Rabu, 04 November 2015

Allah Cahaya Langit dan Bumi (Seri Tasawwuf I)

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ  
وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, kaca itu seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. 24:35.


Mengenai cahaya dalam surat ini ulama seperti Sadra, Ibn Sina dan Suhrawardi dan beberapa filosof dan arif lainnya mengatakan bahwa cahaya atau al-Nur itu bermakna sebenarnya yakni Allah adalah cahaya atau hakikat yang sederhana, mereka mentakwil makna al-Nur pada ayat itu, ini berbeda dengan pandangan ulama zahir yang menafsirkan sebagai bentuk majazi, atau kata yang bermakna majaz, yakni tidak bermakna sebenarnya.

Sementara mengenai pembahasan ini pada QS. al-Nur tersebut kita menjadi tertarik mengapa cahaya Allah dikaitkan dengan langit dan bumi, mengapa Allah Swt. sendiri menjadi cahaya langit dan bumi? Inilah pertanyaan yang diajukan oleh Al-Gazhali. Allah adalah cahaya yang hakiki tidak ada cahaya selain Dia, dan Dia-lah cahaya seluruh wujud ini. Dia adalah cahaya yang paling sempurna. Al-Gazhali menambahkan bahwa pada umumnya cahaya adalah sesuatu yang dapat menerangi yang lain, dan yang lebih tinggi  lagi adalah ia dapat menyinari dirinya dan juga pada lainnya. Cahaya yang lebih tinggi lagi yakni cahaya yang dapat menyinari lainnya, dari dan untuk dirinya sendiri. Cahaya inilah cahaya hakiki dan tidak ada cahaya lagi di atasnya.

Cahaya, sifat dan penyebaran cahaya sejatinya adalah inti dari filsafat yang beraliran iluminasionis. Ibn Sina ketika ditanya mengenai ayat al-Nur, Allah Nur al-Samawat wa al-Ardhi yang mana Allah menyebut dirinya sebagai Cahaya langit dan bumi. Ia menjawab mengenai makna itu; Cahaya mengandung dua makna, yang esensial dan metaforikal. Yang esensial, Cahaya berarti kesempurnaan kebeningan, lantaran cahaya pada dirinya memang bersifat bening. Sedangkan makna metaforikal harus dipahami dalam dua cara, yaitu cahaya sebagai sesuatu yang bersifat baik atau sebagai sebab yang mengarahkan kepada yang baik.

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, Al-Gazhali mengenai makna cahaya mengembangkannya dalam bukunya Misykat al-Anwar. Dalam pandangan Al-Gazhali al-Nur yang sejati hanyalah Allah Swt, yang dinamakannya sebagai Nur ‘Ala Nur (Cahaya di atas Cahaya) sedangkan Suhrawardi menyebut Allah dengan Nur al-Nur (Cahaya dari Cahaya-cahaya). Suhrawardi menjelaskan bahwa Cahaya yang dimaksud bersifat immaterial dan tidak bisa didefinisikan, karena sesuatu yang “terang” tidak memerlukan definisi, dan cahaya adalah entitas yang paling terang di dunia. Bahkan cahaya menembus susunan semua entitas, baik yang bersifat fisik dan non-fisik, sebagai sesuatu yang esensial daripadanya.

Pada sisi yang lain, Ibn Sina dalam menafsirkan ayat tersebut juga mencoba mengkorelasikan dengan sebuah hadis yang terkenal di kalangan para Sufi “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”  (Siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya), bagi Ibn Sina ayat ini menjelaskan hakikat keterhubungan antara diri manusia dengan Allah dalam penyingkapan pengetahuan. Di sini, jika kita perhatikan lebih lanjut kita akan dapati bahwa antara Ibn Sina dan kalangan para sufi terdapat kesamaan pandangan, kita akan menemukan bahwa kesadaran akan realitas diri manusia akan menyingkapkan realitas al-Haqq.

Istilah al-misykāt yang merupakan ceruk tempat menaruh cahaya adalah suatu simbolisasi dalam al-Qur’an yang oleh para sufi digunakan untuk mengungkapkan dimensi esoteris pada diri manusia yang mampu menampung cahaya ilahi oleh Ibn Sina dimaknai sebagai akal material. Hal ini karena Ibn Sina menganggap bahwa hakikat al-misykat berdasarkan hakikat zatnya adalah faqir akan cahaya. Yang ada padanya adalah kegelapan. Melalui al-misykat yang tidak lain akal material ini, manusia memiliki kemampuan untuk menampung cahya. Al-Zujaj yang artinya kaca-kaca oleh Ibn Sina diartikan sebagai simbol dari akal yang menyatu (al-‘aql bi al-malakah),  hal ini didasarkan pada sifat kaca yang transparan dan memiliki kemampuan menerima cahaya yang sempurna. Dengan al-‘aql bi al-malakah beragam objek dapat tersaksikan dalam realitasnya masing-masing mengingat sifatnya yang merupakan penerima cahaya yang sempurna sehingga dia mampu menampilkan cahaya yang memiliki intensitas padat (syiddat) dalam uraian dan klasifikasi objek-objek yang dapat ditangkap dalam realitas-realitas yang beragam. Al-Misbah atau pelita merupakan simbolisasi akal. Ia merupakan hakikat api yang darinya segala sesuatu menjadi benderang dan dirinya secara zat tidak lagi membutuhkan cahaya eksternal karena zatnya sendiri telah merupakan api yang menerangi.

Mengenai tafsir tentang cahaya, para arif atau sufi mengatakan bahwa Allah lah yang merupakan cahaya. Dia adalah cahaya mutlak, yang darinya Dia bersinar untuk dirinya sendiri dan menerangi selainnya. Allah lah yang merupakan cahaya langit dan bumi, ini adalah makna yang dimaksudkan adalah makna sebenarnya, bukan makna majazi sebagaimana dianggap oleh ulama zahir dan para mutakallimin.

Daftar Bacaan
Al-Qur’an
Al-Gazhali, Tafsir Ayat Chaya; Dan Telaah Kritis Pakar (Drs. Hasan Abrori MA dan Drs. Mashur Abadi), Surabaya: Pustaka Progressif, 2002
As-Sarraj, Abu Nashr, Al-Luma’; Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf (terj: Wasmukan dan Samson Rahman, MA.), Surabaya: Risalah Gusti, 2009
Al-Walid, Kholid, Jurnal Nun; Takwil Epistemologis Ibn Sina Atas Ayat Ke-35 Surat Al-Nur, Jakarta: STFI SADRA, Vol. I, Juni 2013
Ensiklopedi Tematis; SPIRITUALITAS ISLAM, (Editor: Sayyed Hossen Nasr), Bandung: Mizan, 2003
Ibnu Al-‘Arabi, Fushūsh Al-Hikam; Permata Hikmah Wihdat Al-Wujud (Terj: Jaffar Jufri), Jakarta: Bias Ilmu Publishing, 2008
Ibnu ‘Arabii, Fusus Al-Hikam; Mutiara Hikmah 27 Nabi (terj. Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti), Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004
Munawar, Budhy, dan Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid (Edisi Digital), Bandung: Mizan, 2006
Muthahhari, Murthadha. Tafsir Holistik; Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia dan Alam, (Terj:Ilyas Hasan), Jakarta: Citra, 2012
Muthahhari, Murthada, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam (Terj. Ibrahim Husain al-Habsyi, dkk.) Jakarta: Pustaka Zahra, 2003
Muthahhari, Murthada, Mengenal Ilmu Kalam (Terj. Ilyas Hasan.) Jakarta: Pustaka Zahra, 2002
Nasution, Hayimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Puncak Kefasihan Nahjul Balaghah, Jakarta: Lentera, 1997
Tafsir al-Qur’an al-Karim, Mulla Sadra, Pdf
Ziai, Hossein, Sang Pencerah Pengetahuan dari Timur; Suhrawardi & Filsafat Iluminasi (terj. Prof. Dr. Afif Muhammad, M, A., Dr. Munir A. Muin, M. A.), Jakarta: Sadra Press, 2012

0 komentar:

Posting Komentar