1INFO BUKU
Judul Buku :
BIOGRAFI GUS DUR; THE AUTHORIZED BIOGRAPHY OF ABDURRAHMAN WAHID
Judul Asli :
GUS DUR; THE AUTHORIZED BIOGRAPHY OF ABDURRAHMAN WAHID
Pengarang :
Greg Barton
Penerjemah : Lie
Hua
Penerbit :
LkiS Yogyakarta
Tahun Terbit : Juni
2003, Cetakan I
Tebal Buku : xxx
+ 516 Halaman: 15,5 x 23 cm
RINGKASAN BUKU
Buku yang berjudul BIOGRAFI GUS DUR; THE AUTHORIZED BIOGRAPHY OF
ABDURRAHMAN WAHID adalah buku yang ditulis oleh Greg Barton seorang
berkebangsaan Australia. Greg adalah seorang dosen senior di Fakultas Seni
Deakin University, Geelong Victoria. Ia sejak akhir 1980-an telah meneliti
tentang pengaruh liberalisme Islam dan sumbangannya pada perkembangan
masyarakat sipil dan demokrasi. Salah satu tokoh utama kajiannya adalah Gus
Dur, yang dikenalnya dengan sangat baik, melebihi peneliti lain. Hal inilah
yang kemudian yang membuatnya menghasilkan buku biografi Gus Dur. Buku ini
adalah buku yang menceritakan sosok Gus Dur mulai dari masa kecil hingga saat
Gus Dur duduk di tampu kekuasaan tertinggi di republik ini.
Sumber:san gattau.blogspot.co.id
Buku ini memliki lima bagian, dimana satu
bagian dengan bagian yang lain saling terkait satu dengan yang lain. Meski jika
pembaca ingin membaca tidak secara runtut masih akan mendapatkan pesan yang
dimaksudkan, namun bisa dipastikan tidak akan menangkap secara utuh sosok
seorang Gus Dur yang diceritkan Greg dalam bukunya tersebut. Sebagaimana
peneliti atau penulis buku biografi lainnya, Greg juga melakukan prosedur yang
sama dengan mereka dalam menyusun buku biografi Gus Dur ini. Sebagaimana ia
jelaskan sendiri dalam kata pengantarnya bahwa sebuah biografi yang serius
lahir setelah penulisnya menghabiskan waktu lama untuk membaca arsip atau
mewawancarai berpuluh-puluh orang yang mengenal subjek yang sedang ditulisnya.
Dan semua itu biasanya akan didapati dalam catatan kaki yang berderert dalam
bukunya. Hal inilah yang juga dilakukan oleh Greg dalam menyusun buku ini yakni
dengan membaca atau melakukan kajian arsip yang mendalam tentang sosok Gus Dur
dan kehidupannya serta melakukan wawancara berbagai orang yang sesuai atau
mengenal sosok Gus Dur. Namun, yang membedakan Greg dengan peneliti yang
lainnya—paling tidak dalam buku ini—adalah Greg juga melakukan pendekatan dalam
penelitiannya ini dengan ‘membiarkan’ subjeknya (Gus Dur) yang berbicara
tentang dirinya. Dengan begitu keterangan ini benar-benar difokuskan pada
subjek. Hal ini terlebih Greg dan Gus Dur adalah karib yang akrab semenjak Greg
memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke Indonesia dalam penelitiannya dan
mengambil Gus Dur sebagai objek penelitiannya. Dengan keakraban tersebut tentu
Greg memiliki banyak waktu (bertahun-tahun) untuk bersama Gus Dur untuk
mengamati langsung kehidupan Gus Dur, dengan begitu pengalaman langsung ini memberikan
“ruh” tersendiri bagi buku ini.
Proyek bertahun-tahun ini tentu ditujukan agar
setiap orang dapat membacanya dan memahami sosok seorang tokoh yang di
Indonesia dianggap “kontroversial”. Penulisan buku biografi tentu tidak akan
lepas dari subjektivitas seorang peneliti, dalam konteks ini perspektif seorang
Greg. Karena itulah Greg menjelaskan keuntungan pribadi baginya bisa mengenal
Gus Dur sangat dekat dengan begitu ia bisa lebih mudah untuk melakukan
pengamatan kritis dengan mengamati banyak perkembangan perkembangan penting
sosok Gus Dur dan situasi yang meliputinya secara langsung. Artinya bahwa
penulisan ini tentu akan sangat bersifat sangat pribadi dan subjektif. Meski
pada saat yang sama hal tersebut menunjukan adanya kekuatan dan kelemahan dalam
buku ini. Namun begitu pada akhirnya pembaca sendirilah yang melakukan
penilaiannya yang seobjektif mungkin akan isi dan hasil penelitian ini ataupun
tentang sosok Gus Dur sendiri dalam buku ini. Karena bagaimanapun pada dasarnya
setiap karya biografi pada hakikatnya adalah buah dari penafsiran seseorang
terhadap seseorang.
Sebagaimana yang dirangkai oleh Greg dalam
buku biografi ini, Greg menyusun buku ini menjadi lima bagian setiap bagian
memiliki hubungan dengan bagian selanjutnya. Bagian satu ke bagian berikutnya
merupakan fase perjalanan hidup seorang Gus Dur dari kecil hingga saat ia
menjabat sebagai pimpinan tertinggi Indonesia (Presiden).
Bagian pertama adalah bagian yang menjelaskan
atau menceritkan sosok Gus Dur semasa kecil. Sebagai seorang anak dari seorang
anak Kiai besar yang sekaligus pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, Gus Dur
tidak dapat dipisahkan dari lingkungan
ayah dan kakeknya yakni pesantren. Pesantren dalam lingkup Nahdlatul Ulama atau
NU merupakan unsur penting dalam sendi kehidupan organisasi ini. Karena bagi NU
pesantrenlah rumahnya. Tanpa pesantren kemungkinan NU tidak akan pernah ada.
Dengan alasan begitulah kenapa kemudian NU hidup di pesantren, sebab kiai-kiai
NU pada dasarnya adalah pengurus atau pengasuh atau pendiri suatu pesantren.
Karena itulah sosok Gus Dur sangat terkait
erat dengan pesantren dan juga NU. Dan terbukti Gus Dur adalah sosok seorang
kiai bagi santri-santrinya dan juga pimpinan bagi organisasi yang diwariskan
mendiang kakeknya KH. Hasyim Asy’ari. Dalam bagian pertama ini Greg menjelaskan
bagaimana pesantren dan Gus Dur ini memiliki keterkaitan. Gus Dur yang pada
umumnya diketahui oleh banyak orang bahwa ulang tahunnya dirayakan pada tanggal
4 Agustus, pada dasarnya sebagian telah keliru memaknai hal ini bahwa sebenarnya
Gus Dur tidak terlahir pada tanggal tersebut. Hal seperti ini juga (dalam
penjelasannya Greg) dalam banyak hal sering tidak nampak sebagaimana
sepertinya. Dalam tradisi pesantren biasa penanggalan biasanya dihitung
menggunakan kalender hijriah itu artinya bahwa persis juga yang terjadi pada
penanggalan kelahiran Gus Dur sehingga banyak menimbulkan kekeliruan. Gus Dur
sendiri dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan itu.
sebenarnya tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah tanggal 7 september. Gus Dur
dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dalam rumah pesantren
milik kakek dari pihak Ibunya, Kiai Bisri Syansuri.
Greg memberikan penjelasan bahwa pesantren
adalah sekolah agama Islam yang di dalamnya menyediakan asrama bagi
murid-muridnya. Dipimpin seorang ulama yang dikenal sebagai Kiai. Pendidikan
pesantren memiliki corak tradisional yang dirawat dari awal hingga berabad-abad
lamanya, sehingga penekanannya lebih bersifat sufisme, mistisisme Islam, karena
itulah Kiai menjadi sangat penting dan strategis posisinya di pesantren maupun
dalam lingkup sosial masyarakat Muslim. Sebagai seorang cucu Kiai besar dan
berpengaruh Gus Dur dibesarkan dan dirawat dalam suasana yang demikian.
Pada bagian pertama buku ini diceritkan orang-orang
yang memiliki pengaruh dalam sosok Gus Dur di lingkungan pesantren. Mereka
Adalah kakek-kakek Gus Dur, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kia Bisri Syansuri, Kia
Wahab Chasbullah yang merupakan keponakan dari kakennya Kiai Hasyim Asy’ari,
dan selain mereka yang mempengaruhi sosok Gus Duru adalah tentu kedua orang
tuanya yakni Kiai Wahid Hasyim dan Solichah. Kakek-kakek Gus Dur adalah
kiai-kian besar di NU, baik dari pihak ayah maupun Ibu. Dari pihak ayah, Gus
Dur memiliki kakek yang bernama Kiai Hasyim Asy’ari yang sekaligus sebagai
pendiri NU dan dalam lingkungan NU disebut sebagai Hadratus Syaikh (guru
Agung). Kiai Hasyim mendirikan NU pada tahun 1926. Kia Hasyim selain dikenal
sebagai pendiri NU juga dikenal sebagai pendiri dan pengasuh pertama pondok
pesantren Tebuireng, Jombang. Ialah orang yang pertam-tama dengan mantap
hatinya memilih desa tersebut sebagai tempat untuk pesantrennya meski
teman-temannya menasihati agar tak memilih tempat itu karena terkenal sebagai
daerah pelacuran dan tempat-tempat minum yang ramai dikunjungi penduduk
setempat yang beroleh uang dari pabrik gula setempat.
Kiai Hasyim adalah salah seorang murid dari
guru atau Kiai besar di Jawa Timur yakni Kiai Cholil Bangkalan, Madur dan juga
murid dari Syaikh Chatib Minangkabau yang mendidiknya saat Kiai Hasyim belajar
di Mekkah. Di bawah bimbingan Kiai Chatib ini pulalah pada akhirnya Kiai Hasyim
menguasai keahlian di bidann hadits, dan iapun pandai dalam membuat
cerita-cerita lucu mengenai kisah hidup Rasulullah. Kiai Hasyim adalah tokoh yang
sangat nasionalis religius, itu terbukti bahwa ia mengusulkan tentang
pentingnya santri seluruh Indonesia untuk berjihad melawan penjajah dengan resolusi
jihadnya. Selain itu ia adalah tokoh
yang suka melakukan pembaruan dalam pemikiran dan pendidikan Islam. Misalnya
saja, saat semua orang menasihatinya untuk tidak mendirikan pesantren di
sekitar tempat yang diangapnya maksiat, justru Kia Hasyim melakukannya dengan
mantap, selain itu sistem pengajaran dengan adanya kelas-kelas yang
terstruktur, membuka ruang diskusi di kelas serta memasukkan bahasa modern
(asing) ke pesantren (meski atas usul anaknya Kiai Wahid Hasyim) adalah satu
pembaharuan yang sangat besar. Ia berpikiran bahwa pesantrena hasrulah
memainkan peran dalam mengubah masyarakat yang ada di sekelilingnya. Gagasan
inilah kemudian pada akhirnya diikuti oleh pesantren-pesantren lain.
Kemudian Kakek Gus Dur dari pihak Ibu, Kiai
Bisri Syansuri meski tak setenar Kiai Hasyim juga merupakan tokoh yang memiliki
peranan penting dalam pendirian NU. Ia sendiri juga melakukan satu perubahan
yang besar dalam pesantren dengan memperkenalkan kelas pertama santri puteri di
lingkungan pesantrennya di desa Denanyar dipinggir kota Jombang. Pesantren yang
dibangunnya adalah memiliki keunikan yang sama dalam hal spirit dengan
pesantren Kiai Hasyim saat hendak dibangun. Jika wilayah pesantren Kiai Hasyim terkenal
sebagai tempat maksiat maka wilayah Kiai Bisri terkenal dengan ketandusannya.
Namun, tak lama setelah dikelola Kia Bisri, tanah itu pada akhirnya menjadi
suatu tempat yang memberi kemakmuran dalam perkembangan pertanian,
pembelajaran, dan keruhanian. Selain terkenal sebagai ahli fikih dan
administratur pendidikan yang berbakat ia juga terkenal sebagai ahli di bidang
pertanian.
Sementara itu Kiai Wahab Chasbullah yang
merupakan sosok yang dikenal parlente dan dikenal juga sebagai orang yang suka berwirausaha.
Karena itulah ia dikenal sebagi pengusaha yang sukses. Dengan gayanya yang
parlente itu, Kiai Wahab memiliki pergaulan yang cukup luas dan banyak berteman
dengan para aktivis pergerakan dalam gerakan-gerakan nasionalis. Tiga Kiai
besar itu dengan ciri khasnya masing-masing telah memberi pengaruh besar pada
kepribadian Gus Dur, hal ini karena Gus Dur sedari kecil juga sering bertemu
dengan orang-orang tersebut. Dari gaya humor dan gayanya yang elastis sosok Gus
Dur mencirikan sosok Kiai Hasyim dan Wahab, sementara dari sisi egalitariannya
Gus Dur bisa jadi berasal dari Kiai Bisri. Selain tiga tadi tentu pengaruh Kiai
Wahid ayahnya tidak bisa dilepaskan. Memori yang begitu mendalam dari sosok
ayahnya yang meninggal karena kecelakaan membuat psikologis Gus Dur sangat
terpukul di satu sisi, di sisi yang lain memberikan semangat yang luar biasa
dari sosok ayah yang begitu dicintai oleh rakyatnya.
Sebagai tokoh pergerakan, Wahid Hasyim tentu
memiliki jaringan yang luas dengan berbagai tokoh pergerakan dengan latar
belakangnya masing-masing. Dari sinilah Gus Dur banyak belajar dari tokoh-tokoh
besar, semisal Tan Malaka, Moh. Hatta, dll. Meski masih kecil, tapi dalam kerja
ayahnya tersebut Gus Dur sering diajak dalam pertemuan-pertemuan penting dengan
para tokoh pergerakan. Selain itu, gaya ayahnya
yang terbuka dan egaliter sangat memberikan ruang yang luas bagi Gus Dur
untuk mengembangkan diri dan wawasannya. Pun demikian saat ayahnya memiliki
berbagai macam buku bacaan baik yang sifatnya religius maupun tidak Gus Dur pun
ikut menikmatinya, karena itulah sedari kecil Gus Dur telah berkenalan dengan
pemikiran-pemikiran Barat melalui buku-buku Ayahnya. Setelah kepergian ayahnya,
Gus Dur dirawat oleh seorang Ibu yang bernama Solichah, dalam pengasuhan ibunya
pula Gus Dur diberi kebebasan untuk mengenal berbagai macam pemikiran baik yang
berhaluan kanan maupun bukan.
Masa-masanya yang begitu rumit dan berat ia
lewati di pesantren dalam masa-masa pergerakan dan tekanan. Besar dalam
keluarga santri yang berjuang melawan penjajah tentu sangat menyulitkan, dan
masa-masa inilah yang dilewatinya, terlebih saat ayahnya meninggal, ia hanya
dirawat oleh seorang Ibu. Masa-masa kecil Gus Dur memang semasa kecil tidak
terbilang bagus, bahkan ia pernah tidak naik kelas. Hal ini karena kebiasaannya
yang sering tidak serius pad ahal-hal yang tidak disukainya. Namun begitu,
kebiasaannya dalam membaca tidak perlu diragukan, salah satu buktinya adalah
mata yang tidak bisa melihat adalah karena kebiasaannya tersebut. Meski lahir
dari kalangan pesantren dan dibesarkan di pesantren, tapi dalam pendidikan Gus
Dur diberikan pendidikan yang sifatnya umum di luar pesantren, hal ini agar
sosok Gus Dur dapat memiliki pengetahuan yang luas sebagaimana ayahnya, itulah
yang diinginkan oleh Ibunya. Pun setalian dengan hal itu, bagi Gus Dur
pelajaran di pesantren bukanlah masalah baginya, pelajaran-pelajaran tersebut
dapat ia pahami dalam waktu yang cepat. Karena itulah ia sering banyak memiliki
banyak waktu luang, dan ini dimanfaatkan olehnya untuk menyalurkan hobinya
untuk menonton bioskop, wayang kulit, dan cerita silat. Pada bagian pertama ini
juga Greg menceritakan secara singkat tentang pertemuan dan jalinan kasihnya
dengan Nuriyah yang kelak menjadi istrinya.
Pada bagian ini juga terdapat penjelasan
mengenai kondisi Islam di Indonesia yang saat itu, bahkan hingga saat ini,
diwakili oleh golongan Modernis dan Tradisional. Secara khusus modernis
diwakili oleh Muhammadiyyah dan tradisionalis diwakili oleh Nahdlatul Ulama
(NU). Maka menjadi tanda tanya besar ketika tahun 1999 tepatnya bulan Oktober
saat Gus Dur terpilih menjadi presiden, bukan hanya di Indonesia, Gerg
menyebutkan bahwa dunia luar yang mengamati hal inipun tidak tahu bagaimana
mereka harus bersikap, saat mendengar bahwa presiden Indonesia yang pertama
terpilih secara demokratis adalah seorang “kiai Muslim”.
Sementara dalam konteks modernis
dantradisionalis kita sering mendengar istilah abangan dan santri. Santri dalam
konteks ini adalah mereka yang dianggap betul-betul memegang teguh ajaran
Islam, paling tidak kelima pilar Islam, atau dengan kata lain Muslim yang taat.
Sementara abangan adalah istilah yang disematkan pada mereka yang Muslim tapi
bukan santri, yang dalam konteks santri mereka dianggap sebagai Muslim nominal
walau dari mereka kadang ada yang ingin betul-betul taat pada ajaran Islam, ini
merujuk pada pembagian oleh Geertz. Dalam konteks yang seperti ini, dalam
sejarah Islam Indonesia kemudian muncul dua kubu yakni modernis dan
tradisionalis. Mereka tak jarang sering berhadap-hadapan dalam memahami agama.
Bahkan tak jarang saling mengkafirkan satu dengan yang lain, meski saat ini
kedua hal ini tidak lagi terjadi. Belakangan memang istilah “modernisme Islam”
dan “tradisionalisme Islam” sangat membingungkan. Greg menyebut bahwa ketika
modernisme Islam pertama datang di Indonesia pada awal abad XX, ia adalah
gerakan progresif dan reformis, tetapi pada separo abad kemudian, ada
tanda-tanda bahwa bagian-bagian dari gerakan modernis ini berubah menjadi konservatif. Dalam posisi
ini posisi gerakan modernis dan tradisionalis menjadi sangat vital dalam kontalasi
gerakan di Indonesia saat itu. Tadisionalis yag ciri khasnya mistisisme dan
tradisionalisme yang bisa diwakili NU sementara modernis bercirikan modernisme
dan reformisme yang diwakili Muhammadiyah. Dan pada akhirnya kedua kubu ini
berperan besar dalam pembentukan Pancasila yang diusulkan oleh Bung Karno. Kiai
Hasyim dalam konteks tradisionalis menjadi tokoh penting dalam perumusan
Pancasila tersebut, dengan begitu kaum tradisionalis tidak hanya sebatas
gerakan kolot, tapi justru mampu memberikan pengaruh besar dalam arus
pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan bukti kehadiran Wahid Hasyim dalam tim
perumus Pancasila tersebut.
Pada bagian kedua ini Greg menjelaskan
bagaimana intelektual Gus Dur terbentuk. Secara garis besar pada bagian ini
menjelaskan kehidupan Gus Dur saat studi di timur tengah. Ada tiga kota besar
yang mempengaruhi arus intelektualisme Gus Dur, tiga kota itu adalah Kairo,
Baghdad, dan Eropa. Di Kairo Gus Dur justru ‘gagal’ dalam studinya, ini
dikarenakan lebih pada kekecewaan Gus Dur pada Al-Azhar yang menurutnya tidak
memberikan pendidikan yang baik macam Barat. Di Al-Azhar ini kemudian ia
merasakan kekecewaan yang begitu besar, karena baginya Al-Azhar tidak ada
bedanya dengan pesantren di Indonesia, karena itulah ia tidak ingin menghabiskan
waktunya dengan mempelajari apa yang telah dipelajarinya bertahun-tahun di
pesantren. Karena itulah ia dikeluarkan dari universitas ini karena sering
membolos. Membolosnya Gus Dur lebih sering ia gunakan membaca di perpustakan
dan menonton pertandingan bola dan film India, ketimbang harus belajar hal yang
telah dipelajari, baginya membuang-buang waktu.
Ketika ia mendapatkan kesempatan untuk belajar
di Baghdad, ia merasakan menemukan lingkungan yang dimaksud. Di Baghdad baginya
lebih kosmopolitan dengan menghadirkan sistem pembelajaran yang lebih terbuka,
pun dengan koleksi perpustakaan yang lebih beragam koleksi bukunya. Di sinilah
ia banyak berkenalan dengan pemikiran dan filsafat Barat. Meski begitu, dengan
gayanya yang santai dan cuek, sebagaimana dilakukannya saat di Al-Azhar, maka
di Baghdad ia harus taat dan harus kooperatif dengan kampus, sebab aturan di
sini lebih disiplin dan ketat bagi mahasiswanya. Meski begitu, Baghdad menjadi
tempat yang paling nyaman baginya terbukti hampir empat tahun ia habiskan
waktunya di sini.
Sementara itu, dalam sela-sela kuliahnya iapun
meminang Nuriah, dalam pernikahan ini Gus Dur tidak hadir secara langsung namun
diwakilkan kakeknya Kiai Bisri Syansuri. Ini adalah pernikahan yang tidak lazim
pada umumnya. Setelah menikah dan lulus di Baghdad Gus Dur memiliki cita-cita
melanjutkan pendidikannya ke Eropa dengan harapan dpat membawa Nuriyah tinggal
bersamanya di sana. Namun, harapan itu pupus setelah ijazah keluaran Baghdad
tidak diakui di Eropa, meski tidak dapat melanjutkan pendidikannya di Eropa,
namun secara keilmuan Gus Dur telah bersentuhan dengan pemikiran Barat saat di
Kairo dan Baghdad. Meski tidak jadi belajar di Eropa, namun Gus Dur memiliki
kesempatan untuk pergi dan tinggal di Belanda selama enam bulan, dan ini
baginya cukup untuk mengenal tempat dari tokoh-tokoh Barat yang dibacanya. Ia
menghabiskan waktunya itu mengkaji dan belajar di Leiden dan
universitas-universitas yang berdekatan dengan Belanda dan Jerman.
Pada bagian ini juga dijelaskan pergerakan Gus
Dur pada era reformasi, pada saat orde baru sangat kuat, Gus Dur justru tampil
ke muka untuk melawan Soeharto. Ialah tokoh yang paling berani berhadapan
langsung dengan Soeharto. Karena itulah banyak tekanan semasa perjuangannya itu
untuk membela kebebasan dan keadilan yang dikekang Soeharto ia dapatkan. Tak
kurang dari berpuluh-puluh intimidasi dan ancaman ia terima, tapi, ia tetap
tidak gentar. Dengan basis pesantren dan NU yang dia pimpin ia terus melakukan
perlawanan untuk menentang Soeharto.
Pada bagian ketiga Greg lebih menekankan aspek
gerakan dan pemikiran Gus Dur, Gus Dur yang dikalangan pesantren sebagai seorang
kia justru dalam hal pemikiran dan gagasan bisa terbilang liberal dalam konteks
Muslim Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan Greg dalam bagian ini,
bagaimana sosok Gus Dur mati-matian membela demokrasi dengan membentuk forum-forum
yang pro demokrasi dan terus terjun ke akar rumput sembari membela dan menolak penindasan-penindasan
yang dilakukan negara kepada masyarakat. Gus Dur pun sangat terbuka dengan
aliran pemikiran dan menjunjung kebebasan beragama. Karena itulah ia sering
melakukan dialog antar iman dan membela hak-hak kaum minoritas yang dikebiri.
Ia sendiri tetap memakai landasan demokrasi dan konstitusi dalam menyuarakan
kebebasan berpendapat dan berkeyakinan. Baginya di Indonesia setiap orang harus
diberikan kebebasan dan diberikan hak-haknya dalam hidup dan meyakini
keyakinannya. Sementara di sisi lain, perjuangannya untuk menegakkan demokrasi
tidaklah mudah, karena ia harus berhadapan langsung dengan rezim yang berkuasa.
Dengan NU yang dipimpinnya, ia bersama Kiai Ahmad Siddiq terus melakukan
penyelamatan dan pembaharuan dalam lingkup NU yang saat itu situasinya sedang
dalam tekanan pemerintah dan gejolak politik yang tidak stabil. Dalam masa-masa
yang sulit itu, Gus Dur kemudian membawa NU menerima asal Pancasila sebagai
asas tunggal negara di tengah arus pemikiran dan idiologi global yang masuk.
Meski pada akhirnya keputusan itu menimbulkan kecurigaan bahwa Gus Dur telah
melakukan permainan dengan rezim.
Pada bagian empat, menjelaskan hasil
perjuangan dari yang dilakukan. Bahwa reformasi pada akhirnya terjadi. Gus Dur
pada akhirnya memasuki babak baru dalam kehidupan berbangsa begitupun dengan
NU. Tak ada yang menyangka bahwa Gus Dur pada kahirnya terpilih menjadi
presiden dalam perdebatan di MPR yang alot, pada saat malam harinya Akbar
Tanjung memutuskan mundur dari pencalonan. Namun sebelumnya, banyak perjuangan
yang telah dilakukannya untuk memperjuangkan ini semua. Pemikiran Gus Dur yang
terbuka kadang-kadang di satu sisi membuat rezim berkuasa geram namun di sisi
lain kadang-kadang membuat rezim tersenyum sumringah. Pola gerakan Gus Dur yang
tak bisa ditebak inilah membaut orang bingung kepadanya, hal ini pulalah yang
mebuat Gus Dur menjadi orang yang paling bebas dan tidak bisa diintervensi
siapapun. Saat menjadi presiden banyak hal yang kontroversi yang ia lakukan
seperti rencanannya mencabut tap MPR yang melarang PKI, membubarkan MUI,
mengganti Assalamualaikum dengan selamat pagi, dan membubarkan dua kementerian
yang dianggapnya sudah korup akut, dan memisahkan dwifungsi ABRI. Selain itu ia
juga memperjuangkan agar agama Konghucu diakui sebagai agama resmi di
Indonesia. Remormasi di kementerian agama dan lain-lainnya. Tak jarang
kontroversi Gus Dur membuatnya berhadap-hadapan dengan pihak yang menolak baik
di internal NU maupun dari luar NU. Saat sebelum reformasi, banyak pejabat
Soeharto dan Soeharto sendiri yang melawannya, tak kurang TNI dan Polri
dihadapinya. Ia bahkan mengkritik keras keberadaan ICMI yang dianggapnya
bentukan Soeharto dan mencederai semangat demokrasi karena dianggap sangat
sekterianisme.
Gus Dur adalah sosok yang mendobrak batas
untuk keterbukaan. Ia kemudian menjadi simbol kebangkitan bagi anak-anak muda
NU dan Muslim umumnya dalam berpikir terbuka dan bebas. Karena itulah kehadiran
Gus Dur dalam kancah pergerakan masa Orba menjadi sangat penting dan simbolik. Gus
Dur menjadi simbol perlawanan bagi Soeharto, yang selama ini orang takut
menghadapinya.
Pada bagian terakhir atau kelima, adalah
lanjutan dari bagian keempat. Pada bagian ini masih menceritakan soal politik
dan pergerakan menentang Soeharto dan soal saat ia menjabat menjadi presiden.
Pada bagain akhir ini Greg menjelaskan situasi sulit Gus Dur saat
berhadap-hadapan dengan Soeharto. Pasalnya berhadapan dengan rezim adalah satu
“kekonyolan” yang mengantar pada kesakitan. Dan itu disadari betul oleh Gus Dur,
intimidasi, ancaman, boikot serta kampanye anti-Gus Dur dibuat untuk
menjatuhkan dan melemahkan Gus Dur. Namun sayang, semua itu gagal dan tidak
berhasil melenyapkan Gus Dur. Justru hal itu membuat Gus Dur semakin dewasa
dalam berhadapan dengan rezim. Tak hanya itu, orang yang dekat denga Gus Dur
pun mendapat perlakuan yang sama seperti Megawati. Saat situasi politik memanas,
kekacauan hampir terjadi dimana-mana. Pasca Timor-timor, Poso meledak,
sementara kerusuhan atas nama agamapun juga terjadi di Situbondo. Sementara
partai PDI pun tepecah dan terjadi tragedi yang menewaskan banyak orang. Saat
situasi itu terjadi, posisi Gus Dur menjadi sangat berat, sebagai seorang yang
konsisten membela kebebasan dan perdamaian Gus Dur tetap turun ke akar rumput
untuk menyerukan perdamaian dan toleransi.
Saat ia menjabat, yang tak lebih dari dua
tahun itu, Gus Dur mengalami pasang surut kehidupan yang luar biasa. Sikapnya
yang bebas, santai, dan cuek menjadi keuntungan dan kerugian di sisi lain.
Karena hal itulah banyak lawan politiknya kemudian menyerangnya. Manuver
politik lawan begitu kuat, dan Gus Dur hanya seorang diri, dan pada akhirnya ia
harus dilengserkan dari kursi kepresidenan. Bahwa isu penurunannya adalah
Bulogget yang dianggap terjadi penyelewengan. Tapipun demikian, isu itu sampai
detik ini tidak pernah terbukti, dan ia tetap yakin bahwa penurunannya adalah
inkonstitusional dan lebih bermotif politik. Karena itulah baginya ia merasa
dikhianti dan dipermainkan. Sosok yang menurutnya paling bertanggung jawab atas
hal ini adalah Amin Rais dan Megawati yang bermain di balik semua penurunan
ini. Meski begitu, untuk menghindari pertumpahan darah di masyarakat yang
mendukungnya dengan pihak keamanan, ia pada akhirnya mundur dengan sendirinya,
dan hal yang paling penomenal adalah bahwa ia mundur dan menyapa publik sesaat
sebelum meninggalkan istana dengan menggunakan kaos oblong dan celana pendek.
Kelebihan
Kelebihan buku ini adalah bahwa buku ini dikerjakan
dengan penelitian yang lama dan serius. Selain itu kedekatan penulis pada Gus
Dur membuat tulisan dalam buku ini menjadi hidup, sebab sumber pada akhirnya
banyak “berbicara” dalam buku ini. Cerita yang singkat namun padat sedari Gus
Dur kecil hingga saat menjadi presiden membuat pembaca dapat mengenal Gus Dur lebih
dalam melalui perspektif Greg
Kekurangan
Karena buku ini terjemahan, maka pembaca tidak bisa secara langsung bisa
memahami perspektif Greg tentang Gus Dur. Sebagai buku biografi tentu
subjektivitas penulis tidak bisa dihindari. Dalam sisi penulisan sering kali
setiap sub pembahasan yang membahas pokok yang sama terpisah di bagian-bagian
yang berbeda, semisal kisah tentang Nuriyah. Ini membuat pembaca harus memiliki
ingatan yang cukup kuat akan cerita sebelumnya.







kerennnnn....
BalasHapusijin coppy...