Minggu, 28 Februari 2016

RIVIEW BUKU: BIOGRAFI GUS DUR; THE AUTHORIZED BIOGRAPHY OF ABDURRAHMAN WAHID


1INFO BUKU
Judul Buku                       : BIOGRAFI GUS DUR; THE AUTHORIZED BIOGRAPHY OF ABDURRAHMAN WAHID
Judul Asli                          : GUS DUR; THE AUTHORIZED BIOGRAPHY OF ABDURRAHMAN WAHID
Pengarang                        : Greg Barton
Penerjemah                      : Lie Hua
Penerbit                            : LkiS Yogyakarta
Tahun Terbit                    : Juni 2003, Cetakan I
Tebal Buku                       : xxx + 516 Halaman: 15,5 x 23 cm
RINGKASAN BUKU
Buku yang berjudul  BIOGRAFI GUS DUR; THE AUTHORIZED BIOGRAPHY OF ABDURRAHMAN WAHID adalah buku yang ditulis oleh Greg Barton seorang berkebangsaan Australia. Greg adalah seorang dosen senior di Fakultas Seni Deakin University, Geelong Victoria. Ia sejak akhir 1980-an telah meneliti tentang pengaruh liberalisme Islam dan sumbangannya pada perkembangan masyarakat sipil dan demokrasi. Salah satu tokoh utama kajiannya adalah Gus Dur, yang dikenalnya dengan sangat baik, melebihi peneliti lain. Hal inilah yang kemudian yang membuatnya menghasilkan buku biografi Gus Dur. Buku ini adalah buku yang menceritakan sosok Gus Dur mulai dari masa kecil hingga saat Gus Dur duduk di tampu kekuasaan tertinggi di republik ini.
Sumber:san gattau.blogspot.co.id

Buku ini memliki lima bagian, dimana satu bagian dengan bagian yang lain saling terkait satu dengan yang lain. Meski jika pembaca ingin membaca tidak secara runtut masih akan mendapatkan pesan yang dimaksudkan, namun bisa dipastikan tidak akan menangkap secara utuh sosok seorang Gus Dur yang diceritkan Greg dalam bukunya tersebut. Sebagaimana peneliti atau penulis buku biografi lainnya, Greg juga melakukan prosedur yang sama dengan mereka dalam menyusun buku biografi Gus Dur ini. Sebagaimana ia jelaskan sendiri dalam kata pengantarnya bahwa sebuah biografi yang serius lahir setelah penulisnya menghabiskan waktu lama untuk membaca arsip atau mewawancarai berpuluh-puluh orang yang mengenal subjek yang sedang ditulisnya. Dan semua itu biasanya akan didapati dalam catatan kaki yang berderert dalam bukunya. Hal inilah yang juga dilakukan oleh Greg dalam menyusun buku ini yakni dengan membaca atau melakukan kajian arsip yang mendalam tentang sosok Gus Dur dan kehidupannya serta melakukan wawancara berbagai orang yang sesuai atau mengenal sosok Gus Dur. Namun, yang membedakan Greg dengan peneliti yang lainnya—paling tidak dalam buku ini—adalah Greg juga melakukan pendekatan dalam penelitiannya ini dengan ‘membiarkan’ subjeknya (Gus Dur) yang berbicara tentang dirinya. Dengan begitu keterangan ini benar-benar difokuskan pada subjek. Hal ini terlebih Greg dan Gus Dur adalah karib yang akrab semenjak Greg memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke Indonesia dalam penelitiannya dan mengambil Gus Dur sebagai objek penelitiannya. Dengan keakraban tersebut tentu Greg memiliki banyak waktu (bertahun-tahun) untuk bersama Gus Dur untuk mengamati langsung kehidupan Gus Dur, dengan begitu pengalaman langsung ini memberikan “ruh” tersendiri bagi buku ini.
Proyek bertahun-tahun ini tentu ditujukan agar setiap orang dapat membacanya dan memahami sosok seorang tokoh yang di Indonesia dianggap “kontroversial”. Penulisan buku biografi tentu tidak akan lepas dari subjektivitas seorang peneliti, dalam konteks ini perspektif seorang Greg. Karena itulah Greg menjelaskan keuntungan pribadi baginya bisa mengenal Gus Dur sangat dekat dengan begitu ia bisa lebih mudah untuk melakukan pengamatan kritis dengan mengamati banyak perkembangan perkembangan penting sosok Gus Dur dan situasi yang meliputinya secara langsung. Artinya bahwa penulisan ini tentu akan sangat bersifat sangat pribadi dan subjektif. Meski pada saat yang sama hal tersebut menunjukan adanya kekuatan dan kelemahan dalam buku ini. Namun begitu pada akhirnya pembaca sendirilah yang melakukan penilaiannya yang seobjektif mungkin akan isi dan hasil penelitian ini ataupun tentang sosok Gus Dur sendiri dalam buku ini. Karena bagaimanapun pada dasarnya setiap karya biografi pada hakikatnya adalah buah dari penafsiran seseorang terhadap seseorang.
Sebagaimana yang dirangkai oleh Greg dalam buku biografi ini, Greg menyusun buku ini menjadi lima bagian setiap bagian memiliki hubungan dengan bagian selanjutnya. Bagian satu ke bagian berikutnya merupakan fase perjalanan hidup seorang Gus Dur dari kecil hingga saat ia menjabat sebagai pimpinan tertinggi Indonesia (Presiden).
Bagian pertama adalah bagian yang menjelaskan atau menceritkan sosok Gus Dur semasa kecil. Sebagai seorang anak dari seorang anak Kiai besar yang sekaligus pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, Gus Dur tidak  dapat dipisahkan dari lingkungan ayah dan kakeknya yakni pesantren. Pesantren dalam lingkup Nahdlatul Ulama atau NU merupakan unsur penting dalam sendi kehidupan organisasi ini. Karena bagi NU pesantrenlah rumahnya. Tanpa pesantren kemungkinan NU tidak akan pernah ada. Dengan alasan begitulah kenapa kemudian NU hidup di pesantren, sebab kiai-kiai NU pada dasarnya adalah pengurus atau pengasuh atau pendiri suatu pesantren.
Karena itulah sosok Gus Dur sangat terkait erat dengan pesantren dan juga NU. Dan terbukti Gus Dur adalah sosok seorang kiai bagi santri-santrinya dan juga pimpinan bagi organisasi yang diwariskan mendiang kakeknya KH. Hasyim Asy’ari. Dalam bagian pertama ini Greg menjelaskan bagaimana pesantren dan Gus Dur ini memiliki keterkaitan. Gus Dur yang pada umumnya diketahui oleh banyak orang bahwa ulang tahunnya dirayakan pada tanggal 4 Agustus, pada dasarnya sebagian telah keliru memaknai hal ini bahwa sebenarnya Gus Dur tidak terlahir pada tanggal tersebut. Hal seperti ini juga (dalam penjelasannya Greg) dalam banyak hal sering tidak nampak sebagaimana sepertinya. Dalam tradisi pesantren biasa penanggalan biasanya dihitung menggunakan kalender hijriah itu artinya bahwa persis juga yang terjadi pada penanggalan kelahiran Gus Dur sehingga banyak menimbulkan kekeliruan. Gus Dur sendiri dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan itu. sebenarnya tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah tanggal 7 september. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dalam rumah pesantren milik kakek dari pihak Ibunya, Kiai Bisri Syansuri.
Greg memberikan penjelasan bahwa pesantren adalah sekolah agama Islam yang di dalamnya menyediakan asrama bagi murid-muridnya. Dipimpin seorang ulama yang dikenal sebagai Kiai. Pendidikan pesantren memiliki corak tradisional yang dirawat dari awal hingga berabad-abad lamanya, sehingga penekanannya lebih bersifat sufisme, mistisisme Islam, karena itulah Kiai menjadi sangat penting dan strategis posisinya di pesantren maupun dalam lingkup sosial masyarakat Muslim. Sebagai seorang cucu Kiai besar dan berpengaruh Gus Dur dibesarkan dan dirawat dalam suasana yang demikian.
Pada bagian pertama buku ini diceritkan orang-orang yang memiliki pengaruh dalam sosok Gus Dur di lingkungan pesantren. Mereka Adalah kakek-kakek Gus Dur, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kia Bisri Syansuri, Kia Wahab Chasbullah yang merupakan keponakan dari kakennya Kiai Hasyim Asy’ari, dan selain mereka yang mempengaruhi sosok Gus Duru adalah tentu kedua orang tuanya yakni Kiai Wahid Hasyim dan Solichah. Kakek-kakek Gus Dur adalah kiai-kian besar di NU, baik dari pihak ayah maupun Ibu. Dari pihak ayah, Gus Dur memiliki kakek yang bernama Kiai Hasyim Asy’ari yang sekaligus sebagai pendiri NU dan dalam lingkungan NU disebut sebagai Hadratus Syaikh (guru Agung). Kiai Hasyim mendirikan NU pada tahun 1926. Kia Hasyim selain dikenal sebagai pendiri NU juga dikenal sebagai pendiri dan pengasuh pertama pondok pesantren Tebuireng, Jombang. Ialah orang yang pertam-tama dengan mantap hatinya memilih desa tersebut sebagai tempat untuk pesantrennya meski teman-temannya menasihati agar tak memilih tempat itu karena terkenal sebagai daerah pelacuran dan tempat-tempat minum yang ramai dikunjungi penduduk setempat yang beroleh uang dari pabrik gula setempat.
Kiai Hasyim adalah salah seorang murid dari guru atau Kiai besar di Jawa Timur yakni Kiai Cholil Bangkalan, Madur dan juga murid dari Syaikh Chatib Minangkabau yang mendidiknya saat Kiai Hasyim belajar di Mekkah. Di bawah bimbingan Kiai Chatib ini pulalah pada akhirnya Kiai Hasyim menguasai keahlian di bidann hadits, dan iapun pandai dalam membuat cerita-cerita lucu mengenai kisah hidup Rasulullah. Kiai Hasyim adalah tokoh yang sangat nasionalis religius, itu terbukti bahwa ia mengusulkan tentang pentingnya santri seluruh Indonesia untuk berjihad melawan penjajah dengan resolusi jihadnya.  Selain itu ia adalah tokoh yang suka melakukan pembaruan dalam pemikiran dan pendidikan Islam. Misalnya saja, saat semua orang menasihatinya untuk tidak mendirikan pesantren di sekitar tempat yang diangapnya maksiat, justru Kia Hasyim melakukannya dengan mantap, selain itu sistem pengajaran dengan adanya kelas-kelas yang terstruktur, membuka ruang diskusi di kelas serta memasukkan bahasa modern (asing) ke pesantren (meski atas usul anaknya Kiai Wahid Hasyim) adalah satu pembaharuan yang sangat besar. Ia berpikiran bahwa pesantrena hasrulah memainkan peran dalam mengubah masyarakat yang ada di sekelilingnya. Gagasan inilah kemudian pada akhirnya diikuti oleh pesantren-pesantren lain.
Kemudian Kakek Gus Dur dari pihak Ibu, Kiai Bisri Syansuri meski tak setenar Kiai Hasyim juga merupakan tokoh yang memiliki peranan penting dalam pendirian NU. Ia sendiri juga melakukan satu perubahan yang besar dalam pesantren dengan memperkenalkan kelas pertama santri puteri di lingkungan pesantrennya di desa Denanyar dipinggir kota Jombang. Pesantren yang dibangunnya adalah memiliki keunikan yang sama dalam hal spirit dengan pesantren Kiai Hasyim saat hendak dibangun. Jika wilayah pesantren Kiai Hasyim terkenal sebagai tempat maksiat maka wilayah Kiai Bisri terkenal dengan ketandusannya. Namun, tak lama setelah dikelola Kia Bisri, tanah itu pada akhirnya menjadi suatu tempat yang memberi kemakmuran dalam perkembangan pertanian, pembelajaran, dan keruhanian. Selain terkenal sebagai ahli fikih dan administratur pendidikan yang berbakat ia juga terkenal sebagai ahli di bidang pertanian.
Sementara itu Kiai Wahab Chasbullah yang merupakan sosok yang dikenal parlente dan dikenal juga sebagai orang yang suka berwirausaha. Karena itulah ia dikenal sebagi pengusaha yang sukses. Dengan gayanya yang parlente itu, Kiai Wahab memiliki pergaulan yang cukup luas dan banyak berteman dengan para aktivis pergerakan dalam gerakan-gerakan nasionalis. Tiga Kiai besar itu dengan ciri khasnya masing-masing telah memberi pengaruh besar pada kepribadian Gus Dur, hal ini karena Gus Dur sedari kecil juga sering bertemu dengan orang-orang tersebut. Dari gaya humor dan gayanya yang elastis sosok Gus Dur mencirikan sosok Kiai Hasyim dan Wahab, sementara dari sisi egalitariannya Gus Dur bisa jadi berasal dari Kiai Bisri. Selain tiga tadi tentu pengaruh Kiai Wahid ayahnya tidak bisa dilepaskan. Memori yang begitu mendalam dari sosok ayahnya yang meninggal karena kecelakaan membuat psikologis Gus Dur sangat terpukul di satu sisi, di sisi yang lain memberikan semangat yang luar biasa dari sosok ayah yang begitu dicintai oleh rakyatnya.
Sebagai tokoh pergerakan, Wahid Hasyim tentu memiliki jaringan yang luas dengan berbagai tokoh pergerakan dengan latar belakangnya masing-masing. Dari sinilah Gus Dur banyak belajar dari tokoh-tokoh besar, semisal Tan Malaka, Moh. Hatta, dll. Meski masih kecil, tapi dalam kerja ayahnya tersebut Gus Dur sering diajak dalam pertemuan-pertemuan penting dengan para tokoh pergerakan. Selain itu, gaya ayahnya  yang terbuka dan egaliter sangat memberikan ruang yang luas bagi Gus Dur untuk mengembangkan diri dan wawasannya. Pun demikian saat ayahnya memiliki berbagai macam buku bacaan baik yang sifatnya religius maupun tidak Gus Dur pun ikut menikmatinya, karena itulah sedari kecil Gus Dur telah berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Barat melalui buku-buku Ayahnya. Setelah kepergian ayahnya, Gus Dur dirawat oleh seorang Ibu yang bernama Solichah, dalam pengasuhan ibunya pula Gus Dur diberi kebebasan untuk mengenal berbagai macam pemikiran baik yang berhaluan kanan maupun bukan.
Masa-masanya yang begitu rumit dan berat ia lewati di pesantren dalam masa-masa pergerakan dan tekanan. Besar dalam keluarga santri yang berjuang melawan penjajah tentu sangat menyulitkan, dan masa-masa inilah yang dilewatinya, terlebih saat ayahnya meninggal, ia hanya dirawat oleh seorang Ibu. Masa-masa kecil Gus Dur memang semasa kecil tidak terbilang bagus, bahkan ia pernah tidak naik kelas. Hal ini karena kebiasaannya yang sering tidak serius pad ahal-hal yang tidak disukainya. Namun begitu, kebiasaannya dalam membaca tidak perlu diragukan, salah satu buktinya adalah mata yang tidak bisa melihat adalah karena kebiasaannya tersebut. Meski lahir dari kalangan pesantren dan dibesarkan di pesantren, tapi dalam pendidikan Gus Dur diberikan pendidikan yang sifatnya umum di luar pesantren, hal ini agar sosok Gus Dur dapat memiliki pengetahuan yang luas sebagaimana ayahnya, itulah yang diinginkan oleh Ibunya. Pun setalian dengan hal itu, bagi Gus Dur pelajaran di pesantren bukanlah masalah baginya, pelajaran-pelajaran tersebut dapat ia pahami dalam waktu yang cepat. Karena itulah ia sering banyak memiliki banyak waktu luang, dan ini dimanfaatkan olehnya untuk menyalurkan hobinya untuk menonton bioskop, wayang kulit, dan cerita silat. Pada bagian pertama ini juga Greg menceritakan secara singkat tentang pertemuan dan jalinan kasihnya dengan Nuriyah yang kelak menjadi istrinya.
Pada bagian ini juga terdapat penjelasan mengenai kondisi Islam di Indonesia yang saat itu, bahkan hingga saat ini, diwakili oleh golongan Modernis dan Tradisional. Secara khusus modernis diwakili oleh Muhammadiyyah dan tradisionalis diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU). Maka menjadi tanda tanya besar ketika tahun 1999 tepatnya bulan Oktober saat Gus Dur terpilih menjadi presiden, bukan hanya di Indonesia, Gerg menyebutkan bahwa dunia luar yang mengamati hal inipun tidak tahu bagaimana mereka harus bersikap, saat mendengar bahwa presiden Indonesia yang pertama terpilih secara demokratis adalah seorang “kiai Muslim”.
Sementara dalam konteks modernis dantradisionalis kita sering mendengar istilah abangan dan santri. Santri dalam konteks ini adalah mereka yang dianggap betul-betul memegang teguh ajaran Islam, paling tidak kelima pilar Islam, atau dengan kata lain Muslim yang taat. Sementara abangan adalah istilah yang disematkan pada mereka yang Muslim tapi bukan santri, yang dalam konteks santri mereka dianggap sebagai Muslim nominal walau dari mereka kadang ada yang ingin betul-betul taat pada ajaran Islam, ini merujuk pada pembagian oleh Geertz. Dalam konteks yang seperti ini, dalam sejarah Islam Indonesia kemudian muncul dua kubu yakni modernis dan tradisionalis. Mereka tak jarang sering berhadap-hadapan dalam memahami agama. Bahkan tak jarang saling mengkafirkan satu dengan yang lain, meski saat ini kedua hal ini tidak lagi terjadi. Belakangan memang istilah “modernisme Islam” dan “tradisionalisme Islam” sangat membingungkan. Greg menyebut bahwa ketika modernisme Islam pertama datang di Indonesia pada awal abad XX, ia adalah gerakan progresif dan reformis, tetapi pada separo abad kemudian, ada tanda-tanda bahwa bagian-bagian dari gerakan modernis  ini berubah menjadi konservatif. Dalam posisi ini posisi gerakan modernis dan tradisionalis menjadi sangat vital dalam kontalasi gerakan di Indonesia saat itu. Tadisionalis yag ciri khasnya mistisisme dan tradisionalisme yang bisa diwakili NU sementara modernis bercirikan modernisme dan reformisme yang diwakili Muhammadiyah. Dan pada akhirnya kedua kubu ini berperan besar dalam pembentukan Pancasila yang diusulkan oleh Bung Karno. Kiai Hasyim dalam konteks tradisionalis menjadi tokoh penting dalam perumusan Pancasila tersebut, dengan begitu kaum tradisionalis tidak hanya sebatas gerakan kolot, tapi justru mampu memberikan pengaruh besar dalam arus pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan bukti kehadiran Wahid Hasyim dalam tim perumus Pancasila tersebut.
Pada bagian kedua ini Greg menjelaskan bagaimana intelektual Gus Dur terbentuk. Secara garis besar pada bagian ini menjelaskan kehidupan Gus Dur saat studi di timur tengah. Ada tiga kota besar yang mempengaruhi arus intelektualisme Gus Dur, tiga kota itu adalah Kairo, Baghdad, dan Eropa. Di Kairo Gus Dur justru ‘gagal’ dalam studinya, ini dikarenakan lebih pada kekecewaan Gus Dur pada Al-Azhar yang menurutnya tidak memberikan pendidikan yang baik macam Barat. Di Al-Azhar ini kemudian ia merasakan kekecewaan yang begitu besar, karena baginya Al-Azhar tidak ada bedanya dengan pesantren di Indonesia, karena itulah ia tidak ingin menghabiskan waktunya dengan mempelajari apa yang telah dipelajarinya bertahun-tahun di pesantren. Karena itulah ia dikeluarkan dari universitas ini karena sering membolos. Membolosnya Gus Dur lebih sering ia gunakan membaca di perpustakan dan menonton pertandingan bola dan film India, ketimbang harus belajar hal yang telah dipelajari, baginya membuang-buang waktu.
Ketika ia mendapatkan kesempatan untuk belajar di Baghdad, ia merasakan menemukan lingkungan yang dimaksud. Di Baghdad baginya lebih kosmopolitan dengan menghadirkan sistem pembelajaran yang lebih terbuka, pun dengan koleksi perpustakaan yang lebih beragam koleksi bukunya. Di sinilah ia banyak berkenalan dengan pemikiran dan filsafat Barat. Meski begitu, dengan gayanya yang santai dan cuek, sebagaimana dilakukannya saat di Al-Azhar, maka di Baghdad ia harus taat dan harus kooperatif dengan kampus, sebab aturan di sini lebih disiplin dan ketat bagi mahasiswanya. Meski begitu, Baghdad menjadi tempat yang paling nyaman baginya terbukti hampir empat tahun ia habiskan waktunya di sini.
Sementara itu, dalam sela-sela kuliahnya iapun meminang Nuriah, dalam pernikahan ini Gus Dur tidak hadir secara langsung namun diwakilkan kakeknya Kiai Bisri Syansuri. Ini adalah pernikahan yang tidak lazim pada umumnya. Setelah menikah dan lulus di Baghdad Gus Dur memiliki cita-cita melanjutkan pendidikannya ke Eropa dengan harapan dpat membawa Nuriyah tinggal bersamanya di sana. Namun, harapan itu pupus setelah ijazah keluaran Baghdad tidak diakui di Eropa, meski tidak dapat melanjutkan pendidikannya di Eropa, namun secara keilmuan Gus Dur telah bersentuhan dengan pemikiran Barat saat di Kairo dan Baghdad. Meski tidak jadi belajar di Eropa, namun Gus Dur memiliki kesempatan untuk pergi dan tinggal di Belanda selama enam bulan, dan ini baginya cukup untuk mengenal tempat dari tokoh-tokoh Barat yang dibacanya. Ia menghabiskan waktunya itu mengkaji dan belajar di Leiden dan universitas-universitas yang berdekatan dengan Belanda dan Jerman.
Pada bagian ini juga dijelaskan pergerakan Gus Dur pada era reformasi, pada saat orde baru sangat kuat, Gus Dur justru tampil ke muka untuk melawan Soeharto. Ialah tokoh yang paling berani berhadapan langsung dengan Soeharto. Karena itulah banyak tekanan semasa perjuangannya itu untuk membela kebebasan dan keadilan yang dikekang Soeharto ia dapatkan. Tak kurang dari berpuluh-puluh intimidasi dan ancaman ia terima, tapi, ia tetap tidak gentar. Dengan basis pesantren dan NU yang dia pimpin ia terus melakukan perlawanan untuk menentang Soeharto.
Pada bagian ketiga Greg lebih menekankan aspek gerakan dan pemikiran Gus Dur, Gus Dur yang dikalangan pesantren sebagai seorang kia justru dalam hal pemikiran dan gagasan bisa terbilang liberal dalam konteks Muslim Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan Greg dalam bagian ini, bagaimana sosok Gus Dur mati-matian membela demokrasi dengan membentuk forum-forum yang pro demokrasi dan terus terjun ke akar rumput sembari membela dan menolak penindasan-penindasan yang dilakukan negara kepada masyarakat. Gus Dur pun sangat terbuka dengan aliran pemikiran dan menjunjung kebebasan beragama. Karena itulah ia sering melakukan dialog antar iman dan membela hak-hak kaum minoritas yang dikebiri. Ia sendiri tetap memakai landasan demokrasi dan konstitusi dalam menyuarakan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan. Baginya di Indonesia setiap orang harus diberikan kebebasan dan diberikan hak-haknya dalam hidup dan meyakini keyakinannya. Sementara di sisi lain, perjuangannya untuk menegakkan demokrasi tidaklah mudah, karena ia harus berhadapan langsung dengan rezim yang berkuasa. Dengan NU yang dipimpinnya, ia bersama Kiai Ahmad Siddiq terus melakukan penyelamatan dan pembaharuan dalam lingkup NU yang saat itu situasinya sedang dalam tekanan pemerintah dan gejolak politik yang tidak stabil. Dalam masa-masa yang sulit itu, Gus Dur kemudian membawa NU menerima asal Pancasila sebagai asas tunggal negara di tengah arus pemikiran dan idiologi global yang masuk. Meski pada akhirnya keputusan itu menimbulkan kecurigaan bahwa Gus Dur telah melakukan permainan dengan rezim.
Pada bagian empat, menjelaskan hasil perjuangan dari yang dilakukan. Bahwa reformasi pada akhirnya terjadi. Gus Dur pada akhirnya memasuki babak baru dalam kehidupan berbangsa begitupun dengan NU. Tak ada yang menyangka bahwa Gus Dur pada kahirnya terpilih menjadi presiden dalam perdebatan di MPR yang alot, pada saat malam harinya Akbar Tanjung memutuskan mundur dari pencalonan. Namun sebelumnya, banyak perjuangan yang telah dilakukannya untuk memperjuangkan ini semua. Pemikiran Gus Dur yang terbuka kadang-kadang di satu sisi membuat rezim berkuasa geram namun di sisi lain kadang-kadang membuat rezim tersenyum sumringah. Pola gerakan Gus Dur yang tak bisa ditebak inilah membaut orang bingung kepadanya, hal ini pulalah yang mebuat Gus Dur menjadi orang yang paling bebas dan tidak bisa diintervensi siapapun. Saat menjadi presiden banyak hal yang kontroversi yang ia lakukan seperti rencanannya mencabut tap MPR yang melarang PKI, membubarkan MUI, mengganti Assalamualaikum dengan selamat pagi, dan membubarkan dua kementerian yang dianggapnya sudah korup akut, dan memisahkan dwifungsi ABRI. Selain itu ia juga memperjuangkan agar agama Konghucu diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Remormasi di kementerian agama dan lain-lainnya. Tak jarang kontroversi Gus Dur membuatnya berhadap-hadapan dengan pihak yang menolak baik di internal NU maupun dari luar NU. Saat sebelum reformasi, banyak pejabat Soeharto dan Soeharto sendiri yang melawannya, tak kurang TNI dan Polri dihadapinya. Ia bahkan mengkritik keras keberadaan ICMI yang dianggapnya bentukan Soeharto dan mencederai semangat demokrasi karena dianggap sangat sekterianisme.
Gus Dur adalah sosok yang mendobrak batas untuk keterbukaan. Ia kemudian menjadi simbol kebangkitan bagi anak-anak muda NU dan Muslim umumnya dalam berpikir terbuka dan bebas. Karena itulah kehadiran Gus Dur dalam kancah pergerakan masa Orba menjadi sangat penting dan simbolik. Gus Dur menjadi simbol perlawanan bagi Soeharto, yang selama ini orang takut menghadapinya.
Pada bagian terakhir atau kelima, adalah lanjutan dari bagian keempat. Pada bagian ini masih menceritakan soal politik dan pergerakan menentang Soeharto dan soal saat ia menjabat menjadi presiden. Pada bagain akhir ini Greg menjelaskan situasi sulit Gus Dur saat berhadap-hadapan dengan Soeharto. Pasalnya berhadapan dengan rezim adalah satu “kekonyolan” yang mengantar pada kesakitan. Dan itu disadari betul oleh Gus Dur, intimidasi, ancaman, boikot serta kampanye anti-Gus Dur dibuat untuk menjatuhkan dan melemahkan Gus Dur. Namun sayang, semua itu gagal dan tidak berhasil melenyapkan Gus Dur. Justru hal itu membuat Gus Dur semakin dewasa dalam berhadapan dengan rezim. Tak hanya itu, orang yang dekat denga Gus Dur pun mendapat perlakuan yang sama seperti Megawati. Saat situasi politik memanas, kekacauan hampir terjadi dimana-mana. Pasca Timor-timor, Poso meledak, sementara kerusuhan atas nama agamapun juga terjadi di Situbondo. Sementara partai PDI pun tepecah dan terjadi tragedi yang menewaskan banyak orang. Saat situasi itu terjadi, posisi Gus Dur menjadi sangat berat, sebagai seorang yang konsisten membela kebebasan dan perdamaian Gus Dur tetap turun ke akar rumput untuk menyerukan perdamaian dan toleransi.
Saat ia menjabat, yang tak lebih dari dua tahun itu, Gus Dur mengalami pasang surut kehidupan yang luar biasa. Sikapnya yang bebas, santai, dan cuek menjadi keuntungan dan kerugian di sisi lain. Karena hal itulah banyak lawan politiknya kemudian menyerangnya. Manuver politik lawan begitu kuat, dan Gus Dur hanya seorang diri, dan pada akhirnya ia harus dilengserkan dari kursi kepresidenan. Bahwa isu penurunannya adalah Bulogget yang dianggap terjadi penyelewengan. Tapipun demikian, isu itu sampai detik ini tidak pernah terbukti, dan ia tetap yakin bahwa penurunannya adalah inkonstitusional dan lebih bermotif politik. Karena itulah baginya ia merasa dikhianti dan dipermainkan. Sosok yang menurutnya paling bertanggung jawab atas hal ini adalah Amin Rais dan Megawati yang bermain di balik semua penurunan ini. Meski begitu, untuk menghindari pertumpahan darah di masyarakat yang mendukungnya dengan pihak keamanan, ia pada akhirnya mundur dengan sendirinya, dan hal yang paling penomenal adalah bahwa ia mundur dan menyapa publik sesaat sebelum meninggalkan istana dengan menggunakan kaos oblong dan celana pendek.

Kelebihan
Kelebihan buku ini adalah bahwa buku ini dikerjakan dengan penelitian yang lama dan serius. Selain itu kedekatan penulis pada Gus Dur membuat tulisan dalam buku ini menjadi hidup, sebab sumber pada akhirnya banyak “berbicara” dalam buku ini. Cerita yang singkat namun padat sedari Gus Dur kecil hingga saat menjadi presiden membuat pembaca dapat mengenal Gus Dur lebih dalam melalui perspektif Greg
Kekurangan

Karena buku ini terjemahan,  maka pembaca tidak bisa secara langsung bisa memahami perspektif Greg tentang Gus Dur. Sebagai buku biografi tentu subjektivitas penulis tidak bisa dihindari. Dalam sisi penulisan sering kali setiap sub pembahasan yang membahas pokok yang sama terpisah di bagian-bagian yang berbeda, semisal kisah tentang Nuriyah. Ini membuat pembaca harus memiliki ingatan yang cukup kuat akan cerita sebelumnya.

1 komentar: