman.
Peristiwa ini terekam jelas dalam sejarah, Ali sendiri memiliki prinsip yang jelas dan tegas dalam persoalan keadilan dan pembelaannya terhadap hak asasi manusia. Ia tak sekalipun memihak dalam menetapkan suatu perkara, tak peduli keluarga, sahabat, pejabat, rakyat, jika bersalah maka ia akan menghukumnya sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Ali selalu bersikap ramah pada semua orang tapi tak mau kompromi dalam soal penegakan keadilan. Baginya keadilan adalah basis bagi kehidupan masyarakat yang berperadaban.Karenanya ia tidak pernah memihak pada siapapun kecuali atas dasar keadilan dan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Ali memiliki pola tersendiri dalam menegakkan keadilan, serta ia memiliki rumusan tersendiri dalam membangun suatu tatanan masyarakat bernegara. Karenanya kenapa kemudian Ali berbeda dari pendahulunya (tiga Khalifah sebelumnya, Abu Bakar, Umar, Utsman) dalam memimpin. Ia menolak untuk melaksanakan apa yang sudah dilaksankan tiga khalifah sebelumnya. Karena itulah kemudian ia gagal dalam bursa pencalonan kekhalifahan pada pemilihan khalifah ketiga. Ali memiliki prinsip yang berbeda, yang pada prinsipnya adalah tegaknya keadilan kepada siapaun berdasar ajaran Islam yang damai. Ali benar-benar mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya secara tepat baik kepada kawan dan lawan. Dari semua dasar itulah penulis ingin melihat kembali perjuangan Ali dalam mengekakkan keadilan dan membela hak asasi manusia, sehingga dari sana nantinya penulis harapkan dalam tulisan ini dapat menemukan prisip-prinsip keadilan Ali, dan kemudian dibenturkan pada realita penegakan hukum yang terjadi di Indonesia saat ini, yang kebanyakan masih bersifat tebang pilih.

       Sejarah Singkat Kehidupan Ali
Pada bagian ini penulis ingin menggambarkan beberapa poin —dalam perspektif penulis— penting pembahasan seputar latar belakang kehidupan Ali bin Abi Thalib. Ini dimaksudkan agar nanti dalam pembahasan seputar prinsip-prinsip keadilan Ali, penulis dapat menggambarkannya kepada pembaca dalam tulisan ini secara lebih mudah, serta mendukung gagasan atau analisa penulis dalam tema ini dengan memberikan sedikit gambaran mengenai sosok manusia satu ini. Atau lebih tepatnya pada bagian tulisan ini penulis maksudkan sebagai pendahuluan sebelum masuk kepada sub-tema pokoknya.
Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Ia adalah salah satu Amirul Mukminin, yang pada mazhab Syiah ia adalah Imam pertama dan merupakan pemegang wasiat kepemimpinan (al-washi). Sementara itu dalam mazhab Sunni ia merupakan sosok sahabat yang paling istimewa dan memiliki kedudukan yang tinggi di antara sahabat yang lain, yang juga merupakan salah satu dari khalifah atau sahabat yang empat.
Ali lahir di Ka’bah, Mekkah, pada hari Jum’at, 3 Rajab, atau sekitar 30 tahun setelah Tahun Gajah (sekitar 570 M). Dikatakan bahwa sebelum dan sesudahnya tak ada seorang bayipun lahir di Ka’bah, yang dalam agama Islam merupakan salah satu tempat yang paling sakral dan suci. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf. Oleh Nabi, Fatimah sendiri merupakan seorang wanita yang sudah dianggapnya seperti ibu, di mana Nabi pernah mendapat asuhan dan kasih sayangnya.[1]Ali bin Abi Thalib sendiri adalah merupakan sepupu Rasulullah Saw.
Dikisahkan bahwa semasa Ibunya hamil, ia masih ikut melakukan thawaf di sekitar Ka’bah. Dan karena kelelahan yang dialami oleh ibunya, si ibu duduk di depan Ka’bah dan berdo’a kepada Tuhannya agar diberikan kekuatan. Saat itulah Ali lahir di dalam Ka’bah.[2] Ali adalah salah satu orang yang dikategorikan sebagai orang-orang yang pertama kali masuk Islam setelah Nabi Saw. mengumumkan tentang kenabiannya.
Rasulullah sendiri merupakan madrasah atu tempat untuk belajar langsung, sehingga tak heran bila Nabi mengatakan bahwa bahwa Nabi adalah kota ilmu  dan Ali adalah pintu gerbangnya. Apapun yang diajarkan dan diajarkan oleh Nabi kepada Ali selalu diamalkan dan ditirunya. Di sisi yang lain Ali adalah salah satu pemuda yang sejak awal keislamannya tidak pernah sekalipun menyembah berhala. Sedari kecil telah bersama-sama berjuang dengan Nabi, membuat Ali memiliki karakter yang unggul dari yang lainnya. Situasi yang begitu dekat dan intim pada Rasul itu telah membuatnya memiliki kepribadian yang mirip dengan Rasul, kemiripan itu hampir meliputi segala sisi, mulai dari pengetahuan, karakter, keberanian, kesabaran, kebaikan, kemurahan hati, serta memiliki kefasihan dalam berbicara dan berpidato seperti Nabi.[3]
Ali bin Abi Thalib termasuk orang yang paling dekat dengan Rasul, sebab selain ia sebagai sepupu Rasul, ia juga merupakan anak asuh dan menantu Nabi. Sejarah  mencertikan bahwa Ali bin Abi Thalinb adalah seorang yang memiliki keberanian yang sangat tinggi dalam membela Nabi dan Agama. Ia adalah orang yang paling loyal terhadap keputusan-keputusan Nabi, tak sekalipun membantahnya. Ia merupakan salah satu pemuda yang paling sering ikut berperang bersama Nabi, bahkan dalam peperangan ia merupakan orang yang selalu tampil di depan dan merupakan penentu dalam situasi itu.
Fakta ini terekam dalam sejarah, misalnya pada perang Badar, hampir separuh dari jumlah pasukan musuh mati di tangannya.[4] Begitupun dalam perang Uhud, yang mana pihak musuh saat itu dipimpin oleh Abu Sofyan dari keluarga Umayah yang sangat memusuhi Nabi, Ali memerankan perannya yang sangat penting, di mana ketika beberapa orang sahabat tidak lagi mendengarkan perintah Rasul untuk tidak turun dari gunung yang merupakan pos intai, namun mereka turun dan posisi itu dikuasi pihak lawan, yang membuat pihak Nabi menjadi kocar-kacir dan kalah. Dalam situasi kritis itu Ali segera bergerak untuk melindungi dan menyelamatkan Nabi dari serangan musuh.[5]
Begitupun dengan beberapa peperangan yang terjadi pada masa Nabi, di antaranya perang Khandak dimana Ali bin Abi Thali dengan keberaniannya bertempur dengan panglima perang yang hebat dari pihak musuh bernama Amar bin Abdi Wud, yang berhasil dikalahkannya hingga tewas. Dan begitupun pada perang Khaibar, Ali diberikan kehormatan oleh Nabi untuk membawa panji yang berarti Ali ditunjuk sebagai panglima untuk merobohkan benteng kokoh kaum Yahudi zalim di Khaibar, atau lebih kita kenal sebagai benteng Khaibar. Dan berhasil membunuh perajurit Khaibar yang sangat berani bernama Marhab.[6]
Inilah sekelumit kisah perjuangan seorang Ali dalam menegakkan agama Allah dan membela Nabi. Bahwa seluruh kehidupannya memanglah ditunjukkan kepada Allah dan Nabinya. Tak sekalipun—sepanjang bacaan penulis—dalam sejarah dikatakan bahwa Ali pernah mundur atau menentang Nabi Saw. Kecintaannya pada Rasul bukanlah sekadar kata-kata tapi merupakan bukti konkrit yang disaksikan sejarah melalu perjuangannya. Maka ketika Rasul wafat, betapa menderita dan terpukulnya Ali, betapa kesedihan yang  begitu sangat dan amat mendalam ia rasakan. Kesedihannya semakin bertambah ketika 75 hari saat ditinggalkan Rasulullah, Fatimah istrinya juga meninggal dunia.[7]
Dengan wafatnya Nabi ini juga memberikan dampak yang begitu besar dalam kondisi internal umat Islam. Selain itu juga, memberikan perubahan pada sosok seorang Ali. Di antarnya perdebatan mengenai Ali yang diwariskan untuk menjadi penggantinya oleh Nabi, sementara pada kenyataannya di sisi lain pernyataan itu ditafsirkan berbeda oleh kelompok yang lain, yang menganggap bahwa pernyataan tesebut bukanlah legitimasi terhadap penyerahan wewenang kekuasaan mutlak.[8] Alhasil terekamlah dalam sejarah tentang peristiwa Tsaqifah yang menghasilkan pemilihan khalifah pertama, yang baru didengarnya dari tempat pemakaman Rasulullah Saw. Yang menurut sejarah peristiwa itu terjadi saat jasad Nabi belum dimakamkan.[9]
Setelah Abu Bakar wafat pada tahun ke-13 H, ia menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Setelah sepuluh tahun memimpin pada tahun ke-23 H, ia juga wafat. Dan sesaat sebelum wafat umar menunjuk enam orang penggantinya termasuk Ali. Namun kemudian terpilih Utsman Bin Affan sebagai khalifah ketiga. Yang menyebabkan tidak terpilihnya Ali saat itu adalah karena Ali tidak menyepakati poin-poin yang disayaratkan Abdurrahman Bin Auf, agar saat terpilih khalifah ketiga harus mengikuti apa yang telah dilakukan oleh khalifah pertama dan kedua.
Pada tahun ke-35 H, Utsman terbunuh dan kaum Muslim secara aklamasi memilih Ali sebagai gantinya. Sejak saat itu ia menjadi khalifah dan memimpin tidak kurang dari 4 tahun 9 bulan. Selama masa kepemimpinannya ia mencoba menerapkan ajaran-ajaran yang diajarkan oleh Nabi. Namun dalam menjalankan usahanya itu, ia menghadapi berbagai tantangan dan peperangan. Hal ini karena pembaharuan yang ia lakukan tidak sejalan dengan mereka-mereka yang memiliki kepentingan lain di luar prinsip yang dijalankan oleh Ali. Maka tidak heran semasa pemerintahannya banyak pertempuran internal yang terjadi, yang membuatnya sibuk untuk memerangi kelompok-kelompok yang memberontak kepemimpinannya yang sah. Seperti perempuran yang terjadi pada masa kepemimpinannya antara lain, perang Jamal antara Ali dan  Thalhah dan Zubair yang mendapat dukungan Muawiyyah serta Aisyah pun ikut memerangi Ali. Yang pada akhirnya pertempuran itu dimenangi Ali, dan Aisyah dipulangkan ke rumahnya secara terhormat.
Selanjutnya perang Shiffin antara Ali dan Muawiyyah. Yang pada akhirnya dimenangkan oleh Muawiyyah dan terbunuhnya Ali oleh tebasan pedang beracun Abdurahhman bin Muljam, pada 19 Ramadhan 40 H menjelang Subuh. Inilah sekelumit perjuangan Ali di mana Ali adalah sosok laki-laki yang paling loyal dan memiliki integritas yang tidak dapat diragukan lagi kepada Islam dan Nabi. Ia merupakan sosok sahabat yang paling berani dan merupakan produk langsung madrasah Nabi sejak Islam di ikrarkan oleh Nabi.

       Keadilan
Masalah keadilan yang akan kita bicarakan ini adalah masalah keadilan antara manusia dengan manusia. Keadilan di sini tidak mencakup pembahasan selainnya, seperti keadilan ilahi, yang juga menjadi pokok pembahasan pada subjek ilmu kalam. Keadilan adalah landasan penting untuk mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang berperadaban. Masyarakat berperadaban atau yang biasa disebut dengan masyarakat madani (civil society) adalah suatu tatanan masyarakat yang hanya akan terwujud jika hukum ditegakkan dengan adil, tidak membedakan orang berdasarkan suku, ras, dan agamanya, atau sudah tidak lagi melihat seseorang berdasarkan “orang atas” atau “orang bawah”, atau keluarga sendiri.
Sebagaimana definisi —yang menurut penulis paling tepat— mengenai keadilan adalah meletakkan sesuatu perkara pada tempatnya, ini berarti segala sikap dan tindakan (apapun itu) yang sesuai pada tempatnya adalah sesuatu yang adil. Dan kebalikan dari itu semua adalah berarti ketidakadilan yang berarti tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya, ini disebut dengan zalim. Adil memang dilawankan dengan zalim.
Prinsip-prinsip keadilan dalam Islam telah jauh sebelumnya dibangun dan ditegakkan oleh Nabi. Di al-Qur’an sendiri adil menjadi tema yang sering diulang-ulang dan dituntut oleh Allah untuk ditegakkan QS. An-Nisa’ Ayat 58, 105, 127. Dalam konteks masyarakat madani yang dibangun Nabi di Madinah, Nabi tidak sekalipun membedakan "orang atas" dengan "orang  bawah", maupun keluarga sendiri. "Rasulullah pernah menegaskan,  hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu terjadi karena jika 'orang atas'  melakukan kejahatan dibiarkan, tapi kalau 'orang bawah' yang melakukan  pasti dihukum."[10]
Inilah persoalan keadilan yang dihadapi manusia sepanjang zaman bahwa menegakkan kedilan bukanlah masalah yang ringan sebab adil menuntut adanya suatu keberanian dan ketegasan, tidak pandang bulu terhadap siapapun bahkan keluarga dekat kita. Itu sebabnya mengapa al-Qur’an menyatakan bahwa resiko orang berbuat adil adalah dimusuhi dan diancam kematian oleh pihak-pihak yang tidak menyukai jika keadilan ditegakkan. Dan ini terjadi sepanjang sejarah manusia mulai Adam hingga akhir nanti. Contoh riil adalah bagaimana seorang Nabi dan Ali yang senantiasa terancam jiwanya karena teguh dalam menegakkan keadilan di jalan Allah. Ini bisa kita lihat bagaimana al-Qur’an menjelaskan bahwa orang-orang yang menyeru pada keadilan akan terancam jiwanya QS. Al-Baqarah ayat 21. Pada sisi lain juga al-Qur’an menjelaskan bahwa sikap bertindak adil itu lebih dekat pada ketakwaan QS. Al-Maidah ayat 8. Dan orang-orang yang kategori ini akan selalu menjadi panutan sepanjang massa, selama manusia masih ada. Di mana perjuangannya akan selalu menjadi teladan bagi manusia selanjutnya.
Bersikap adil identik dengan menetapkan perkara secara proporsioal, dan perintah menegakkan hukum secara adil tanpa melihat siapa yang terkena dampaknya merupakan amanat Allah Swt. Dan masyarakat yang berperadaban haruslah berdiri di atas landasan ini. Sikap adil ini sejatinya telah dicontohkan oleh Nabi saat memberikan ilustrasi kepada anaknnya Fatimah, dengan mengatakan bahwa, jika siapapun menemukan Fatimah anakku (Nabi) mencuri maka Nabi sendiri yang akan memotong tangannya.[11] Bahwa keadilan haruslah ditegakkan tanpa pandang bulu, tidak melihat keluarga atau musuh semua harus diperlakukan secara adil. Dan inilah yang diingatkan al-Qur’an pada surat Al-Ma’idah ayat 8. Selain diperjuangkan oleh Nabi, prinsip-prinsip keadilan juga diperjuangkan oleh banyak umat manusia setelahnya dengan kadar dan kemampuannya. Seperti para sahabat dan keluarganya. Di antara sahabat dan keluarga tersebut Ali adalah salah satu contoh manusia yang menegakkan dan memperjuangkan keadilan yang diamanahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui Nabi dan Firman-Nya.

       Ali; Antara Kebaikan dan Keadilan
Pada bagian ini penulis ingin membahas secara singkat tentang pernyataan Ali bin Abi Thalib mengenai kebaikan dan keadilan yang mana harus didahulukan. Pada suatu ketika datang seseorang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, "Manakah yang lebih afdal: keadilan atau kebaikan?" Ali menjawab:Keadilan itu meletakkan sesuatu perkara pada tempatnya, sedangkan kebaikan mengeluarkan sesuatu perkara dari tempatnya."
Jawaban Ali ini begitu menarik bagi penulis untuk dikaji, mengenai keadilan yang meletakkan sesuatu pada tempatnya, namun di sisi lain kebaikan justru mengeluarkan sesuatu perkara dari tempatnya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa keadilan adalah suatu perkara atau hak setiap orang yang berhak menerimanya, siapapun itu selama ia berhak maka harus diberikan keadilan. Sementara kebaikan sendiri apabila seseorang itu mengeluarkan haknya dan memberikannya kepada seseorang yang tidak berhak atas perkara tersebut.
Keadilan merupakan pemandu atau penuntun dalam perilaku yang sifatnya lebih umum, sedangkan kebaikan lebih khusus. Di sini dapat kita mengerti bahwa keadilan merupakan asas pengelolaan urusan-urusan umum yang di dalamnya mencakup urusan-urusan masyarakat dalam lingkup sosial. Sedangkan kebaikan sendiri adalah suatu pengecualian di mana orang-orang lebih mendahulukan orang lain dari dirinya. Pertanyaan muncul, kenapa kemudian Ali mengatakan bahwa keadilan lebih utama dari kebaikan. Hal ini —dalam pandangan penulis— sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas adalah kebaikan lebih bersifat universal yang mencakup di dalamnya kepentingan kelompok atau bersama, sedang kebaikan lebih pada aspek hubungan indivual. Karenanya pernyataan di atas haruslah kita lihat pada skala prioritas yakni aspek sosialnya, sulit bagi kita untuk menjelaskannya jika kita melihatnya pada aspek individual. Inilah jawaban Ali yang memandang keadilan dengan pandangan sosial, dan mengumpamakan dengan analogi sosial. Dan pernyataan di atas menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki falsafah sosial yang sangat jelas dan luas.
Sementara itu ada beberapa keberatan mengenai keadilan lebih utama dari kebaikan. Mereka menganggap bahwa kebaikanlah yang lebih utama dari keadilan. Tentu keberatan tersebut bertentangan dengan pernyataan Ali mengenai keadilan dan kebaikan di atas. Hal ini sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas adalah akibat adanya dua pandangan yang melihat kedua masalah ini dari sudut pandang yang tak sama. Pertama ketika kita melihat aspek ini pada ranah etika individual maka kita akan mendapati bahwa kebaikan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari keadilan. Hal ini karena seseorang dikatakan adil ketika telah melampaui batas kesempurnaan insani. Seperti tidak melanggar hak orang lain, membantu orang yang kesusahan, ia tidak merampas dan mengambil hak orang lain akan tetapi justru memberikan haknya pada orang lain. Dengan demikian jika kita lihat dari sisi sifat-sifat etika individu, kebaikan lebih tinggi daripada keadilan atau bahkan memiliki persamaan.
Yang kedua, jika kita lihat kedua masalah tersebut dalam aspek sosial, maka akan kita dapati bahwa sebaliknya, justru keadilanlah yang lebih tinggi dari kebaikan. Dalam suatu kehidupan masyarakat sosial keadilan dapat kita ibaratkan sebagai pondasi suatu bangunan dan kebaikan adalah hiasannya. Maka yang terpenting dari suatu bangunan adalah dasarnya, buat apa memiliki hiasan yang banyak sedangkan dasarnya rapuh. Itulah kenapa kemudian Ali bin Abi Thalib (dalam pandangan penulis) meletakkan keadilan lebih utama dari kebaikan, hal ini disebabkan pada visi yang luas yang dimilikinya bahwa untuk membentuk suatu komunitas masyarakat yang egalitarian dan berperadaban (madani) maka perlu untuk membangun suatu dasar yang kokoh dan kuat yakni keadilan. Di mana prinsip dari keadilan adalah meletakkan suatu perkara pada tempatnya tanpa melihat lagi siapa objek yang berperkara. Atau dalam istilah lain menegakkan suatu perkara (hukum) tanpa pandang bulu.
Pandangan yang luas dari Ali ini menuntun kita untuk berpikir, bahwa pada kenyataannya kebaikan yang pada saat tertentu baik bagi orang, namun pada saat yang sama sekelompok orang yang lain menganggapnya tidak baik. Ini termasuk yang harus kita perhitungkan sebagaimana kita harus memperhitungkan perhitungan masyarakat. Apabila kita tidak menjaga keseimbangan sosial, dan membiarkan masalah-masalah berjalan tanpa pertimbangan, maka keutamaan moral ini juga kadang-kadang mengakibatkan kemalangan umum dan kehancuran masyarakat.[12] Salah satu contoh misalnya kebaikan pemerintah membagi-bagikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari dinaikannya harga BBM, justru ‘kebaikan’ tersebut yang akan mengakibatkan masyarakat menjadi masyarakat berkarakter pengemis dan malas.

       Ali dan Usaha Menegakkan Keadilan di dalam Pemerintahannya
Orang-orang besar terdahulu telah memberikan teladan, bagaimana mereka menjalankan amanah kepemimpinannya, dan di dalam Islam sosok Ali bin abi thalib adalah panutan tertinggi setelah Rasulullah Saw. Manusia teguh yang di usianya teramat muda harus berjuang dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara kebenaran dan keadilan juga sudah melekat (inheren) dengan dirinya dan kepada dialah orang lain berguru.
Kebanyakan kita lebih memilih pemimpin dermawan, jarang sekali di antara kita memilih pemimpin yang berlaku adil, karena keadilan di sini adalah berarti kita menghargai hak orang lain dan tidak melanggarnya, sedangkan kedermawanan adalah membagikan hak yang kita miliki, namun Ali menjawab sebaliknya, menurutnya keadilan adalah meletakan sesuatu pada tempatnya sementara dermawan tidak demikian, jadi keadilan di sini adalah memperhatikan hak-hak yang ada secara kongkrit, baru kemudian memberikan hak sesuai kapasitas penerima. Keadilan adalah bagian dari jiwanya, telah berakar di hatinya dan berintegrasi dengan sifat luhur lain. tak mungkin baginya menyimpang dari keadilan dan tuntutan jiwanya, keadilan adalah unsur yang sudah mengakar di sekujur tubuhnya serta mengalir bagaikan darah di uratnya.[13]
Ali adalah sosok pemimpin yang tak pernah makan kenyang, bila rakyat sekelilingnya kelaparan, ia tidak mau mengenakan pakaian yang bagus bila yang lain berpakaian jelek, ia tidak mau mengumpulkan kekayaan karena banyak orang miskin di sekitarnya, bahkan ia pernah memperbaiki sepatunya sendiri. Ia sosok pemimpin yang tidak bergairah dalam menimbun harta, karena ia menyadari bahwa dirinya hanyalah orang yang menderita dan tertindas, ia mengetahui hak mereka yang tertindas dan mengetahui hak mereka atas penindas, yang membuat mereka selalu ceria atas penindasan mereka. ia berkata: “Haruskah saya bangga disebut Amirul Mukminin, sementara saya tidak turut menanggung kesulitan mereka?”[14]
Penulis ingin menceritakan kembali sejarah tentang perjuangannya dalam bagian ini. Perjuangan Ali, kepahlawanan bahkan keteguhannya dalam menegakkan keadilan, ketika Yaman di pegang pemerintahannya oleh Ali, ia menjalankan jabatannya sebagai hakim bagi kaum muslim, dan hakim haruslah berlaku adil, dan tak luput, ini adalah amanat dari Rasulullah Saw kepadanya, suatu ketika, ia dihadapkan dua orang lelaki, di antara mereka berdua ada seorang budak perempuan, dua orang laki-laki tersebut berhak memiliki budak perempuan tersebut, mereka berdua tidak mengetahui bahwa Islam tidak memperbolehkan berhubungan badan dengan budak perempuan itu, sementara mereka berdua telah bersebadan dengannya dalam bulan siklus menstruasi yang sama, mereka melakukan ini karena yakin bahwa ini dibolehkan dalam Islam, karena mereka berdua adalah orang yang baru masuk Islam, sehingga belum tahu syariatnya, sementara itu budak perempuan tersebut telah hamil dan melahirkan anak lelaki, dan inilah yang mengakibatkan kedua lelaki tersebut berselisih dalam menentukan siapa ayah anak tersebut, sehingga Ali mengundi siapa yang berhak menjadi ayah anak tersebut, dan undian itu jatuh kepada salah satu dari lelaki tersebut, Ali pun menyerahkan anak tersebut kepada pemenang undian, namun Ali mewajibkan kepada si pemenang undian tersebut untuk membayar separuh harga anak itu karena anak itu juga merupakan sahaya orang lain, Ali berkata: “kalau aku tahu bahwa kalian berdua melakukan hal itu setelah kalian tahu hukumnya, niscaya aku akan menghukum kalian berdua.”[15]  Rasulullah Saw mendengar peristiwa tersebut dan menerima keputusan tersebut karena sesuai dengan Islam. Rasulullah Saw mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan di antara kita, Ahlulbait, yang dapat memberikan putusan sesuai dengan metode dan peraktik yang dilakukan Nabi Daud”; yang maksudnya adalah memberikan putusan berdasarkan ilham (dengan pengertian wahyu), dan juga berdasarkan nash (ketika telah diturunkan).[16]
Keluasan ilmu Ali tidak diragukan lagi, apalagi lewat sabda Rasulullah Saw: “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya”. Sabda Nabi ini dibenarkan oleh para sahabat yang menyaksikan sendiri bahwa Ali adalah satu-satunya rujukan dalam berbagai hal. Bahkan para khalifah seperti Abu Bakar, Umar bin khattab, dan Utsman bin Affan pun sering meminta pendapat Ali dalam mengambil keputusan, Seperti halnya dengan sebuah kasus yang terjadi ketika dua orang yang berselisih datang menghadap Rasulullah Saw. yang mereka selisihkan adalah seekor sapi yang menewaskan seekor keledai. Salah seorang dari mereka berkata: “wahai Rasulullah, sapi ini telah menewaskan keledaiku.” Maka Rasulullah Saw pun berkata: “pergilah kepada Abu bakar, dan sampaikanlah masalah tersebut.” Mereka lalu pergi ke Abu Bakar dan menceritakan persoalan tersebut, Abu Bakar malah bertanya, “mengapa kalian tinggalkan Rasulullah Saw dan datang padaku?” mereka pun menjawab: “Beliau menyuruh kami untuk datang kepada Anda,” Abu Bakar pun berkata: “kalau binatang membunuh binatang, pemiliknya tak dapat dimintai pertanggungjawaban,” Mereka yang tidak puas dengan jawaban tersebut maka kembalilah mereka kepada Rasulullah saw, dan menceritakan jawaban Abu Bakar, Rasulullah saw berkata, “pergilah kalian kepada Umar bin Khattab dan sampaikan persoalan kalian,” mereka pun pergi menghadap Umar dan menceritakan persoalan tersebut. Umar juga malah bertanya: “mengapa kalian meninggalkan Rasulullah Saw dan mendatangiku? Mereka pun menjawab “Beliau yang menyuruh,” “mengapa beliau tidak menyuruh kalian untuk menemui Abu Bakar?” Tanya Umar, “Ia berkata demikian dan demikian,” jawab mereka, “pendapatku sama dengan Abu Bakar,” Ucap Umar. Sehingga mereka pun kembali kepada Rasulullah saw dan menceritakan apa yang telah disampaikan Umar, Beliau saw berkata: “pergilah kepada Ali bin Abi Thalib, untuk memutuskan persoalan itu.” mereka pun pergi ke Ali dan menceritakan persoalan tersebut, “jika sapi yang masuk kandang keledai, maka pemilik sapi harus membayar harga keledai kepada pemilik keledai. Namun jika keledai yang masuk kandang sapi, dan sapi itu membunuhnya, maka pemilik sapi tidak harus membayarnya,” kata Ali. Mereka pun kembali menghadap Rasulullah Saw dan menceritakan apa yang telah diputuskan oleh Ali, Rasulullah Saw berkata: “Ali bin Abi Thalib telah memberikan keputusan dengan keputusan Allah swt.” Kemudian Beliau saw bersabda: “segala puji bagi Allah yang telah menciptakan di antara kami, Ahlulbait, seseorang yang dapat memberikan keputusan dengan metode Daud.”[17]
Sepanjang sejarah dunia rasanya sukar untuk mendapatkan pemimpin yang berlaku adil, seperti Ali bin Abi Thalib selain Rasul Saw, bahkan dalam hal menegakkan dan melaksanakan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, Ali sukar dicarikan bandingannya, dalam kitab Asadul Ghabah, Ibnul Atsir mengatakan: “Keadilan dan kezuhudan Ali tidak dapat diukur dan dijajagi.” Demikian pula penulis kitab Al-isti’ab dalam pembicaraannya mengenai akhlak, perangai dan perilaku Ali. Apakah yang hendak dikatakan oleh orang yang menyaksikan sendiri ada seorang khalifah atau seorang Amirul Mu’minin mengeping-ngeping sepotong roti menjadi tujuh keping lalu dibagi rata kepada orang-orang yang membutuhkannya? Sepotong roti itu ditemukan terselip di dalam tumpukan harta benda milik baitul Mal yang dikirim dari Isfahan. Kalau dalam menghadapi soal yang dan seremeh itu saja ia menjaga keadilan seketat-ketatnya, apalagi kalau ia menghadapi masalah yang besar dan penting. [18]
Mengenai keadilan Ali, Ali bin Abu Rafi’ menceritakan kesaksiannya sebagai berikut: “ketika aku bekerja sebagai pengurus Baitul-Mal yang diangkat oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, dan sekaligus pula diangkat sebagai penulisnya, di dalam Baitul-Mal tersimpan seuntai kalung mutiara yang berhasil dirampas dari pasukan Thalhah dalam perang Unta di Bashrah. Pada suatu hari, salah seorang putri Amirul Mu’minin melalui seorang pesuruh berkata kepadaku, “Aku mendengar bahwa di dalam Baitul-Mal tersimpan seuntai kalung mutiara dan sekarang berada di bawah pengawasan anda, aku ingin agar anda bersedia meminjamkan kalung itu kepadaku untuk kupakai pada hari Idul-Adha. Kalung itu kuantarkan dan kepadanya aku berkata, ‘Anda kupinjami dengan jaminan akan dikebalikan setelah tiga hari. Ia menjawab, ‘baiklah, kalung ini kuterima sebagai pinjaman dengan jaminan akan kukembalikan setelah tiga hari.’
“Beberapa saat kemudian Ali melihat putrinya memakai kalung mutiara itu. Ia bertanya, ‘Dari manakah engkau mendapatkan kalung itu?’ putrinya menjawab, ‘Kalung ini kupinjam dari Abu Rafi’ pengurus Baitul-Mal, hendak kupakai pada hari raya Idul Adha dan akan kukembalikan setelah tiga hari.” “Amirul Mu’minin memanggilku supaya segera datang menghadap. Baru saja aku tiba di rumahnya ia cepat menegur, ‘hai Abu Rafi’ kenapa engkau berani mengkhianati kaum muslimin?’ Aku tercengang menjawab, ‘Ma’adzallah, aku tidak menghianati kaum muslimin!’ ia bertanya lagi dengan nada lebih keras, ‘kenapa engkau berani meminjamkan kalung milik Baitul-Mal kepada anak perempuanku  tanpa minta izin lebih dulu kepadaku dan tanpa keridhaan (persetujuan) kaum muslimin?’ Aku menjawab, ‘Ya Amirul Mu’minin, dia adalah putri Anda sendiri. Ia minta supaya aku meminjaminya untuk dipakai pada hari raya ‘Idul Adha dengan jaminan akan dikembalikan dalam keadaan baik untuk disimpan pada tempatnya. Amirul Mu’minin tidak membenarkan alasanku, lalu ia berkata, ‘Ambillah kembali kalung itu hari ini juga! Hati-hati jangan sampai engkau mengulangi perbuatan seperti itu, engkau akan kujatuhi hukuman!’ Apa yang dikatakan Amirul Mu’minin itu kusampaikan kepada putrinya. Dengan nada memprotes putrinya berkata kepada ayahnya, ‘Ya Amirul mu’minin , aku adalah putri Ayah sendiri! Aku ini bagian dari Ayah! Adakah orang selain aku yang berhak memakai kalung itu?’ Ayahnya menjawab, ‘Hai cucu Abu Thalib, janganlah engkau berani berbuat menyimpang dari kebenaran! Apakah semua wanita dari kaum Muhajirin dan Anshar memakai perhiasan seperti itu pada hari raya Idul adha?’ “Aku mengerti bahwa Amirul Mu’minin tidak membenarkan perbuatanku. Karenanya kalung itu kuambil dan kukembalikan ke tempat semula di Baitul-Mal.”
Demikianlah Abu Rafi’ menceritakan kesaksiannya sendiri tentang keadilan Ali yang tidak pandang bulu. Apa yang diceritakannya itu hanya sekelumit dari banyak kejadian dan peristiwa yang menunjukan betapa bulat tekad Ali dalam menegakkan keadilan. Ketika ia wafat akibat terror seorang khawarij, ‘Abdurrahman bin Muljam, seorang penyair wanita bernama Ummul Haitsam An-Nakhilah dalam ratapannya mengatakan antara lain:
Menegakkan kebenaran tanpa bimbang ragu
Berlaku adil terhadap kawan, kerabat dan musuh
Bait syair tersebut sejalan dengan ucapan Ali sendiri yang menegaskan, “Kalian harus berlaku adil terhadap kawan dan lawan!”
Sikap berterus terang adalah bagian dari etika moral dan akhlak yang menghiasi pribadi-pribadi manusia besar. Bagi Ali keterusterangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perangainya, akhlaknya, dan tabiatnya yang semuanya itu dijelujuri oleh keutamaan sifat-sifatnya yang jujur, ikhlas, dan berperikemanusiaan. Ia tidak pernah menutup-nutupi atau menyembunyikan sesuatu yang dipikirkan, dirasakan, dan diniatkan. Kendati ia tahu benar bahwa dengan berkilah dan bermuslihat dapat mengalahkan musuh-musuh yang berniat jahat terhadap dirinya, namun ia pantang menempuh cara-cara selicik itu, bahkan ia menganggapnya sebagai perbuatan rendah dan pengecut.[19]
Sifat Ali yang begitu mulia dalam komitmennya membentuk pemerintahan yang adil, membuat penulis menyadari bahwa prinsip keadilan yang dibawa oleh Ali adalah prinsip keadilan yang harus tegak di alam semesta ini, metode politik dan pemerintahan yang berpijak pada prinsip-prinsip keadilan yang mendorong masyarakat mencapai kesempurnaan secara materi dan rohani. Menurut Ali, Keadilan bukan memperindah iman, namun merupakan bagian prinsip keimanan itu sendiri. Karena sesungguhnya keadilan bukan sekadar slogan, akan tetapi sebuah praktis yang membumi.

 Ali dan Hak Asasi Manusia
Dalam keadilan hal yang utama dan pertama harus dibangun adalah kesadaran untuk mematuhi dan melaksanakan peraturan secara seimbang. Maka dalam suatu masyarakat, penegakan hukum secara adil adalah landasan dan modal utama dalam menuju masyarakat yang berperadaban. “Demi Allah! Aku benar-benar mengenal kebenaran sebelum segala fakta dihadapkan padaku.”
Di sini jika kita perhatikan pernyataan tersebut ada poin penting yang harus kita cerap bahwa seseorang dilarang mengklaim suatu kebenaran sebelum mereka menemukan bukti yang nyata terhadap perkara tersebut. Ini  berimplikasi pada suatu sikap untuk berhati-hati dalam memutuskan atau menetapkan suatu perkara (terlebih menyangkut hajat hidup orang banyak) hukum. Hal ini karena seseorang tidak boleh secara semena-mena menetapkan suatu perkara tanpa landasan dan bukti yang jelas, sebab akan mencederai hak asasi manusia. Yang mana hak asasi manusia merupakan anugerah Allah yang diberikan oleh Allah kepada siapapun yang mana hak itu tak boleh diganggu dan dicerabut oleh siapapun. Ali bin Abi Thalib pada konteks ini selalu berusaha dan telah merumuskan peraturan yang begitu kokoh dan menyajikan pandangan yang sangat mantap untuk hak asasi manusia dan kesejahteraan masyarakat manusia, sehingga akar-akarnya menembus ke dalam bumi dan cabang-cabangnya menjulur ke langit.[20] George Jordac dalam bukunya The Voice of Human Justice (terj. Suara Keadilan;Sosok Agung Ali Bin Abi Thalib RA) menyatakan semua ilmu pengetahuan yang saat ini pada umummnya telah menguatkan gagasan dan prinsip ini, meski ilmu pengetahuan modern memiliki banyak makna dan ditampilan dalam beragam bentuk, namun begitu objeknya tetap satu, yakni bahwa ummat manusia harus dilindungi dari penindasan, dan harus dibentuk masyarakat yang akan  melindungi hak asasi manusia dengan cara yang lebih baik. Inilah yang kemudian penulis anggap sebagai masyarakat yang memiliki peradaban (masyarakat madani) yakni suatu masyarakat yang harus menghormati martabat manusia dan kemerdekaan bersuara dan bertindak,[21] dan jaminan keamanan sampai batas tertentu sehingga tak seorangpun manusia di rugikan.
Sementara itu, ilmu sosial yang merupakan ilmu yang sangat bergantung pada kondisi dan keadaan waktu. Karena hal itu pula ilmu pengetahuan sosial pada saat yang sama memiliki bentuk yang sama, dan pada saat yang lain menunjukkan bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Dari dulu hingga sekarang kita mendapati bahwa sejarah selalu menampilkan dua kubu atau kelompok manusia yang memiliki karakter yang berlawanan, ada yang lalim yang menindas, merampas, dan memperkosa hak-hak orang lain sementara yang satunya, yang adil, mereka membela, melawan, dan menegakkan keadilan serta menjunjung harkat dan martabat manusia. Sejak dahulu, sepanjang sejarah manusia, di suatu kelompok yang terdapat penindasan-penindasan dan kesewenang-wenangan muncul seorang yang menentang dan melawan itu semua. Hal ini muncul dari mereka yang disebut sebagai kaum mustadh’afin (kaum tertindas), dan sejarah menunjukkan bahwa perjuangan itu tidak pernah sia-sia, dan selalu memunculkan pemerintahan yang adil.
Hal yang demikian telah dimulai —meski masih dalam konteks kecil— yaitu pertentangan antara Habil dan Qabil putra Adam, yang menyebabkan Habil dibunuh oleh Qabil, dan terus berlanjut hingga masa-masa Nabi setelahnya hingga masa Nabi Muhammada, Masa Khalifah, dan hingga saat ini, seperti imperialisme dan kolonialisme yang terjadi di berbagai negara oleh beberapa Negara maju Eropa. Bahkan saat ini jelas kita saksikan penindasan Zionis Israel terhadap Palestina.
Di sini pada pokok pembahasan kita mengenai prinsip keadilan Ali dan pembelaannya terhadap hak asasi manusia, kita mendapati bahwa sejarah menunjukkan Ali menduduki posisi yang sangat tinggi dalam sejarah hak asasi manusia.[22] Pandangannya ditautkan pada pemikiran Islam, dan ia memiliki titik landas yang sangat prinsipil mengenai persoalan ini, “Kezaliman harus berakhir dan perbedaan golongan (diskriminasi) harus dihapuskan di masyarakat.” George Jordac mengatakan bahwa barangsiapa mengenal Ali dan mendengar ungkapan-ungkapannya serta memahami keyakinan dan pandangannya mengenai persaudaraan, maka manusia pasti akan mengetahui bahwa ia adalah pedang si pnghunus leher pada tiran.[23]
Seluruh perhatiannya diarahkan pada penyelenggaraan keadilan dan kejujuran. Pemikiran, sikap, pemerintahan dan kebijaksanaannya didedikasikan secara penuh untuk mencapai maksud ini. Bila mana seorang penindas mengganggu hak manusia atau memperlakukan si lemah dengan cara yang hina atau menyepelekan kesejahteraannya dan memberikan beban padanya, maka Ali akan mengajaknya bertempur.[24]
George melanjutkan bahwa pendidikan Ali berlangsung pada pemikiran bahwa kejujuran dan keadilan harus ditegakkan dan diwujudkan. Yang pada akhirnya satu golongan tidak akan menduduki supremasi terhadap yang lain dan orang hanya berhak menerima sesuai haknya. Seruan Ali ini akan terus dan selalu bergema dan dilanjutkan pada pejuang-pejuang keadilan. Pemerintahannya oleh George dikategorikan sebagai pemerintahan yang terbaik selama periode itu. Pemerintahannya merupakan pemerintahan yang adil dan pelindung terhadap hak asasi manusia. Ali selalu menggunakan cara yang tepat untuk mencapai tujuannya.
Pada masa Ali situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu sangattidak kondusif. Masyarakat kebanyakan sepeninggal Nabi mulai melakukan penyimpangan-penyimpangan dari ajaran yang semestinya, terlebih situasi politik setelah kematian Utsman mebuat ummat terpecah dalam sekte-sekte yang banyak, mereka berpijak atas dasar kecurangan dan penipuan dan bergerak berdasarkan aktivitas yang jahat. Hal ini kemudian disadari betul oleh Sang Imam bahwa perlunya suatu perbaikan sistem di segala lini kehidupan masyarakat. Ali adalah manusia yang memiliki kepekaan dan pemahaman pada situasi sosial masyarakat pada saat itu, sehingga dalam merealisasikan itu Ali mampu mewujudkannya. Namun perlu diingat bahwa meski Ali adalah pemimpin yang memikirkan kesejahteraan manusia di segala bidang, hal yang paling menjadi titik pentingnya adalah reformasi. Inilah yang kemudian membuatnya dengan tekad yang bulat harus menegakkan keadilan dan menghancurkan kebohongan. Ali menilai sesuatu dengan benar dan mengerjakan tugasnya dengan berani dan menurut perhitungannya sendiri. Ia tidak pernah merasa ragu pada urusan rakyat/negaranya. Ia selalu bertindak tegas terhadap siapapun termasuk pejabat-pejabatnya yang menindas rakyat, ia tidak pernah mentolelir dan tinggal diam terhadap itu semua.
Persoalan yang muncul adalah kemudian bagaimana bisa Ali bersikap sedemikian. Hal ini karena Ali —yang sejak kecil merupakan alumni madrasah Nabi— sangat memahami bahwa akan sangat berbahaya jika hak-hak manusia dikebiri. Ia paham betul bahwa manusia akan sangat berbahaya jika membaginya menjadi dua golongan dan melebihkan satu dengan yang lain. Jika ini dilakukan tentu akan menghambat intelektualitas, sebab tidak ada lagi penghargaan terhadap hak asasi manusia untuk bebas bersuara, ini juga menciptakan kebencian, melibatkan ketidakadilan dan penindasan dalam pembuatan keputusan dan transaksi, dan seluruh bentuk kejahatan dan korupsi akan muncul.[25] Jika demikian halnya maka masyarakat madani yang dicita-citakan tidak akan pernah terwujud.
Ali adalah pemimpin yang sepanjang kepemimpinannya atau bahkan hidupnya adalah contoh pemimpin yang melakasanakan good governance (pemerintahan yang bersih/baik). Dalam perakteknya Ali telah mendorong pelaksanaan asas hukum dan keadilan secara tegar, tegas dan teguh. Ali memahami betul akan hal ini, ia memiliki pengetahuan tentang dampak dan implikasi sosial jika hukum tidak ditegakkan secara berkeadilan dalam negara yang dipimpinnya. Tentu tanpa adanya penegakan asas hukum dan keadilan, maka pelaksanaan apa yang disebut sebagai pemerintahan yang bersih dan baik itu tidak akan pernah terjadi untuk selama-lamanya.
Akhir-akhir ini, jika kita kembalikan pada masa kita saat ini, bahwa di beberapa negara, khususnya negara kita Indonesia, proses penegakan hukum sering kali merugikan dan menguntungkan yang tidak pada tempatnya. Hukum terkadang tebang pilih dan puntul. Tidak ada keadilan dalam penerapannya. Sehingga sering kita dengar istilah yang mengejek penegakan hukum kita di Indonesia, “hukum kita itu tajam ke bawah dan puntul ke atas”. Ini adalah bukti bahwa kita dalam hal ini aparatur negara yang berwenang masih tebang pilih dan masih melihat “orang atas” dan “orang bawah” dalam menegakkan hukum. Hal ini kemudian menurut Cak Nur bahwa melemahnya kesadaran arah dan tujuan hidup bernegara yang menggejala saat ini berdampak sangat negatif kepada usaha penegakan hukum dan keadilan. Banyak kasus ketidak adilan yang terjadi akhir-akhir ini, betapa banyak orang-orang kecil yang hanya mencuri sebiji kakau untuk bertahan hidup divonis belasan tahun, sedang para koruptor yang nyata kejahatannya tak pernah tersentuh hukum atau kalaupun tersentuh hanya beberapa tahun atau bulan saja dikurung, selebihnya ditebus dan bebas lagi berkeliaran.
Jika kita kembali pada konsep madīnah atau medinat pada bagian depan, maka sesungguhnya ketaatan kepada hukum dan aturan adalah pangkal keadaban, madanīyah atau civility. Sebaliknya, “lowless society” atau “masyarakat hukum rimba”, adalah ciri masyarakat yang tak berkeadaban, yang menuju kehancuran.[26] Inilah yang tidak dikehendaki Ali saat pemerintahannya, banyak kemudian Gubernur pada masa Utsman dipecatnya karena tidak memenuhi kualifikasi dalam memimpin, dan lebih banyak bersifat KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). Ali tidak pernah menyimpang sekalipun dari prinsip keadilan kepada siapapun baik lawan dan kawan, atau keluarga sendiri. Contoh rill saat Ali melarang dan marah kepada putrinya yang menggunakan kas negara (baitul maal) untuk kepentingan pribadi, dan meminta segera untuk mengembalikannya. Dan menegur keras kepada pengelolanya untuk tidak memberikan penggunaan kas negara untuk kepentingan pribadi sekalipun itu dari keluarga amirul mukminin. Begitupun dengan musuh-musuhnya Ali memerintahkan untuk melepaskan dan tidak bersikap berlebihan pada tawanan perang yang kalah. Dan prinsip ketegaran hukum dan kelembutan memaafkan, kesemuanya itu tentulah sejalan dengan semangat pesan kemanusiaan universal yang terkadung dalam ajaran-ajaran agama.[27] Semangat Ali dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan penegakan hukum atasnya merupakan ruh semangat yang terus harus diaplikasikan dan dihidupkan di setiap zaman dan kehidupan manusia. Agaknya semangat Ali dalam menegakkan keadilan dalam konteks  negara kita dapat kita lihat —meski tak besar dan belum memuaskan, serta masih jauh dari harapan —pada usaha pemberantasan korupsi. Yakni dengan didirikannya lembaga semisal KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk memberantas dan menjatuhkan hukuman pada koruptor yang menggurita di negeri ini.

Penutup
Memperjuangkan keadilan memang tidaklah mudah dan murah. Perlu keberanian dan kebulatan tekad di dalam diri seseorang untuk melakukan satu bentuk apa yang dinamakan keadilan. Keadilan menuntut seseorang untuk berlaku tegas dan sesuai terhadap sesuatu yang terjadi. Oleh karena itulah Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa keadilan adalah merupakan satu bentuk sikap dimana seseorang mampu meletakkan suatu perkara tepat pada tempat yang semestinya. Hal ini berarti keadilan hanya melihat bagaimana yang sebenarnya maka itulah yang harus dilakukan. Hal ini berbanding terbalik dengan pengertian kebaikan yang juga diberikan oleh Ali bahwa kebaikan merupakan satu sikap yang mana ia mengeluarkan suatu perkara dari tempatnya atau memberikan haknya pada orang lain
Keadilan erat kaitannya dengan penegakan hukum, penegakan hukum erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Ali sebagaimana yang ia perjuangkan dan contohkan selama hidupnya  (sebagaimana dijelaskan dalam tulisan ini di atas) telah memberikan satu spirit dan metode bagi manusia untuk selalu berusaha menegakkan keadilan. Hal ini karena keadilan merupakan hal mendasar yang harus berdiri pertama-tama dalam satu komunitas manusia untuk menuju masyarakat yang berperadaban. Jika hal ini tidak terjadi maka dapat dipastikan komunitas masyarakat tersebut akan hancur dan lebur seiring perjalanannya. Ali telah mencontohkan bagaimana ia dalam bersikap kepada lawan dan kawannya, bagaimana ia bersikap adil kepada keluarganya, kepada siapapun Ali selalu menegakkan hukum seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Karena prinsip keadilan itulah yang mengantar Ali terbunuh, terbunuh oleh satu semangat kezaliman yang tidak pernah menghendaki satu bentuk tatanan kehidupan yang harmoni dalam hidup manusia. Tapi apakah itu satu bentuk kekalahan? Tentu tidak, sebab keadilan dalam membela hak asasi manusia adalah harga yang mahal yang akan selalu mendapat kedudukannya, paling minimal di dunia, yakni dunia akan selalu mengingat dang terinspirasi dengan sikap dan tindakannya. Terlebih ganjaran dalam aspek teologis di sisi Tuhannya, tentu tidak dapat dihitung, yakni predikat ketakwaan.Sudah sepantasnya sikap yang dicontohkan Ali dalam menegakkan keadilan yang juga merupakan murid dari Nabi harus kita pelajari dan contoh untuk menentukan sikap dalam berbagai hal kepada apapun dan siapapun. Dalam situasi kondisi negeri yang minim keadilan ini, maka agaknya apa yang dilakukan oleh Ali ini tepat untuk kita lakukan sekarang, keadilan tetaplah keadilan sampai kapanpun, tidak bisa berubah menjadi kezaliman, begitupun sebaliknya. Karena itulah al-Qur’an mengajarkan kita untuk berbuat adil kepada siapapun tanpa kecuali, hal ini mungkin akan menimbulkan ketidak senangan pihak yang tidak sepakat, namun kesemuanya mengantar kita pada satu tingkat derajat ketakwaan. 


[1] Syaikh al-Mufid, Sejarah Amirul Mukminin, terj. Anis Maula Chela (Jakarta; Lentera Hati, 2005).
[2] Bisa dirujuk pada buku Syaikh Abdul Husain Al-Amini, Ali Bin Abi Thalib; Sang Putra Ka’bah, terj. Hasyimi Muhammad Alatas, (Jakarta: Al-Huda, 2003), hal. 21.
[3] Ibid, hal. 22.
[4] Ibid, hal. 23, atau dapat dilihat (sebagaimana dikutip Abdul Husain) dalam As-Sirah An-Nabawiyyah, karya Ibn Hisyam juz 1 halaman: 355-356, cetakan Daar Al-Fikr tahun 1401 H/ 1981 M.
[5] Ibid, atau rujuk juga pada bukunya Ibn Hisyam yang sama pada juz 3 hal. 19, 8, 82.
[6] Ibid, 23-24.
[7] Ibid, 24.
[8] Tentang pandangan ini, saat ini secara sederhana kita dapat melihatnya pada dua kubu Mazhab besar Islam yakni Sunni yang kontra dan Syiah yang pro terhadap pernyataan itu.
[9] Op. Cit.
[10] Orasi ilmiah Nurckholis Madjid "Memberdayakan Masyarakat Menuju  Negeri yang Adil, Terbuka, dan Demokratis", di Jakarta hari Jumat  (1/11) malam.
[11] Ini menunjukkan bahwa Nabi telah bersikap dan tegas untuk berkomitmen menegakkan keadilan sekalipun dengan orang terdekatnya, sebagaimana Nabi ilustrasikan sendiri kepada anaknya Fatimah, walaupun hal itu (Fatimah mencuri) mustahil terjadi.
[12] Kutipan pada sebuah artikel tanpa Nama pengarang, tahun terbit dan penerbit.
[13] Jordac, George, Suara Keadilan; Sosok Agung Ali Bin Abi Thalib RA, terj. Abu Muhammad As-Sajjad (Jakarta; Lentera, 2004) hal 15
[14] Ibid hal 15
[15] Syaikh al-Mufid, Sejarah Amirul Mukminin, terj. Ani Maula Chela (Jakarta; Lentera Hati, 2005), hal 192
[16] Bisa lihat Al kafi, jil. 5 hal 491; Tahzib al-ahkam, jil. 6, hal 238; dan lain-lain.
[17] Rujuk Al-kafi, jil 7, hal 352; Manaqib Ali Abi Thalib, jil. 2, hal 354; dan lain-lain
[18] Al-husaini, Al-Hamid, Imamul Muhtadin Ali bin Abi Thalib, (Bandung; Pustaka Hidayah, 2008)
[19] Ibid hal 119
[20] Jordac, George, Suara Keadilan;Sosok Agung Ali Bin Abi Thalib RA, terj. Abu Muhammad As-Sajjad (Jakarta: Lentera, 2004), 62.
[21] Yang menurut Cak Nur ini bukan lagi hak asasi manusia namun jauh melampaui itu yakni hak primordial manusia, yaitu hak istimewa yang telah diwariskan Tuhan sebelum manusia itu diwujudkan di realitas eksternal (hadir di bumi).
[22] Op, Cit, 63.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid, 64.
[26] Madjid, Nurcholis, Indonesia Kita, (Jakarta: Gramedia, Paramadina, Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, 2004), 123-124.
[27] Ibid. QS. 5: 32.

DAFTAR PUSTAKA
Al-husaini, Al-Hamid, Imamul Muhtadin Ali bin Abi Thalib, (Bandung; Pustaka Hidayah, 2008)
Imam As-Sututhi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Penguasa Islam, Khulafa’urrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005)
Jordac, George, Suara Keadilan; Sosok Agung Ali Bin Abi Thalib RA, terj. Abu Muhammad As-Sajjad (Jakarta: Lentera, 2004)
Madjid, Nurcholis, Indonesia Kita, (Jakarta: Gramedia, Paramadina, Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, 2004)
Syaikh al-Mufid, Sejarah Amirul Mukminin, terj. Anis Maula Chela (Jakarta; Lentera Hati, 2005)
Syaikh Abdul Husain Al-Amini, Ali Bin Abi Thalib; Sang Putra Ka’bah, terj. Hasyimi Muhammad Alatas, (Jakarta: Al-Huda, 2003)
http://www.kompas.com/9611/02/UTAMA/tega.htm  Kompas Online Sabtu, 2 November 1996.

0 komentar:

Posting Komentar