Sumber Foto: nute.edu.vn
Pengantar
Adil adalah kata yang mungkin dalam sejarah
manusia adalah kata yang paling sering didengungkan dan menjadi idaman manusia.
Adil memiliki banyak pengertian menurut para Ahli. Namun dalam pandangan
penulis pengertian yang paling sesuai untuk adil adalah meletakkan sesuatu pada
tempatnya. Ini adalah pengertian yang diberikan oleh seorang kader dan pemimpin
terbaik Islam yang merupakan keluaran dari madrasah Nabi Saw. yakni Ali bin Abi
Thalib.
Sepanjang kehidupan masih ada, maka adil akan
menjadi persoalan yang terus akan berkumandang. Dari adil seseorang akan
berbicara keadilan. Keadilan ini muncul akibat adanya ketidaksesuaian peletakan
sesuatu oleh yang lain terhadap yang lain. Karena itu kemudian orang-orang yang
memegang teguh prinsip keadilan akan berusaha untuk memperjuangkannya. Hal ini
karena persoalan keadilan erat kaitannya dengan penjagaan terhadap diri
manusia, yakni hak asasinya. Jika keadilan tidak pernah ditegakkan, atau tidak
ada sekolompok orang yang kemudian memperjuangkannya, maka kehancuran demi
kehancuran, penindasan demi penindasan terhadap diri manusia akan terjadi, dan
kekacauan dalam tatanan kehidupan membuat manusia takut untuk hidup.
Salah satu tokoh atau manusia yang paling
‘getol’ dalam membela dan menegakkan keadilan demi membela hak asasi manusia
adalah Ali bin Abi Thalib, perkataannya mengenai keadilan adalah perkataan yang
paling tepat, bukan hanya sekedar retorika belaka yang ia sampaikan, pada
kenyataannya sejarah mencatat Ali sepanjang hidupnya selalu memperjuangkan
keadilan. Bahkan kematiannya pun akibat kegigihan dan konsistensinya terhadap
penegakan keadilan. Ali terbunuh dengan tebasan pedang yang ingin menentang
keadilan, dan ingin menegakkan kezaliman.
Peristiwa ini terekam jelas dalam sejarah, Ali
sendiri memiliki prinsip yang jelas dan tegas dalam persoalan keadilan dan
pembelaannya terhadap hak asasi manusia. Ia tak sekalipun memihak dalam
menetapkan suatu perkara, tak peduli keluarga, sahabat, pejabat, rakyat, jika
bersalah maka ia akan menghukumnya sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Ali
selalu bersikap ramah pada semua orang tapi tak mau kompromi dalam soal penegakan
keadilan. Baginya keadilan adalah basis bagi kehidupan masyarakat yang
berperadaban.Karenanya ia tidak pernah memihak pada siapapun kecuali atas dasar
keadilan dan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Ali memiliki pola tersendiri dalam menegakkan
keadilan, serta ia memiliki rumusan tersendiri dalam membangun suatu tatanan
masyarakat bernegara. Karenanya kenapa kemudian Ali berbeda dari pendahulunya
(tiga Khalifah sebelumnya, Abu Bakar, Umar, Utsman) dalam memimpin. Ia menolak
untuk melaksanakan apa yang sudah dilaksankan tiga khalifah sebelumnya. Karena
itulah kemudian ia gagal dalam bursa pencalonan kekhalifahan pada pemilihan
khalifah ketiga. Ali memiliki prinsip yang berbeda, yang pada prinsipnya adalah
tegaknya keadilan kepada siapaun berdasar ajaran Islam yang damai. Ali
benar-benar mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya secara tepat baik kepada
kawan dan lawan. Dari semua dasar itulah penulis ingin melihat kembali
perjuangan Ali dalam mengekakkan keadilan dan membela hak asasi manusia,
sehingga dari sana nantinya penulis harapkan dalam tulisan ini dapat menemukan
prisip-prinsip keadilan Ali, dan kemudian dibenturkan pada realita penegakan
hukum yang terjadi di Indonesia saat ini, yang kebanyakan masih bersifat tebang
pilih.
Sejarah Singkat Kehidupan Ali
Pada bagian ini penulis ingin menggambarkan
beberapa poin —dalam perspektif penulis— penting pembahasan seputar latar
belakang kehidupan Ali bin Abi Thalib. Ini dimaksudkan agar nanti dalam
pembahasan seputar prinsip-prinsip keadilan Ali, penulis dapat menggambarkannya
kepada pembaca dalam tulisan ini secara lebih mudah, serta mendukung gagasan
atau analisa penulis dalam tema ini dengan memberikan sedikit gambaran mengenai
sosok manusia satu ini. Atau lebih tepatnya pada bagian tulisan ini penulis
maksudkan sebagai pendahuluan sebelum masuk kepada sub-tema pokoknya.
Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib bin
Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Ia adalah salah satu Amirul Mukminin, yang pada
mazhab Syiah ia adalah Imam pertama dan merupakan pemegang wasiat kepemimpinan
(al-washi). Sementara itu dalam mazhab Sunni ia merupakan sosok sahabat
yang paling istimewa dan memiliki kedudukan yang tinggi di antara sahabat yang
lain, yang juga merupakan salah satu dari khalifah atau sahabat yang empat.
Ali lahir di Ka’bah, Mekkah, pada hari Jum’at,
3 Rajab, atau sekitar 30 tahun setelah Tahun Gajah (sekitar 570 M). Dikatakan
bahwa sebelum dan sesudahnya tak ada seorang bayipun lahir di Ka’bah, yang
dalam agama Islam merupakan salah satu tempat yang paling sakral dan suci.
Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf. Oleh Nabi, Fatimah
sendiri merupakan seorang wanita yang sudah dianggapnya seperti ibu, di mana
Nabi pernah mendapat asuhan dan kasih sayangnya.[1]Ali
bin Abi Thalib sendiri adalah merupakan sepupu Rasulullah Saw.
Dikisahkan bahwa semasa Ibunya hamil, ia masih
ikut melakukan thawaf di sekitar Ka’bah. Dan karena kelelahan yang dialami oleh
ibunya, si ibu duduk di depan Ka’bah dan berdo’a kepada Tuhannya agar diberikan
kekuatan. Saat itulah Ali lahir di dalam Ka’bah.[2]
Ali adalah salah satu orang yang dikategorikan sebagai orang-orang yang pertama
kali masuk Islam setelah Nabi Saw. mengumumkan tentang kenabiannya.
Rasulullah sendiri merupakan madrasah atu
tempat untuk belajar langsung, sehingga tak heran bila Nabi mengatakan bahwa
bahwa Nabi adalah kota ilmu dan Ali
adalah pintu gerbangnya. Apapun yang diajarkan dan diajarkan oleh Nabi kepada
Ali selalu diamalkan dan ditirunya. Di sisi yang lain Ali adalah salah satu
pemuda yang sejak awal keislamannya tidak pernah sekalipun menyembah berhala.
Sedari kecil telah bersama-sama berjuang dengan Nabi, membuat Ali memiliki
karakter yang unggul dari yang lainnya. Situasi yang begitu dekat dan intim
pada Rasul itu telah membuatnya memiliki kepribadian yang mirip dengan Rasul,
kemiripan itu hampir meliputi segala sisi, mulai dari pengetahuan, karakter,
keberanian, kesabaran, kebaikan, kemurahan hati, serta memiliki kefasihan dalam
berbicara dan berpidato seperti Nabi.[3]
Ali bin Abi Thalib termasuk orang yang paling
dekat dengan Rasul, sebab selain ia sebagai sepupu Rasul, ia juga merupakan
anak asuh dan menantu Nabi. Sejarah mencertikan
bahwa Ali bin Abi Thalinb adalah seorang yang memiliki keberanian yang sangat
tinggi dalam membela Nabi dan Agama. Ia adalah orang yang paling loyal terhadap
keputusan-keputusan Nabi, tak sekalipun membantahnya. Ia merupakan salah satu
pemuda yang paling sering ikut berperang bersama Nabi, bahkan dalam peperangan
ia merupakan orang yang selalu tampil di depan dan merupakan penentu dalam
situasi itu.
Fakta ini terekam dalam sejarah, misalnya pada
perang Badar, hampir separuh dari jumlah pasukan musuh mati di tangannya.[4]
Begitupun dalam perang Uhud, yang mana pihak musuh saat itu dipimpin oleh Abu
Sofyan dari keluarga Umayah yang sangat memusuhi Nabi, Ali memerankan perannya
yang sangat penting, di mana ketika beberapa orang sahabat tidak lagi mendengarkan
perintah Rasul untuk tidak turun dari gunung yang merupakan pos intai, namun
mereka turun dan posisi itu dikuasi pihak lawan, yang membuat pihak Nabi
menjadi kocar-kacir dan kalah. Dalam situasi kritis itu Ali segera bergerak
untuk melindungi dan menyelamatkan Nabi dari serangan musuh.[5]
Begitupun dengan beberapa peperangan yang
terjadi pada masa Nabi, di antaranya perang Khandak dimana Ali bin Abi Thali
dengan keberaniannya bertempur dengan panglima perang yang hebat dari pihak
musuh bernama Amar bin Abdi Wud, yang berhasil dikalahkannya hingga tewas. Dan
begitupun pada perang Khaibar, Ali diberikan kehormatan oleh Nabi untuk membawa
panji yang berarti Ali ditunjuk sebagai panglima untuk merobohkan benteng kokoh
kaum Yahudi zalim di Khaibar, atau lebih kita kenal sebagai benteng Khaibar.
Dan berhasil membunuh perajurit Khaibar yang sangat berani bernama Marhab.[6]
Inilah sekelumit kisah perjuangan seorang Ali
dalam menegakkan agama Allah dan membela Nabi. Bahwa seluruh kehidupannya
memanglah ditunjukkan kepada Allah dan Nabinya. Tak sekalipun—sepanjang bacaan
penulis—dalam sejarah dikatakan bahwa Ali pernah mundur atau menentang Nabi
Saw. Kecintaannya pada Rasul bukanlah sekadar kata-kata tapi merupakan bukti
konkrit yang disaksikan sejarah melalu perjuangannya. Maka ketika Rasul wafat,
betapa menderita dan terpukulnya Ali, betapa kesedihan yang begitu sangat dan amat mendalam ia rasakan.
Kesedihannya semakin bertambah ketika 75 hari saat ditinggalkan Rasulullah,
Fatimah istrinya juga meninggal dunia.[7]
Dengan wafatnya Nabi ini juga memberikan
dampak yang begitu besar dalam kondisi internal umat Islam. Selain itu juga,
memberikan perubahan pada sosok seorang Ali. Di antarnya perdebatan mengenai
Ali yang diwariskan untuk menjadi penggantinya oleh Nabi, sementara pada
kenyataannya di sisi lain pernyataan itu ditafsirkan berbeda oleh kelompok yang
lain, yang menganggap bahwa pernyataan tesebut bukanlah legitimasi terhadap
penyerahan wewenang kekuasaan mutlak.[8]
Alhasil terekamlah dalam sejarah tentang peristiwa Tsaqifah yang menghasilkan
pemilihan khalifah pertama, yang baru didengarnya dari tempat pemakaman
Rasulullah Saw. Yang menurut sejarah peristiwa itu terjadi saat jasad Nabi
belum dimakamkan.[9]
Setelah Abu Bakar wafat pada tahun ke-13 H, ia
menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Setelah sepuluh tahun memimpin
pada tahun ke-23 H, ia juga wafat. Dan sesaat sebelum wafat umar menunjuk enam
orang penggantinya termasuk Ali. Namun kemudian terpilih Utsman Bin Affan
sebagai khalifah ketiga. Yang menyebabkan tidak terpilihnya Ali saat itu adalah
karena Ali tidak menyepakati poin-poin yang disayaratkan Abdurrahman Bin Auf,
agar saat terpilih khalifah ketiga harus mengikuti apa yang telah dilakukan
oleh khalifah pertama dan kedua.
Pada tahun ke-35 H, Utsman terbunuh dan kaum
Muslim secara aklamasi memilih Ali sebagai gantinya. Sejak saat itu ia menjadi
khalifah dan memimpin tidak kurang dari 4 tahun 9 bulan. Selama masa
kepemimpinannya ia mencoba menerapkan ajaran-ajaran yang diajarkan oleh Nabi.
Namun dalam menjalankan usahanya itu, ia menghadapi berbagai tantangan dan
peperangan. Hal ini karena pembaharuan yang ia lakukan tidak sejalan dengan
mereka-mereka yang memiliki kepentingan lain di luar prinsip yang dijalankan
oleh Ali. Maka tidak heran semasa pemerintahannya banyak pertempuran internal
yang terjadi, yang membuatnya sibuk untuk memerangi kelompok-kelompok yang
memberontak kepemimpinannya yang sah. Seperti perempuran yang terjadi pada masa
kepemimpinannya antara lain, perang Jamal antara Ali dan Thalhah dan Zubair yang mendapat dukungan
Muawiyyah serta Aisyah pun ikut memerangi Ali. Yang pada akhirnya pertempuran
itu dimenangi Ali, dan Aisyah dipulangkan ke rumahnya secara terhormat.
Selanjutnya perang Shiffin antara Ali dan Muawiyyah.
Yang pada akhirnya dimenangkan oleh Muawiyyah dan terbunuhnya Ali oleh tebasan
pedang beracun Abdurahhman bin Muljam, pada 19 Ramadhan 40 H menjelang Subuh.
Inilah sekelumit perjuangan Ali di mana Ali adalah sosok laki-laki yang paling
loyal dan memiliki integritas yang tidak dapat diragukan lagi kepada Islam dan
Nabi. Ia merupakan sosok sahabat yang paling berani dan merupakan produk
langsung madrasah Nabi sejak Islam di ikrarkan oleh Nabi.
Keadilan
Masalah keadilan yang akan kita bicarakan ini
adalah masalah keadilan antara manusia dengan manusia. Keadilan di sini tidak
mencakup pembahasan selainnya, seperti keadilan ilahi, yang juga menjadi pokok
pembahasan pada subjek ilmu kalam. Keadilan adalah landasan penting untuk
mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang berperadaban. Masyarakat
berperadaban atau yang biasa disebut dengan masyarakat madani (civil society)
adalah suatu tatanan masyarakat yang hanya akan terwujud jika hukum ditegakkan
dengan adil, tidak membedakan orang berdasarkan suku, ras, dan agamanya, atau
sudah tidak lagi melihat seseorang berdasarkan “orang atas” atau “orang bawah”,
atau keluarga sendiri.
Sebagaimana definisi —yang menurut penulis
paling tepat— mengenai keadilan adalah meletakkan sesuatu perkara pada
tempatnya, ini berarti segala sikap dan tindakan (apapun itu) yang sesuai pada
tempatnya adalah sesuatu yang adil. Dan kebalikan dari itu semua adalah berarti
ketidakadilan yang berarti tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya, ini disebut
dengan zalim. Adil memang dilawankan dengan zalim.
Prinsip-prinsip keadilan dalam Islam telah
jauh sebelumnya dibangun dan ditegakkan oleh Nabi. Di al-Qur’an sendiri adil
menjadi tema yang sering diulang-ulang dan dituntut oleh Allah untuk ditegakkan
QS. An-Nisa’ Ayat 58, 105, 127. Dalam konteks masyarakat madani yang dibangun
Nabi di Madinah, Nabi tidak sekalipun membedakan "orang atas" dengan "orang bawah",
maupun keluarga sendiri. "Rasulullah pernah menegaskan, hancurnya
bangsa-bangsa di masa lalu terjadi karena jika 'orang
atas' melakukan kejahatan dibiarkan, tapi kalau 'orang bawah' yang
melakukan pasti dihukum."[10]
Inilah persoalan keadilan yang dihadapi manusia sepanjang zaman bahwa
menegakkan kedilan bukanlah masalah yang ringan sebab adil menuntut adanya
suatu keberanian dan ketegasan, tidak pandang bulu terhadap siapapun bahkan
keluarga dekat kita. Itu sebabnya mengapa al-Qur’an menyatakan bahwa resiko
orang berbuat adil adalah dimusuhi dan diancam kematian oleh pihak-pihak yang
tidak menyukai jika keadilan ditegakkan. Dan ini terjadi sepanjang sejarah
manusia mulai Adam hingga akhir nanti. Contoh riil adalah bagaimana seorang
Nabi dan Ali yang senantiasa terancam jiwanya karena teguh dalam menegakkan
keadilan di jalan Allah. Ini bisa kita lihat bagaimana al-Qur’an menjelaskan
bahwa orang-orang yang menyeru pada keadilan akan terancam jiwanya QS.
Al-Baqarah ayat 21. Pada sisi lain juga al-Qur’an menjelaskan bahwa sikap
bertindak adil itu lebih dekat pada ketakwaan QS. Al-Maidah ayat 8. Dan
orang-orang yang kategori ini akan selalu menjadi panutan sepanjang massa,
selama manusia masih ada. Di mana perjuangannya akan selalu menjadi teladan
bagi manusia selanjutnya.
Bersikap adil identik dengan menetapkan perkara secara proporsioal, dan
perintah menegakkan hukum secara adil tanpa melihat siapa yang terkena
dampaknya merupakan amanat Allah Swt. Dan masyarakat yang berperadaban haruslah
berdiri di atas landasan ini. Sikap adil ini sejatinya telah dicontohkan oleh
Nabi saat memberikan ilustrasi kepada anaknnya Fatimah, dengan mengatakan
bahwa, jika siapapun menemukan Fatimah anakku (Nabi) mencuri maka Nabi sendiri
yang akan memotong tangannya.[11] Bahwa
keadilan haruslah ditegakkan tanpa pandang bulu, tidak melihat keluarga atau
musuh semua harus diperlakukan secara adil. Dan inilah yang diingatkan
al-Qur’an pada surat Al-Ma’idah ayat 8. Selain diperjuangkan oleh Nabi,
prinsip-prinsip keadilan juga diperjuangkan oleh banyak umat manusia setelahnya
dengan kadar dan kemampuannya. Seperti para sahabat dan keluarganya. Di antara
sahabat dan keluarga tersebut Ali adalah salah satu contoh manusia yang
menegakkan dan memperjuangkan keadilan yang diamanahkan oleh Tuhan Yang Maha
Esa melalui Nabi dan Firman-Nya.
Ali; Antara Kebaikan dan
Keadilan
Pada bagian ini penulis ingin membahas secara singkat tentang pernyataan
Ali bin Abi Thalib mengenai kebaikan dan keadilan yang mana harus didahulukan. Pada suatu ketika datang seseorang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, "Manakah
yang lebih afdal: keadilan atau kebaikan?" Ali menjawab: “Keadilan
itu meletakkan sesuatu perkara pada tempatnya, sedangkan kebaikan mengeluarkan
sesuatu perkara dari tempatnya."
Jawaban Ali ini begitu menarik bagi penulis
untuk dikaji, mengenai keadilan yang meletakkan sesuatu pada tempatnya, namun
di sisi lain kebaikan justru mengeluarkan sesuatu perkara dari tempatnya.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa keadilan adalah suatu perkara atau hak
setiap orang yang berhak menerimanya, siapapun itu selama ia berhak maka harus
diberikan keadilan. Sementara kebaikan sendiri apabila
seseorang itu mengeluarkan haknya dan memberikannya kepada seseorang yang tidak
berhak atas perkara tersebut.
Keadilan merupakan pemandu atau penuntun dalam
perilaku yang sifatnya lebih umum, sedangkan kebaikan lebih khusus. Di sini
dapat kita mengerti bahwa keadilan merupakan asas pengelolaan urusan-urusan
umum yang di dalamnya mencakup urusan-urusan masyarakat dalam lingkup sosial.
Sedangkan kebaikan sendiri adalah suatu pengecualian di mana orang-orang lebih
mendahulukan orang lain dari dirinya. Pertanyaan muncul, kenapa kemudian Ali
mengatakan bahwa keadilan lebih utama dari kebaikan. Hal ini —dalam pandangan penulis—
sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas adalah kebaikan lebih bersifat
universal yang mencakup di dalamnya kepentingan kelompok atau bersama, sedang
kebaikan lebih pada aspek hubungan indivual. Karenanya pernyataan di atas
haruslah kita lihat pada skala prioritas yakni aspek sosialnya, sulit bagi kita
untuk menjelaskannya jika kita melihatnya pada aspek individual. Inilah jawaban
Ali yang memandang keadilan dengan pandangan
sosial, dan mengumpamakan dengan analogi sosial. Dan pernyataan di atas menunjukkan bahwa Ali
bin Abi Thalib memiliki falsafah sosial yang sangat jelas dan luas.
Sementara itu ada beberapa keberatan mengenai
keadilan lebih utama dari kebaikan. Mereka menganggap bahwa kebaikanlah yang
lebih utama dari keadilan. Tentu keberatan tersebut bertentangan dengan
pernyataan Ali mengenai keadilan dan kebaikan di atas. Hal ini sebagaimana yang
telah penulis jelaskan di atas adalah akibat adanya dua pandangan yang melihat
kedua masalah ini dari sudut pandang yang tak sama. Pertama ketika kita melihat
aspek ini pada ranah etika individual maka kita akan mendapati bahwa kebaikan
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari keadilan. Hal ini karena seseorang
dikatakan adil ketika telah melampaui batas kesempurnaan insani. Seperti tidak
melanggar hak orang lain, membantu orang yang kesusahan, ia tidak merampas dan
mengambil hak orang lain akan tetapi justru memberikan haknya pada orang lain.
Dengan demikian jika kita lihat dari sisi sifat-sifat etika individu, kebaikan
lebih tinggi daripada keadilan atau bahkan memiliki persamaan.
Yang kedua, jika kita lihat kedua masalah
tersebut dalam aspek sosial, maka akan kita dapati bahwa sebaliknya, justru
keadilanlah yang lebih tinggi dari kebaikan. Dalam suatu kehidupan masyarakat
sosial keadilan dapat kita ibaratkan sebagai pondasi suatu bangunan dan
kebaikan adalah hiasannya. Maka yang terpenting dari suatu bangunan adalah
dasarnya, buat apa memiliki hiasan yang banyak sedangkan dasarnya rapuh. Itulah
kenapa kemudian Ali bin Abi Thalib (dalam pandangan penulis) meletakkan
keadilan lebih utama dari kebaikan, hal ini disebabkan pada visi yang luas yang
dimilikinya bahwa untuk membentuk suatu komunitas masyarakat yang egalitarian
dan berperadaban (madani) maka perlu untuk membangun suatu dasar yang kokoh dan
kuat yakni keadilan. Di mana prinsip dari keadilan adalah meletakkan suatu
perkara pada tempatnya tanpa melihat lagi siapa objek yang berperkara. Atau
dalam istilah lain menegakkan suatu perkara (hukum) tanpa pandang bulu.
Pandangan yang luas dari Ali ini menuntun kita
untuk berpikir, bahwa pada kenyataannya kebaikan yang pada saat tertentu baik
bagi orang, namun pada saat yang sama sekelompok orang yang lain menganggapnya
tidak baik. Ini termasuk yang harus kita
perhitungkan sebagaimana kita harus memperhitungkan perhitungan masyarakat.
Apabila kita tidak menjaga keseimbangan sosial, dan membiarkan masalah-masalah
berjalan tanpa pertimbangan, maka keutamaan moral ini juga kadang-kadang
mengakibatkan kemalangan umum dan kehancuran masyarakat.[12] Salah satu contoh misalnya kebaikan
pemerintah membagi-bagikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari dinaikannya harga
BBM, justru ‘kebaikan’ tersebut yang akan mengakibatkan masyarakat menjadi
masyarakat berkarakter pengemis dan malas.
Ali dan Usaha Menegakkan Keadilan di dalam
Pemerintahannya
Orang-orang besar terdahulu telah memberikan
teladan, bagaimana mereka menjalankan amanah kepemimpinannya, dan di dalam
Islam sosok Ali bin abi thalib adalah panutan tertinggi setelah Rasulullah Saw.
Manusia teguh yang di usianya teramat muda harus berjuang dalam
menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara kebenaran
dan keadilan juga sudah melekat (inheren) dengan
dirinya dan kepada dialah orang lain berguru.
Kebanyakan kita lebih memilih pemimpin
dermawan, jarang sekali di antara kita memilih pemimpin yang berlaku adil,
karena keadilan di sini adalah berarti kita menghargai hak orang lain dan tidak
melanggarnya, sedangkan kedermawanan adalah membagikan hak yang kita miliki,
namun Ali menjawab sebaliknya, menurutnya keadilan adalah meletakan sesuatu
pada tempatnya sementara dermawan tidak demikian, jadi keadilan di sini adalah
memperhatikan hak-hak yang ada secara kongkrit, baru kemudian memberikan hak
sesuai kapasitas penerima. Keadilan adalah bagian dari jiwanya, telah berakar
di hatinya dan berintegrasi dengan sifat luhur lain. tak mungkin baginya
menyimpang dari keadilan dan tuntutan jiwanya, keadilan adalah unsur yang sudah
mengakar di sekujur tubuhnya serta mengalir bagaikan darah di uratnya.[13]
Ali adalah sosok pemimpin yang tak pernah
makan kenyang, bila rakyat sekelilingnya kelaparan, ia tidak mau mengenakan
pakaian yang bagus bila yang lain berpakaian jelek, ia tidak mau mengumpulkan
kekayaan karena banyak orang miskin di sekitarnya, bahkan ia pernah memperbaiki
sepatunya sendiri. Ia sosok pemimpin yang tidak bergairah dalam menimbun harta,
karena ia menyadari bahwa dirinya hanyalah orang yang menderita dan tertindas,
ia mengetahui hak mereka yang tertindas dan mengetahui hak mereka atas penindas,
yang membuat mereka selalu ceria atas penindasan mereka. ia berkata: “Haruskah
saya bangga disebut Amirul Mukminin, sementara saya tidak turut menanggung
kesulitan mereka?”[14]
Penulis ingin menceritakan kembali sejarah
tentang perjuangannya dalam bagian ini. Perjuangan Ali, kepahlawanan bahkan
keteguhannya dalam menegakkan keadilan, ketika Yaman di pegang pemerintahannya
oleh Ali, ia menjalankan jabatannya sebagai hakim bagi kaum muslim, dan hakim
haruslah berlaku adil, dan tak luput, ini adalah amanat dari Rasulullah Saw
kepadanya, suatu ketika, ia dihadapkan dua orang lelaki, di antara mereka
berdua ada seorang budak perempuan, dua orang laki-laki tersebut berhak
memiliki budak perempuan tersebut, mereka berdua tidak mengetahui bahwa Islam
tidak memperbolehkan berhubungan badan dengan budak perempuan itu, sementara
mereka berdua telah bersebadan dengannya dalam bulan siklus menstruasi yang
sama, mereka melakukan ini karena yakin bahwa ini dibolehkan dalam Islam,
karena mereka berdua adalah orang yang baru masuk Islam, sehingga belum tahu
syariatnya, sementara itu budak perempuan tersebut telah hamil dan melahirkan
anak lelaki, dan inilah yang mengakibatkan kedua lelaki tersebut berselisih
dalam menentukan siapa ayah anak tersebut, sehingga Ali mengundi siapa yang
berhak menjadi ayah anak tersebut, dan undian itu jatuh kepada salah satu dari
lelaki tersebut, Ali pun menyerahkan anak tersebut kepada pemenang undian,
namun Ali mewajibkan kepada si pemenang undian tersebut untuk membayar separuh
harga anak itu karena anak itu juga merupakan sahaya orang lain, Ali berkata:
“kalau aku tahu bahwa kalian berdua melakukan hal itu setelah kalian tahu
hukumnya, niscaya aku akan menghukum kalian berdua.”[15] Rasulullah Saw mendengar peristiwa tersebut dan menerima keputusan
tersebut karena sesuai dengan Islam. Rasulullah Saw mengatakan: “Segala puji
bagi Allah yang telah menciptakan di antara kita, Ahlulbait, yang dapat
memberikan putusan sesuai dengan metode dan peraktik yang dilakukan Nabi Daud”;
yang maksudnya adalah memberikan putusan berdasarkan ilham (dengan pengertian
wahyu), dan juga berdasarkan nash (ketika telah diturunkan).[16]
Keluasan ilmu Ali tidak diragukan lagi,
apalagi lewat sabda Rasulullah Saw: “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah
gerbangnya”. Sabda Nabi ini dibenarkan oleh para
sahabat yang menyaksikan sendiri bahwa Ali adalah satu-satunya rujukan dalam
berbagai hal. Bahkan para khalifah seperti Abu Bakar, Umar bin khattab, dan
Utsman bin Affan pun sering meminta pendapat Ali dalam mengambil keputusan,
Seperti halnya dengan sebuah kasus yang terjadi ketika dua orang yang berselisih
datang menghadap Rasulullah Saw. yang mereka selisihkan adalah seekor sapi yang
menewaskan seekor keledai. Salah seorang dari mereka berkata: “wahai
Rasulullah, sapi ini telah menewaskan keledaiku.” Maka Rasulullah Saw pun
berkata: “pergilah kepada Abu bakar, dan sampaikanlah masalah tersebut.” Mereka
lalu pergi ke Abu Bakar dan menceritakan persoalan tersebut, Abu Bakar malah
bertanya, “mengapa kalian tinggalkan Rasulullah Saw dan datang padaku?” mereka
pun menjawab: “Beliau menyuruh kami untuk datang kepada Anda,” Abu Bakar pun
berkata: “kalau binatang membunuh binatang, pemiliknya tak dapat dimintai pertanggungjawaban,”
Mereka yang tidak puas dengan jawaban tersebut maka kembalilah mereka kepada
Rasulullah saw, dan menceritakan jawaban Abu Bakar, Rasulullah saw berkata,
“pergilah kalian kepada Umar bin Khattab dan sampaikan persoalan kalian,”
mereka pun pergi menghadap Umar dan menceritakan persoalan tersebut. Umar juga
malah bertanya: “mengapa kalian meninggalkan Rasulullah Saw dan mendatangiku?
Mereka pun menjawab “Beliau yang menyuruh,” “mengapa beliau tidak menyuruh
kalian untuk menemui Abu Bakar?” Tanya Umar, “Ia berkata demikian dan demikian,”
jawab mereka, “pendapatku sama dengan Abu Bakar,” Ucap Umar. Sehingga mereka
pun kembali kepada Rasulullah saw dan menceritakan apa yang telah disampaikan
Umar, Beliau saw berkata: “pergilah kepada Ali bin Abi Thalib, untuk memutuskan
persoalan itu.” mereka pun pergi ke Ali dan menceritakan persoalan tersebut,
“jika sapi yang masuk kandang keledai, maka pemilik sapi harus membayar harga
keledai kepada pemilik keledai. Namun jika keledai yang masuk kandang sapi, dan
sapi itu membunuhnya, maka pemilik sapi tidak harus membayarnya,” kata Ali.
Mereka pun kembali menghadap Rasulullah Saw dan menceritakan apa yang telah
diputuskan oleh Ali, Rasulullah Saw berkata: “Ali bin Abi Thalib telah
memberikan keputusan dengan keputusan Allah swt.” Kemudian Beliau saw bersabda:
“segala puji bagi Allah yang telah menciptakan di antara kami, Ahlulbait,
seseorang yang dapat memberikan keputusan dengan metode Daud.”[17]
Sepanjang sejarah dunia rasanya sukar untuk
mendapatkan pemimpin yang berlaku adil, seperti Ali bin Abi Thalib selain Rasul
Saw, bahkan dalam hal menegakkan dan melaksanakan keadilan yang diperintahkan
Allah dan Rasul-Nya, Ali sukar dicarikan bandingannya, dalam kitab Asadul
Ghabah, Ibnul Atsir mengatakan: “Keadilan dan kezuhudan Ali tidak dapat
diukur dan dijajagi.” Demikian pula
penulis kitab Al-isti’ab dalam pembicaraannya mengenai akhlak, perangai
dan perilaku Ali. Apakah yang hendak dikatakan oleh orang yang menyaksikan
sendiri ada seorang khalifah atau seorang Amirul Mu’minin mengeping-ngeping
sepotong roti menjadi tujuh keping lalu dibagi rata kepada orang-orang yang
membutuhkannya? Sepotong roti itu ditemukan terselip di dalam tumpukan harta
benda milik baitul Mal yang dikirim dari Isfahan. Kalau dalam menghadapi soal
yang dan seremeh itu saja ia menjaga keadilan seketat-ketatnya, apalagi kalau
ia menghadapi masalah yang besar dan penting. [18]
Mengenai keadilan Ali, Ali bin Abu Rafi’
menceritakan kesaksiannya sebagai berikut: “ketika aku bekerja sebagai pengurus
Baitul-Mal yang diangkat oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, dan sekaligus
pula diangkat sebagai penulisnya, di dalam Baitul-Mal tersimpan seuntai kalung
mutiara yang berhasil dirampas dari pasukan Thalhah dalam perang Unta di
Bashrah. Pada suatu hari, salah seorang putri Amirul Mu’minin melalui seorang
pesuruh berkata kepadaku, “Aku mendengar bahwa di dalam Baitul-Mal tersimpan
seuntai kalung mutiara dan sekarang berada di bawah pengawasan anda, aku ingin
agar anda bersedia meminjamkan kalung itu kepadaku untuk kupakai pada hari
Idul-Adha. Kalung itu kuantarkan dan kepadanya aku
berkata, ‘Anda kupinjami dengan jaminan akan dikebalikan setelah tiga hari. Ia
menjawab, ‘baiklah, kalung ini kuterima sebagai pinjaman dengan jaminan akan
kukembalikan setelah tiga hari.’
“Beberapa saat kemudian Ali melihat putrinya memakai kalung mutiara
itu. Ia bertanya, ‘Dari manakah engkau mendapatkan kalung itu?’ putrinya
menjawab, ‘Kalung ini kupinjam dari Abu Rafi’ pengurus Baitul-Mal, hendak
kupakai pada hari raya Idul Adha dan akan kukembalikan setelah tiga hari.” “Amirul Mu’minin memanggilku supaya
segera datang menghadap. Baru saja aku tiba di rumahnya ia cepat menegur, ‘hai
Abu Rafi’ kenapa engkau berani mengkhianati kaum muslimin?’ Aku tercengang
menjawab, ‘Ma’adzallah, aku tidak menghianati kaum muslimin!’ ia bertanya lagi
dengan nada lebih keras, ‘kenapa engkau berani meminjamkan kalung milik
Baitul-Mal kepada anak perempuanku tanpa
minta izin lebih dulu kepadaku dan tanpa keridhaan (persetujuan) kaum
muslimin?’ Aku menjawab,
‘Ya Amirul Mu’minin, dia adalah putri Anda sendiri. Ia minta supaya aku
meminjaminya untuk dipakai pada hari raya ‘Idul Adha dengan jaminan akan
dikembalikan dalam keadaan baik untuk disimpan pada tempatnya. Amirul Mu’minin
tidak membenarkan alasanku, lalu ia berkata, ‘Ambillah kembali kalung itu hari
ini juga! Hati-hati jangan sampai engkau mengulangi perbuatan seperti itu,
engkau akan kujatuhi hukuman!’ Apa yang dikatakan Amirul Mu’minin itu
kusampaikan kepada putrinya. Dengan nada memprotes putrinya berkata kepada
ayahnya, ‘Ya Amirul mu’minin , aku adalah putri Ayah sendiri! Aku ini bagian
dari Ayah! Adakah orang selain aku yang berhak memakai kalung itu?’ Ayahnya
menjawab, ‘Hai cucu Abu Thalib, janganlah engkau berani berbuat menyimpang dari
kebenaran! Apakah semua wanita dari kaum Muhajirin dan Anshar memakai perhiasan
seperti itu pada hari raya Idul adha?’ “Aku mengerti
bahwa Amirul Mu’minin tidak membenarkan perbuatanku. Karenanya kalung itu
kuambil dan kukembalikan ke tempat semula di Baitul-Mal.”
Demikianlah Abu Rafi’ menceritakan kesaksiannya sendiri tentang keadilan
Ali yang tidak pandang bulu. Apa yang diceritakannya itu hanya sekelumit dari
banyak kejadian dan peristiwa yang menunjukan betapa bulat tekad Ali dalam
menegakkan keadilan. Ketika ia wafat akibat terror seorang khawarij,
‘Abdurrahman bin Muljam, seorang penyair wanita bernama Ummul Haitsam
An-Nakhilah dalam ratapannya mengatakan antara lain:
Menegakkan kebenaran tanpa
bimbang ragu
Berlaku adil terhadap kawan, kerabat
dan musuh
Bait syair tersebut sejalan dengan ucapan Ali sendiri yang
menegaskan, “Kalian harus berlaku adil terhadap kawan dan lawan!”
Sikap berterus terang adalah bagian dari etika moral dan akhlak
yang menghiasi pribadi-pribadi manusia besar. Bagi Ali keterusterangan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perangainya, akhlaknya, dan
tabiatnya yang semuanya itu dijelujuri oleh keutamaan sifat-sifatnya yang
jujur, ikhlas, dan berperikemanusiaan. Ia tidak pernah menutup-nutupi atau
menyembunyikan sesuatu yang dipikirkan, dirasakan, dan diniatkan. Kendati ia
tahu benar bahwa dengan berkilah dan bermuslihat dapat mengalahkan musuh-musuh
yang berniat jahat terhadap dirinya, namun ia pantang menempuh cara-cara
selicik itu, bahkan ia menganggapnya sebagai perbuatan rendah dan pengecut.[19]
Sifat Ali yang
begitu mulia dalam komitmennya membentuk pemerintahan yang adil, membuat
penulis menyadari bahwa prinsip keadilan yang dibawa oleh Ali adalah prinsip
keadilan yang harus tegak di alam semesta ini, metode politik dan pemerintahan
yang berpijak pada prinsip-prinsip keadilan yang mendorong masyarakat mencapai
kesempurnaan secara materi dan rohani. Menurut
Ali, Keadilan bukan memperindah iman, namun merupakan bagian prinsip keimanan
itu sendiri. Karena sesungguhnya keadilan bukan sekadar slogan, akan tetapi
sebuah praktis yang membumi.
Ali dan Hak Asasi Manusia
Dalam keadilan hal yang utama dan pertama harus dibangun
adalah kesadaran untuk mematuhi dan melaksanakan peraturan secara seimbang.
Maka dalam suatu masyarakat, penegakan hukum secara adil adalah landasan dan
modal utama dalam menuju masyarakat yang berperadaban. “Demi Allah! Aku
benar-benar mengenal kebenaran sebelum segala fakta dihadapkan padaku.”
Di sini jika kita perhatikan pernyataan tersebut ada poin
penting yang harus kita cerap bahwa seseorang dilarang mengklaim suatu
kebenaran sebelum mereka menemukan bukti yang nyata terhadap perkara tersebut.
Ini berimplikasi pada suatu sikap untuk
berhati-hati dalam memutuskan atau menetapkan suatu perkara (terlebih
menyangkut hajat hidup orang banyak) hukum. Hal ini karena seseorang tidak
boleh secara semena-mena menetapkan suatu perkara tanpa landasan dan bukti yang
jelas, sebab akan mencederai hak asasi manusia. Yang mana hak asasi manusia
merupakan anugerah Allah yang diberikan oleh Allah kepada siapapun yang mana
hak itu tak boleh diganggu dan dicerabut oleh siapapun. Ali bin Abi Thalib pada
konteks ini selalu berusaha dan telah merumuskan peraturan yang begitu kokoh
dan menyajikan pandangan yang sangat mantap untuk hak asasi manusia dan
kesejahteraan masyarakat manusia, sehingga akar-akarnya menembus ke dalam bumi
dan cabang-cabangnya menjulur ke langit.[20] George
Jordac dalam bukunya The Voice of Human Justice (terj. Suara Keadilan;Sosok Agung Ali Bin Abi Thalib RA) menyatakan semua ilmu pengetahuan yang saat ini pada
umummnya telah menguatkan gagasan dan prinsip ini, meski ilmu pengetahuan
modern memiliki banyak makna dan ditampilan dalam beragam bentuk, namun begitu
objeknya tetap satu, yakni bahwa ummat manusia harus dilindungi dari
penindasan, dan harus dibentuk masyarakat yang akan melindungi hak asasi manusia dengan cara yang
lebih baik. Inilah yang kemudian penulis anggap sebagai masyarakat yang memiliki
peradaban (masyarakat madani) yakni suatu masyarakat yang harus menghormati
martabat manusia dan kemerdekaan bersuara dan bertindak,[21] dan
jaminan keamanan sampai batas tertentu sehingga tak seorangpun manusia di
rugikan.
Sementara itu, ilmu sosial yang merupakan ilmu yang
sangat bergantung pada kondisi dan keadaan waktu. Karena hal itu pula ilmu
pengetahuan sosial pada saat yang sama memiliki bentuk yang sama, dan pada saat
yang lain menunjukkan bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Dari dulu hingga
sekarang kita mendapati bahwa sejarah selalu menampilkan dua kubu atau kelompok
manusia yang memiliki karakter yang berlawanan, ada yang lalim yang menindas,
merampas, dan memperkosa hak-hak orang lain sementara yang satunya, yang adil,
mereka membela, melawan, dan menegakkan keadilan serta menjunjung harkat dan
martabat manusia. Sejak dahulu, sepanjang sejarah manusia, di suatu kelompok
yang terdapat penindasan-penindasan dan kesewenang-wenangan muncul seorang yang
menentang dan melawan itu semua. Hal ini muncul dari mereka yang disebut
sebagai kaum mustadh’afin (kaum tertindas), dan sejarah menunjukkan
bahwa perjuangan itu tidak pernah sia-sia, dan selalu memunculkan pemerintahan
yang adil.
Hal yang demikian telah dimulai —meski masih dalam
konteks kecil— yaitu pertentangan antara Habil dan Qabil putra Adam, yang
menyebabkan Habil dibunuh oleh Qabil, dan terus berlanjut hingga masa-masa Nabi
setelahnya hingga masa Nabi Muhammada, Masa Khalifah, dan hingga saat ini,
seperti imperialisme dan kolonialisme yang terjadi di berbagai negara oleh
beberapa Negara maju Eropa. Bahkan saat ini jelas kita saksikan penindasan
Zionis Israel terhadap Palestina.
Di sini pada pokok pembahasan kita mengenai prinsip
keadilan Ali dan pembelaannya terhadap hak asasi manusia, kita mendapati bahwa
sejarah menunjukkan Ali menduduki posisi yang sangat tinggi dalam sejarah hak
asasi manusia.[22]
Pandangannya ditautkan pada pemikiran Islam, dan ia memiliki titik landas yang
sangat prinsipil mengenai persoalan ini, “Kezaliman harus berakhir dan
perbedaan golongan (diskriminasi) harus dihapuskan di masyarakat.” George
Jordac mengatakan bahwa barangsiapa mengenal Ali dan mendengar
ungkapan-ungkapannya serta memahami keyakinan dan pandangannya mengenai
persaudaraan, maka manusia pasti akan mengetahui bahwa ia adalah pedang si
pnghunus leher pada tiran.[23]
Seluruh perhatiannya diarahkan pada penyelenggaraan keadilan
dan kejujuran. Pemikiran, sikap, pemerintahan dan kebijaksanaannya
didedikasikan secara penuh untuk mencapai maksud ini. Bila mana seorang
penindas mengganggu hak manusia atau memperlakukan si lemah dengan cara yang
hina atau menyepelekan kesejahteraannya dan memberikan beban padanya, maka Ali
akan mengajaknya bertempur.[24]
George melanjutkan bahwa pendidikan Ali berlangsung pada
pemikiran bahwa kejujuran dan keadilan harus ditegakkan dan diwujudkan. Yang
pada akhirnya satu golongan tidak akan menduduki supremasi terhadap yang lain
dan orang hanya berhak menerima sesuai haknya. Seruan Ali ini akan terus dan
selalu bergema dan dilanjutkan pada pejuang-pejuang keadilan. Pemerintahannya
oleh George dikategorikan sebagai pemerintahan yang terbaik selama periode itu.
Pemerintahannya merupakan pemerintahan yang adil dan pelindung terhadap hak
asasi manusia. Ali selalu menggunakan cara yang tepat untuk mencapai tujuannya.
Pada masa Ali situasi dan kondisi masyarakat pada saat
itu sangattidak kondusif. Masyarakat kebanyakan sepeninggal Nabi mulai
melakukan penyimpangan-penyimpangan dari ajaran yang semestinya, terlebih
situasi politik setelah kematian Utsman mebuat ummat terpecah dalam sekte-sekte
yang banyak, mereka berpijak atas dasar kecurangan dan penipuan dan bergerak
berdasarkan aktivitas yang jahat. Hal ini kemudian disadari betul oleh Sang
Imam bahwa perlunya suatu perbaikan sistem di segala lini kehidupan masyarakat.
Ali adalah manusia yang memiliki kepekaan dan pemahaman pada situasi sosial
masyarakat pada saat itu, sehingga dalam merealisasikan itu Ali mampu
mewujudkannya. Namun perlu diingat bahwa meski Ali adalah pemimpin yang
memikirkan kesejahteraan manusia di segala bidang, hal yang paling menjadi
titik pentingnya adalah reformasi. Inilah yang kemudian membuatnya dengan tekad
yang bulat harus menegakkan keadilan dan menghancurkan kebohongan. Ali menilai
sesuatu dengan benar dan mengerjakan tugasnya dengan berani dan menurut
perhitungannya sendiri. Ia tidak pernah merasa ragu pada urusan rakyat/negaranya.
Ia selalu bertindak tegas terhadap siapapun termasuk pejabat-pejabatnya yang
menindas rakyat, ia tidak pernah mentolelir dan tinggal diam terhadap itu
semua.
Persoalan yang muncul adalah kemudian bagaimana bisa Ali
bersikap sedemikian. Hal ini karena Ali —yang sejak kecil merupakan alumni
madrasah Nabi— sangat memahami bahwa akan sangat berbahaya jika hak-hak manusia
dikebiri. Ia paham betul bahwa manusia akan sangat berbahaya jika membaginya
menjadi dua golongan dan melebihkan satu dengan yang lain. Jika ini dilakukan
tentu akan menghambat intelektualitas, sebab tidak ada lagi penghargaan
terhadap hak asasi manusia untuk bebas bersuara, ini juga menciptakan
kebencian, melibatkan ketidakadilan dan penindasan dalam pembuatan keputusan
dan transaksi, dan seluruh bentuk kejahatan dan korupsi akan muncul.[25] Jika
demikian halnya maka masyarakat madani yang dicita-citakan tidak akan pernah
terwujud.
Ali adalah pemimpin yang sepanjang kepemimpinannya atau
bahkan hidupnya adalah contoh pemimpin yang melakasanakan good governance
(pemerintahan yang bersih/baik). Dalam perakteknya Ali telah mendorong
pelaksanaan asas hukum dan keadilan secara tegar, tegas dan teguh. Ali memahami
betul akan hal ini, ia memiliki pengetahuan tentang dampak dan implikasi sosial
jika hukum tidak ditegakkan secara berkeadilan dalam negara yang dipimpinnya. Tentu
tanpa adanya penegakan asas hukum dan keadilan, maka pelaksanaan apa yang
disebut sebagai pemerintahan yang bersih dan baik itu tidak akan pernah terjadi
untuk selama-lamanya.
Akhir-akhir ini, jika kita kembalikan pada masa kita saat
ini, bahwa di beberapa negara, khususnya negara kita Indonesia, proses
penegakan hukum sering kali merugikan dan menguntungkan yang tidak pada
tempatnya. Hukum terkadang tebang pilih dan puntul. Tidak ada keadilan dalam
penerapannya. Sehingga sering kita dengar istilah yang mengejek penegakan hukum
kita di Indonesia, “hukum kita itu tajam ke bawah dan puntul ke atas”. Ini
adalah bukti bahwa kita dalam hal ini aparatur negara yang berwenang masih
tebang pilih dan masih melihat “orang atas” dan “orang bawah” dalam menegakkan
hukum. Hal ini kemudian menurut Cak Nur bahwa melemahnya kesadaran arah dan
tujuan hidup bernegara yang menggejala saat ini berdampak sangat negatif kepada
usaha penegakan hukum dan keadilan. Banyak kasus ketidak adilan yang terjadi
akhir-akhir ini, betapa banyak orang-orang kecil yang hanya mencuri sebiji
kakau untuk bertahan hidup divonis belasan tahun, sedang para koruptor yang
nyata kejahatannya tak pernah tersentuh hukum atau kalaupun tersentuh hanya
beberapa tahun atau bulan saja dikurung, selebihnya ditebus dan bebas lagi
berkeliaran.
Jika kita kembali pada konsep madīnah atau medinat
pada bagian depan, maka sesungguhnya ketaatan kepada hukum dan aturan adalah
pangkal keadaban, madanīyah atau civility. Sebaliknya, “lowless
society” atau “masyarakat hukum rimba”, adalah ciri masyarakat yang tak
berkeadaban, yang menuju kehancuran.[26] Inilah
yang tidak dikehendaki Ali saat pemerintahannya, banyak kemudian Gubernur pada
masa Utsman dipecatnya karena tidak memenuhi kualifikasi dalam memimpin, dan
lebih banyak bersifat KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). Ali tidak pernah menyimpang
sekalipun dari prinsip keadilan kepada siapapun baik lawan dan kawan, atau
keluarga sendiri. Contoh rill saat Ali melarang dan marah kepada putrinya yang
menggunakan kas negara (baitul maal) untuk kepentingan pribadi, dan
meminta segera untuk mengembalikannya. Dan menegur keras kepada pengelolanya
untuk tidak memberikan penggunaan kas negara untuk kepentingan pribadi
sekalipun itu dari keluarga amirul mukminin. Begitupun dengan
musuh-musuhnya Ali memerintahkan untuk melepaskan dan tidak bersikap berlebihan
pada tawanan perang yang kalah. Dan prinsip ketegaran hukum dan kelembutan
memaafkan, kesemuanya itu tentulah sejalan dengan semangat pesan kemanusiaan
universal yang terkadung dalam ajaran-ajaran agama.[27]
Semangat Ali dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan penegakan hukum atasnya
merupakan ruh semangat yang terus harus diaplikasikan dan dihidupkan di setiap
zaman dan kehidupan manusia. Agaknya semangat Ali dalam menegakkan keadilan
dalam konteks negara kita dapat kita
lihat —meski tak besar dan belum memuaskan, serta masih jauh dari harapan —pada
usaha pemberantasan korupsi. Yakni dengan didirikannya lembaga semisal KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk memberantas dan menjatuhkan hukuman pada
koruptor yang menggurita di negeri ini.
Penutup
Memperjuangkan
keadilan memang tidaklah mudah dan murah. Perlu keberanian dan kebulatan tekad
di dalam diri seseorang untuk melakukan satu bentuk apa yang dinamakan
keadilan. Keadilan menuntut seseorang untuk berlaku tegas dan sesuai terhadap
sesuatu yang terjadi. Oleh karena itulah Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa
keadilan adalah merupakan satu bentuk sikap dimana seseorang mampu meletakkan
suatu perkara tepat pada tempat yang semestinya. Hal ini berarti keadilan hanya
melihat bagaimana yang sebenarnya maka itulah yang harus dilakukan. Hal ini
berbanding terbalik dengan pengertian kebaikan yang juga diberikan oleh Ali
bahwa kebaikan merupakan satu sikap yang mana ia mengeluarkan suatu perkara
dari tempatnya atau memberikan haknya pada orang lain
Keadilan erat kaitannya dengan penegakan hukum, penegakan
hukum erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Ali sebagaimana yang ia
perjuangkan dan contohkan selama hidupnya (sebagaimana dijelaskan dalam tulisan ini di
atas) telah memberikan satu spirit dan metode bagi manusia untuk selalu
berusaha menegakkan keadilan. Hal ini karena keadilan merupakan hal mendasar
yang harus berdiri pertama-tama dalam satu komunitas manusia untuk menuju masyarakat
yang berperadaban. Jika hal ini tidak terjadi maka dapat dipastikan komunitas
masyarakat tersebut akan hancur dan lebur seiring perjalanannya. Ali telah
mencontohkan bagaimana ia dalam bersikap kepada lawan dan kawannya, bagaimana
ia bersikap adil kepada keluarganya, kepada siapapun Ali selalu menegakkan
hukum seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Karena prinsip keadilan itulah yang
mengantar Ali terbunuh, terbunuh oleh satu semangat kezaliman yang tidak pernah
menghendaki satu bentuk tatanan kehidupan yang harmoni dalam hidup manusia. Tapi
apakah itu satu bentuk kekalahan? Tentu tidak, sebab keadilan dalam membela hak
asasi manusia adalah harga yang mahal yang akan selalu mendapat kedudukannya,
paling minimal di dunia, yakni dunia akan selalu mengingat dang terinspirasi
dengan sikap dan tindakannya. Terlebih ganjaran dalam aspek teologis di sisi
Tuhannya, tentu tidak dapat dihitung, yakni predikat ketakwaan.Sudah sepantasnya sikap yang dicontohkan Ali dalam
menegakkan keadilan yang juga merupakan murid dari Nabi harus kita pelajari dan
contoh untuk menentukan sikap dalam berbagai hal kepada apapun dan siapapun.
Dalam situasi kondisi negeri yang minim keadilan ini, maka agaknya apa yang
dilakukan oleh Ali ini tepat untuk kita lakukan sekarang, keadilan tetaplah
keadilan sampai kapanpun, tidak bisa berubah menjadi kezaliman, begitupun
sebaliknya. Karena itulah al-Qur’an mengajarkan kita untuk berbuat adil kepada
siapapun tanpa kecuali, hal ini mungkin akan menimbulkan ketidak senangan pihak
yang tidak sepakat, namun kesemuanya mengantar kita pada satu tingkat derajat ketakwaan.
[1] Syaikh al-Mufid, Sejarah Amirul
Mukminin, terj. Anis Maula Chela (Jakarta; Lentera Hati, 2005).
[2] Bisa dirujuk pada buku Syaikh Abdul Husain
Al-Amini, Ali Bin Abi Thalib; Sang Putra Ka’bah, terj. Hasyimi Muhammad
Alatas, (Jakarta: Al-Huda, 2003), hal. 21.
[3] Ibid, hal. 22.
[4] Ibid, hal. 23, atau dapat dilihat
(sebagaimana dikutip Abdul Husain) dalam As-Sirah An-Nabawiyyah, karya Ibn
Hisyam juz 1 halaman: 355-356, cetakan Daar Al-Fikr tahun 1401 H/ 1981 M.
[5] Ibid, atau rujuk juga pada bukunya Ibn
Hisyam yang sama pada juz 3 hal. 19, 8, 82.
[6] Ibid, 23-24.
[7] Ibid, 24.
[8] Tentang pandangan ini, saat ini secara
sederhana kita dapat melihatnya pada dua kubu Mazhab besar Islam yakni Sunni
yang kontra dan Syiah yang pro terhadap pernyataan itu.
[9] Op. Cit.
[10] Orasi ilmiah Nurckholis Madjid "Memberdayakan Masyarakat Menuju Negeri
yang Adil, Terbuka, dan Demokratis", di Jakarta hari Jumat (1/11)
malam.
[11] Ini menunjukkan bahwa Nabi telah
bersikap dan tegas untuk berkomitmen menegakkan keadilan sekalipun dengan orang
terdekatnya, sebagaimana Nabi ilustrasikan sendiri kepada anaknya Fatimah,
walaupun hal itu (Fatimah mencuri) mustahil terjadi.
[12] Kutipan pada sebuah artikel tanpa Nama
pengarang, tahun terbit dan penerbit.
[13]
Jordac, George, Suara Keadilan;
Sosok Agung Ali Bin Abi Thalib RA, terj. Abu Muhammad As-Sajjad (Jakarta; Lentera, 2004) hal 15
[14]
Ibid hal 15
[15] Syaikh al-Mufid, Sejarah Amirul
Mukminin, terj. Ani Maula Chela (Jakarta; Lentera Hati, 2005), hal 192
[16] Bisa lihat Al kafi, jil. 5 hal
491; Tahzib al-ahkam, jil. 6, hal 238; dan lain-lain.
[17] Rujuk Al-kafi, jil 7, hal 352;
Manaqib Ali Abi Thalib, jil. 2, hal 354; dan lain-lain
[18]
Al-husaini, Al-Hamid, Imamul Muhtadin Ali bin Abi Thalib, (Bandung; Pustaka
Hidayah, 2008)
[19]
Ibid hal 119
[20]
Jordac, George, Suara
Keadilan;Sosok Agung Ali Bin Abi Thalib RA, terj. Abu Muhammad As-Sajjad
(Jakarta: Lentera, 2004), 62.
[21] Yang menurut Cak Nur ini bukan lagi
hak asasi manusia namun jauh melampaui itu yakni hak primordial manusia, yaitu
hak istimewa yang telah diwariskan Tuhan sebelum manusia itu diwujudkan di
realitas eksternal (hadir di bumi).
[22] Op, Cit, 63.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid, 64.
[26] Madjid, Nurcholis, Indonesia Kita, (Jakarta:
Gramedia, Paramadina, Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, 2004), 123-124.
[27] Ibid. QS. 5: 32.
DAFTAR PUSTAKA
Al-husaini, Al-Hamid, Imamul Muhtadin Ali bin Abi Thalib, (Bandung; Pustaka Hidayah, 2008)
Imam As-Sututhi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Penguasa Islam, Khulafa’urrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005)
Jordac, George, Suara Keadilan; Sosok Agung Ali Bin Abi Thalib RA, terj. Abu Muhammad As-Sajjad (Jakarta: Lentera, 2004)
Madjid, Nurcholis, Indonesia Kita, (Jakarta: Gramedia, Paramadina, Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, 2004)
Syaikh al-Mufid, Sejarah Amirul Mukminin, terj. Anis Maula Chela (Jakarta; Lentera Hati, 2005)
Syaikh Abdul Husain Al-Amini, Ali Bin Abi Thalib; Sang Putra Ka’bah, terj. Hasyimi Muhammad Alatas, (Jakarta: Al-Huda, 2003)
http://www.kompas.com/9611/02/UTAMA/tega.htm Kompas Online Sabtu, 2 November 1996.







0 komentar:
Posting Komentar