Selasa, 03 November 2015

Otoritas Agama, Siapa Yang Berhak?

Akhir-akhir ini kita sering mendengar banyaknya tindak kekerasan dengan dasar beda keyakinan. Orang-orang dengan mudah tanpa merasa berdosa dapat melakukan pengerusakan, pembakaran, serta pembunuhan terhadap orang lain atas dasar keyakinan yang tak sama. Situasi ini sungguh miris dan menyayat hati kita sebagai manusia yang di dalamnya masih memiliki nurani. Bagaimana bisa orang dapat merusak, menghancurkan, bahkan sampai membunuh orang dengan begitu mudahnya karena keyakinan yang berbeda?

Inilah kegelisahan yang selalu muncul di benak saya, bagaimana bisa? Pada faktanya, hal itu benar-benar terjadi dalam kehidupan kita, kita dapat saksikan bagaimana perang di Poso yang mengatas namakan agama merenggut banyak nyawa, perang Sampit antara etnis Dayak dan Madura,  serta beberapa tahun belakangan ini terjadi penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang. Bukan hanya disayangkan, namun kita sebagai bagian dari penduduk negeri ini mengecam hal yang demikian itu. Terlebih persoalan ini tidak boleh dianggap sepele oleh negara, dalam hal ini yang kita sepakati sebagai pengayom dan pelindung kita.
Ilustrasi: Sumber foto heyunik.blogspot.co.id

Negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi kebebasan seseorang dalam menganut keyakinan. Karena itulah dasar negara kita Pancasila memang didesain untuk merangkul semua golongan yang hidup dan tumbuh di negara ini. Maka tindak kekerasan atas nama apapun bentuknya adalah bentuk pelanggaran terhadap konstitusi kita. Melanggar konstitusi dengan sengaja sama saja artinya melawan konstitusi, melawan konstitusi, sama saja berarti berhianat terhadap Negara ini.

Negara kita sudah dibentuk memang untuk semua golongan, dengan demikian tidak ada yang boleh merasa paling berhak sehingga harus mendominasi dan mendiskriminasi yang lain. Tidak boleh yang mayoritas menindas yang minoritas, semua di mata konstitusi kita adalah sama kedudukan, hak dan kewajibannya dalam konteks bernegara dan berbangsa.

Secara kultur, bangsa kita sejatinya adalah bangsa yang ramah dan toleran, bangsa kita adalah bangsa yang dapat berdampingan dengan semua golongan. Akan tetapi, belakangan, beberapa orang atau kelompok justru bersikap intoleran dengan satu dengan yang lain. Bila mereka tahu saja bahwa tetangganya berbeda keyakinan dengannya pasti  enggan menyapa apalagi mambantu. Konflik-konflik agama atau konflik dalam satu komunitas agama yang berbeda mazhab hampir tak pernah absen hadir setiap tahunnya dalam perjalanan berbangsa dan bernegara kita. Ini semua bisa jadi, karena kita lupa identitas kita sebagai bangsa yang ramah dan memang ditakdirkan Tuhan untuk majemuk.

Kita lupa bahwa sejatinya agama-agama besar yang kita anut sekarang adalah agama impor, agama yang berkembang di luar dari diri kita. Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu semua itu adalah agama yang kita impor dari luar. Kita dapat menerima agama itu di negara kita karena agama-agama tersebut selalu mengajarkan kepada kebaikan dan kedamaian, tidak ada satupun agama akan mengajarkan kekerasan dan penindasan. Hal ini sama saja dengan agama-agama lokal yang juga mengajarkan pada kedamaian dan keteraturan. Namun agaknya beberapa orang dari kita salah dalam memilah mana ajaran agama dan bukan. Bukan hanya agama yang kita impor (yang pasti inti ajarannya adalah kebaikan) bahkan budaya kaku dan kekerasan di mana agama itu pertama kali tumbuh juga kita impor, kita anggap tindak kekerasan yang dilakukan oleh mereka dengan membawa nama agama kita sebut sebagai ajaran agama, seperti ISIS, Taliban, Al-Qaida dll.

Inilah fenomena yang terjadi pada sebagian penduduk negeri kita, lebih banyak mengimpor kekerasan ketimbang inti dari ajaran agama. Tidak hanya berhenti pada sebatas mengimpor, mereka berusaha memperaktekan kekerasan itu di negeri yang toleran ini, mereka tidak mampu dan mau menerima perbedaan yang telah hidup sebelum mereka ada bahkan sebelum agama yang mereka yakini hidup. Mereka tidak bisa dan mau menerima tatanan negara kita yang Pancasilais. Mereka hanya ingin memaksakan tafsiran dari kepala mereka terhadap agama supaya diterima, memaksa bagaimanapun bahwa penafsiran agama merekalah yang paling benar, dan yang lain sudah pasti salah, bahkan kafir dan halal darahnya.

Di sini kemudian muncul pertanyaan, siapakah yang memiliki otoritas terhadap agama? Sehingga dengan mudah memberikan label kafir pada orang yang berbeda dari apa yang diyakininya. Apakah MUI? Apakah Ulama’? Apakah ISIS? Atau Pendeta, Bikhu atau Siapa? Kalau mereka, apa dasarnya? Apakah itu meruapakan mandat Tuhan langsung atau hasi interpretasi mereka dari teks (kitab suci)?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas. Ada baiknya saya memulai essai yang sederhana ini dengan menguraikan terlebih dahulu pengertian otoritas dan agama. Hal ini perlu dilakukan agar dalam penulisan ini kita dapat menelaah persoalan di atas secara jelas. Terdapat dua persoalan awal yang hal itu sendiri muncul dari judul yang penulis gunakan sebelum menjawab Siapa yang berhak atas otoritas agama?

Pertama, otoritas  adalah kata benda yang mengacu pada keberhakan atas sesuatu, atau bisa kita artikan sebagai kekuasaan yang sah yang diberikan kepada orang/lembaga dalam masyarakat yang memungkinkan mereka menjalankan fungsinya. Kedua, agama, selama ini agama oleh kebanyakan orang dipahami sebagai keyakinan yang dianutnya, kemudian dalam praktisnya mereka melaksanakan ritual-formal peraktek keagamaan yang ada dan berkembang di dalam keyakinannya. Dari kondisi ini kemudian memunculkan suatu anggapan bahwa agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Inilah penjelasan umum yang kita dapatkan mengenai agama.

Lalu jika agama merupakan segenap aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam, lantas aturan itu muncul darimana, apakah dari manusia atau dari Tuhan? Kebanyakan orang mengatakannya dari Tuhan, dengan landasan bahwa Tuhan mengirimkan wahyu pada mandatarisnya (Rasul, Nabi, dll). Untuk menjawabnya, pertama kita harus memetakan bahwa agama dapat kita lihat dari sudut pandang ontologis dan epistemologis.

Agama dari sudut pandang ontologis adalah sesuatu yang mutlak dan pasti benar, ini dari sisi teis. Sebab bagi seorang teis agama ini berada pada sisi Allah Swt. Agama pada sisi ini tidak mungkin salah dan pasti benar. Agama pada aspek ini adalah ilmu Tuhan, yakni apa yang diwahyukan pada Muhammad, sehingga agama bisa kita sebut sebagai wahyu. Agama seperti ini terjadi pada diri Muhammad saat interaksi dengan Tuhan dalam proses pewahyuan. Apa yang diterima Muhammad dari Tuhan itulah yang kita sebut sebagai wahyu ketika beliau ungkapkan dalam wujud eksternal.

Setelah nabi menerima wahyu dan kemudian diungkapkan dalam wujud eksternal, muncullah wahyu yang bernama al-Qur’an dalam bentuk konkritnya (teks). Tentu al-Qur’an ini bukanlah keseluruhan ilmu Tuhan. Wahyu atau al-Qur’an inilah yang bisa kita sebut sebagai agama epistemologis. Maksudnya adalah, bahwa manusia memahami agama melalui teks dan interpretasinya dari teks baik al-Qur’an atau hadis. Tidak seperti agama ontologis yang mana Nabi Muhammad memahami agama langsung dari sisi Tuhan. Maka pada level epistemologis manusia memahami agama melalui teks wahyu. Sehingga pada tahap ini proses penafsiran dan peran akal manusia digunakan untuk membentuk pemahaman atas maksud teks yang kemudian nantinya banyak diartikan sebagai agama yang kita kenal pada umumnya.

Maka jelaslah bahwa, persoalan kita kali ini adalah persoalan agama pada tataran epistemologis. Hal ini karena, setiap ajaran agama yang muncul adalah berasal dari ijtihad manusia (ulama’) dalam memahami wahyu/teks. Sebab, selain Muhammad—dari sisi Islam—tidak ada yang bisa mencapai pada level agama ontologis itu (menerima wahyu). Pada tataran ini Muhammad memiliki otoritas mutlak terhadap agama, sebab ia ‘berinteraksi’ langsung dengan Tuhan. Sedang pada tataran epistemologis, semuanya bersifat subjektif, hal ini karena agama merupakan hasil dari interpretasi manusia, yang bisa benar dan salah. Tidak ada kesakralan pada level ini, semuanya bersifat profan. Tidak ada yang berhak atas klaim kebenaran atas penafsirannya terhadap wahyu/teks.

Lalu siapakah yang berhak atas otoritas agama? Pada level ontologis tentu Muhammad yang merupakan mandataris langsung Tuhan. Sedang pada tataran epistemologis—yang menjadi persoalan—tidak ada satupun yang berhak atas otoritas agama. Hal ini karena pada tataran epistemologis agama dihasilkan dari penafsiran teks, bukan mandat atau ajaran langsung Tuhan. Sehingga kemungkinan salah dan benar dalam memahami teks bisa saja terjadi dari sisi ontologisnya, atau bisa jadi penafsiran terhadap teks memiliki motif lainnya dari seseorang untuk melanggengkan penafsirannya sebagai suatu ajaran agama yang benar.

Kalau begitu tak ada agama yang benar jika semuanya bersifat subjektif? Pada tataran epsitemologis ini, memang semua orang bisa menafsirkan ‘agama’ nya sesuai teks. Akan tetapi tentu ada tingkatan kemampuan setiap orang dalam memahami bahasa agama/teks. Pada akhirnya orang yang memiliki pengetahuan lebih tinggi dari yang lain akan menemukan ‘kebenaran’ yang lebih dekat pada sisi ontologis sesuai kadarnya. Karena itulah pemahaman atas teks agama dan kebenaran yang didapatkan tentu bergradasi (bertingkat) serta bersifat subjektif atas kebenaran yang dicapai. Kebenaran yang paling dekat—pada wilayah ontologis ini—adalah penafsiran akan teks yang berdasarkan pada basis pengetahuan atau argumentasi yang paling jelas dan kokoh. 

Pada wilayah ontologis ini orang yang paling berhak menafsirkan teks agama adalah mereka yang memiliki pengetahuan tertinggi yang biasa kita sebut marja’ atau mufti atau di Indonesia MUI, otoritas itu dalam pandangan penulis hanya terletak pada keluasan mereka dalam memahami teks dengan ijtihadnya. Lalu dari hasil ijtihad ini bisa disebarluaskan terhadap mereka yang tidak memiliki kemampuan dalam membaca pesan agama secara langsung dalam wilayah epitemologis ini. Hanya sebatas menyebarkan, tidak ada otoritas untuk memaksakan dan membakukan kebenaran atas ijtihad mereka, sebab apa yang mereka lalukan terhadap teks bisa saja salah atau benar, dan agama dalam hal ini bukanlah hal yang mutlak benar, sebab merupakan hasil dari pemikiran. Sehingga tidak dibenarkan kalaulah menganggap dan mencap secara serampangan seseorang kafir hanya karena tidak mau mengikuti atau berbeda penafsiran dari mereka.
 wallahu a'lam

0 komentar:

Posting Komentar