Telah banyak
disinggung setiap kali menjelang atau saat Ramadahan tiba, bahwa puasa adalah
upaya pengendalian diri. Idiom seperti ini adalah idiom yang semua orang telah
mengetahuinya dan sering dikemukakan oleh para ulama. Puasa adalah ibadah yang
unik yang diwajibkan oleh Allah kepada orang-orang mukmin. Allah mengatakan
bahwa “puasa untuk-Ku”, sementara ibadah lainnya seperti shalat, zakat
dan haji adalah puasa yang (pahalanya) kembali kepada pelakunya.
Menurut Ehma Ainun
Nadjib atau biasa disebut Cak Nun, perbedaan puasa dengan shalat dan zakat
adalah dimana ibadah puasa bersifat lebih “revolusioner”, radikal dan frontal.
Hal ini dikarenakan orang yang berpuasa diperintahkan untuk berhadapan langsung
atau meng-engkau-kan wakil-wakil paling wadag (kasar) dari dunia dan
diinstruksikan untuk menolak dan meninggalkannya dalam tempo tertentu. Menurut
Cak Nun, pada orang shalat, dunia dibelakanginya. Pada orang berzakat, dunia di
sisinya, tetapi sebagian ia pilah untuk di-‘buang’. Sementara orang berpuasa,
dunia ada di hadapannya, tetapi tidak boleh dikenyamnya.
Sebagaimana telah
disebutkan bahwasanya puasa adalah upaya untuk mengendalikan, menahan, dan
melawan. Lalu, apa yang dkendalikan, ditahan dan dilawan? adalah kebiasaan
untuk berlebih-lebihan, mubazir, dan kebiasaan melampiaskan hasrat yang
percuma. Karena itulah, puasa pada satu momen tertentu akan berhadap-hadapan
dengan sistem ekonomi yang di dalamnya terjadi siklus
produksi-distribusi-konsumsi yang di dalamnya mengajarkan atau mengajak manusia
untuk berlebih-lebihan, mubazir, dan melampiaskan. Sementara agama dalam
konteks ini puasa, mengajak manusia untuk menahan dan mengendalikan bahkan
melawan hasrat yang percuma.
Bukankah dalam
sistem ekonomi modern saat ini produksi-distribusi mengarahkan manusia untuk
berperilaku konsumtif? Orang-orang memproduksi barang sebanyak-banyaknya tanpa
kontrol untuk didistribusikan kepada manusia agar dikonsumsi, tak perduli
apakah barang-barang itu benar-benar dibutuhkan atau tidak dalam kehidupan
manusia, manusia yang sebenarnya tidak membutuhkan barang-barang itu digiring
untuk seolah-olah membutuhkan barang itu, yang jika tidak mengkonsumsinya maka
akan menghadapi bahaya besar, padahal tidak. Gaya propaganda ekonomi dunia yang
‘mengahalalkan’ segala cara agar mendapat keuntungan besar dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas itu. Orang-orang memperjual
belikan segala sesuatunya yang penting tidaknya tidak ditentukan oleh akal
pikiran yang jernih dan sehat dan atas dasar kewajaran atas hidupnya, akan
tetapi lebih didasari oleh iklan-iklan artifisial yang sifatnya bohong dan
kosong.
Karena itulah puasa
tidak hanya sebatas menahan lapar di perut dan haus di tenggorokan dari subuh
hingga magrib. Puasa tidaklah bermakna pekerjaan jasad saja, tapi juga
pekerjaan ruh yang di dalamnya terdapat upaya pengendalian diri akan-akan hal
yang sifatnya artifisial tadi. Yakni angan-angan kosong yang bukan hakikat yang
selalu kita kejar-kejar di dunia ini. Itulah salah satu—jika bukan makna
sebenaranya—kehadiran puasa untuk meng-counter kebiasaan
berlebih-lebihan untuk melampiaskan itu. Puasa tersebutlah merupakan metode
untuk mengembalikan manusia kepada posisi seimbang (titik tengah) dari
kebiasaan berlebih-lebihannya. Puasalah yang menggiring manusia agar menjadi ummatan
wasathan, yang bagi Cak Nun puasa merupakan disiplin yang menyeret manusia
dari wilayah minimal agar ia mengerti khairul ‘umuri ausathuha,
sebaik-baik urusan adalah yang di tengah-tengahnya.
Dengan demikian,
dapatlah kita maknai bahwasanya puasanya harusnya hadir kapan saja dan dimana
saja, pada siapa saja, apapun dia dan
latar belakangnya, sebab puasa tidak hanya menahan lapar dan haus sebatas subuh
sampai maghrib saja, dan bukan hanya pekerjaan orang Islam saja, tapi juga
telah dilakukan oleh orang-orang sebelum Islam. Maghrib tidak akan pernah
membatalkan puasa, maghrib hanyalah batas waktu untuk kita menyudahi kewajiban
menahan lapar dan haus. Sementara puasa akan tetap berlanjut meski waktu
maghrib tiba. Karena puasa yang dalam penjelasan Cak Nun merupakan jenis
tantangan yang sifatnya radikal dalam keberlangsungan dinamika kemanusiaan yang
berciri intelektual, penuh pengembaraan, penuh dilema pilihan, serta
dicakrawalai oleh kerinduan kekal terhadap inovasi-inovasi ke depan. Ini yang
membedakan puasanya alam dengan manusia, misalnya singa yang ‘berpuasa’ setelah
perutnya terisi cukup, puasa singa ini adalah instingtif sifatnya, yang
merupakan sunnatullah. Sementara manusia melakukannya dengan berbagai modus
pilihan dan tantangan serta kekhasannya. Alam tidak membutuhkan puasa untuk
memperoleh produk puasa, sedangkan manusia benar-benar memerlukannya agar tidak
terjebak oleh tumpukan-tumpukan isi dunia yang tak membawa kemana-mana dan
tidak bisa dibawa kemana-mana.
Puasa tidak
bermaksud menjauhkan manusia dari dunia, tapi mengembalikan manusia ke dunia
untuk berlaku seimbang saat dunia ‘memaksa’ untuk bersikap boros,
berlebih-lebihan, melampiaskan segala hasrat yang bukan hakikat, saat dunia
mengajak untuk melampaui batas, di sinilah satu dari sekian banyak peran puasa
untuk mengembalikan manusia untuk melakukan perkara-perkara secara seimbang dan
moderat atau dalam bahasa Jawa agar manusia menjadi eling akan apa yang
dikerjakan yang telah melampaui batas ambang keperluan.
Puasa mendidik
manusia untuk prihatin, karena dengan begitu, orang baru bisa merasakan
‘kesenagan’ bila ditempa kesulitan. Puasa juga melatih untuk bermental pejuang,
pada dasarnya, manusia tidak suka lapar, dan secara alamiah menyukai kenyang,
makan dan minum, tapi semua itu baru di-‘halalalkan’ ba’da maghrib
sampai subuh. Cak Nun mengatakan, orang berpuasa disuruh langsung berpakaian
ketiadaan: tidak makan, tidak minum, dan lain sebagainya. Orang berpuasa
diharuskan bersikap ‘tidak’ kepada isi pokok dunia yang berposisi ‘ya’ dalam
substansi manusia hidup. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan untuk
mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi; dan itu adalah perang frontal
terhadap sesuatu yang sehari-hari merupakan tujuan dan kebutuhan.







0 komentar:
Posting Komentar