Akhir-akhir ini kita sering mendengar banyaknya tindak
kekerasan dengan dasar beda keyakinan. Orang-orang dengan mudah tanpa merasa
berdosa dapat melakukan pengerusakan, pembakaran, serta pembunuhan terhadap
orang lain atas dasar keyakinan yang tak sama. Situasi ini sungguh miris dan
menyayat hati kita sebagai manusia yang di dalamnya masih memiliki nurani.
Bagaimana bisa orang dapat merusak, menghancurkan, bahkan sampai membunuh orang
dengan begitu mudahnya karena keyakinan yang berbeda?
Inilah kegelisahan yang selalu muncul di benak saya,
bagaimana bisa? Pada faktanya, hal itu benar-benar terjadi dalam kehidupan
kita, kita dapat saksikan bagaimana perang di Poso yang mengatas namakan agama
merenggut banyak nyawa, perang Sampit antara etnis Dayak dan Madura, serta beberapa tahun belakangan ini terjadi
penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang. Bukan hanya disayangkan, namun
kita sebagai bagian dari penduduk negeri ini mengecam hal yang demikian itu.
Terlebih persoalan ini tidak boleh dianggap sepele oleh negara, dalam hal ini
yang kita sepakati sebagai pengayom dan pelindung kita.
Ilustrasi: Sumber foto heyunik.blogspot.co.id
Negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi
kebebasan seseorang dalam menganut keyakinan. Karena itulah dasar negara kita
Pancasila memang didesain untuk merangkul semua golongan yang hidup dan tumbuh
di negara ini. Maka tindak kekerasan atas nama apapun bentuknya adalah bentuk
pelanggaran terhadap konstitusi kita. Melanggar konstitusi dengan sengaja sama
saja artinya melawan konstitusi, melawan konstitusi, sama saja berarti berhianat
terhadap Negara ini.
Negara kita sudah dibentuk memang untuk semua golongan,
dengan demikian tidak ada yang boleh merasa paling berhak sehingga harus
mendominasi dan mendiskriminasi yang lain. Tidak boleh yang mayoritas menindas
yang minoritas, semua di mata konstitusi kita adalah sama kedudukan, hak dan
kewajibannya dalam konteks bernegara dan berbangsa.
Secara kultur, bangsa kita sejatinya adalah bangsa yang
ramah dan toleran, bangsa kita adalah bangsa yang dapat berdampingan dengan
semua golongan. Akan tetapi, belakangan, beberapa orang atau kelompok justru
bersikap intoleran dengan satu dengan yang lain. Bila mereka tahu saja bahwa
tetangganya berbeda keyakinan dengannya pasti
enggan menyapa apalagi mambantu. Konflik-konflik agama atau konflik
dalam satu komunitas agama yang berbeda mazhab hampir tak pernah absen hadir
setiap tahunnya dalam perjalanan berbangsa dan bernegara kita. Ini semua bisa
jadi, karena kita lupa identitas kita sebagai bangsa yang ramah dan memang
ditakdirkan Tuhan untuk majemuk.
Kita lupa bahwa sejatinya agama-agama besar yang kita
anut sekarang adalah agama impor, agama yang berkembang di luar dari diri kita.
Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu semua itu adalah agama yang kita impor
dari luar. Kita dapat menerima agama itu di negara kita karena agama-agama
tersebut selalu mengajarkan kepada kebaikan dan kedamaian, tidak ada satupun
agama akan mengajarkan kekerasan dan penindasan. Hal ini sama saja dengan
agama-agama lokal yang juga mengajarkan pada kedamaian dan keteraturan. Namun
agaknya beberapa orang dari kita salah dalam memilah mana ajaran agama dan
bukan. Bukan hanya agama yang kita impor (yang pasti inti ajarannya adalah
kebaikan) bahkan budaya kaku dan kekerasan di mana agama itu pertama kali
tumbuh juga kita impor, kita anggap tindak kekerasan yang dilakukan oleh mereka
dengan membawa nama agama kita sebut sebagai ajaran agama, seperti ISIS,
Taliban, Al-Qaida dll.
Inilah fenomena yang terjadi pada sebagian penduduk negeri
kita, lebih banyak mengimpor kekerasan ketimbang inti dari ajaran agama. Tidak
hanya berhenti pada sebatas mengimpor, mereka berusaha memperaktekan kekerasan
itu di negeri yang toleran ini, mereka tidak mampu dan mau menerima perbedaan
yang telah hidup sebelum mereka ada bahkan sebelum agama yang mereka yakini
hidup. Mereka tidak bisa dan mau menerima tatanan negara kita yang Pancasilais.
Mereka hanya ingin memaksakan tafsiran dari kepala mereka terhadap agama supaya
diterima, memaksa bagaimanapun bahwa penafsiran agama merekalah yang paling
benar, dan yang lain sudah pasti salah, bahkan kafir dan halal darahnya.
Di sini kemudian muncul pertanyaan, siapakah yang memiliki
otoritas terhadap agama? Sehingga dengan mudah memberikan label kafir pada
orang yang berbeda dari apa yang diyakininya. Apakah MUI? Apakah Ulama’? Apakah
ISIS? Atau Pendeta, Bikhu atau Siapa? Kalau mereka, apa dasarnya? Apakah itu
meruapakan mandat Tuhan langsung atau hasi interpretasi mereka dari teks (kitab
suci)?
Sebelum
menjawab pertanyaan di atas. Ada baiknya saya memulai essai
yang sederhana ini dengan menguraikan terlebih dahulu pengertian
otoritas dan agama. Hal ini perlu dilakukan agar dalam penulisan ini kita dapat
menelaah persoalan di atas secara jelas. Terdapat dua persoalan awal yang hal
itu sendiri muncul dari judul yang penulis gunakan sebelum menjawab Siapa yang
berhak atas otoritas agama?
Pertama, otoritas adalah kata benda yang mengacu pada keberhakan
atas sesuatu, atau bisa kita artikan sebagai kekuasaan yang sah yang diberikan
kepada orang/lembaga dalam masyarakat yang memungkinkan mereka menjalankan
fungsinya. Kedua, agama, selama ini agama oleh kebanyakan orang dipahami
sebagai keyakinan yang dianutnya, kemudian dalam praktisnya mereka melaksanakan
ritual-formal peraktek keagamaan yang ada dan berkembang di dalam keyakinannya.
Dari kondisi ini kemudian memunculkan suatu anggapan bahwa agama adalah sistem
yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya. Inilah
penjelasan umum yang kita dapatkan mengenai agama.
Lalu
jika agama merupakan segenap aturan yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam, lantas aturan itu
muncul darimana, apakah dari manusia atau dari Tuhan? Kebanyakan orang
mengatakannya dari Tuhan, dengan landasan bahwa Tuhan mengirimkan wahyu pada mandatarisnya (Rasul, Nabi, dll). Untuk menjawabnya, pertama kita harus memetakan bahwa agama dapat
kita lihat dari sudut pandang ontologis dan epistemologis.
Agama
dari sudut pandang ontologis adalah sesuatu yang mutlak dan pasti benar, ini dari sisi teis. Sebab bagi seorang teis agama ini
berada pada sisi Allah Swt. Agama pada sisi ini tidak mungkin salah dan pasti
benar. Agama pada aspek ini adalah ilmu Tuhan, yakni apa yang diwahyukan pada
Muhammad, sehingga agama bisa kita sebut sebagai wahyu. Agama seperti ini terjadi
pada diri Muhammad saat interaksi dengan Tuhan dalam proses pewahyuan. Apa
yang diterima Muhammad dari Tuhan itulah yang kita sebut sebagai wahyu ketika
beliau ungkapkan dalam wujud eksternal.
Setelah
nabi menerima wahyu dan kemudian diungkapkan dalam wujud eksternal, muncullah
wahyu yang bernama al-Qur’an dalam bentuk konkritnya (teks). Tentu al-Qur’an
ini bukanlah keseluruhan ilmu Tuhan. Wahyu atau al-Qur’an inilah yang bisa kita
sebut sebagai agama epistemologis. Maksudnya adalah, bahwa manusia memahami
agama melalui teks dan interpretasinya dari teks baik al-Qur’an atau hadis.
Tidak seperti agama ontologis yang mana Nabi Muhammad memahami agama langsung
dari sisi Tuhan. Maka pada level epistemologis manusia memahami agama melalui
teks wahyu. Sehingga pada tahap ini proses penafsiran dan peran akal manusia
digunakan untuk membentuk pemahaman atas maksud teks yang kemudian nantinya
banyak diartikan sebagai agama yang kita kenal pada umumnya.
Maka
jelaslah bahwa, persoalan kita kali ini adalah persoalan agama pada tataran
epistemologis. Hal ini karena, setiap ajaran agama yang muncul adalah berasal
dari ijtihad manusia (ulama’) dalam memahami wahyu/teks. Sebab, selain Muhammad—dari sisi Islam—tidak ada yang bisa mencapai pada level agama ontologis itu
(menerima wahyu). Pada tataran ini Muhammad memiliki otoritas mutlak terhadap
agama, sebab ia ‘berinteraksi’ langsung dengan Tuhan. Sedang pada tataran
epistemologis, semuanya bersifat subjektif, hal ini karena agama merupakan
hasil dari interpretasi manusia, yang bisa benar dan salah. Tidak ada
kesakralan pada level ini, semuanya bersifat profan. Tidak ada yang berhak atas
klaim kebenaran atas penafsirannya terhadap wahyu/teks.
Lalu
siapakah yang berhak atas otoritas agama? Pada level ontologis tentu Muhammad
yang merupakan mandataris langsung Tuhan. Sedang pada tataran
epistemologis—yang menjadi persoalan—tidak ada satupun yang berhak atas
otoritas agama. Hal ini karena pada tataran epistemologis agama dihasilkan dari
penafsiran teks, bukan mandat atau ajaran langsung Tuhan. Sehingga kemungkinan
salah dan benar dalam memahami teks bisa saja terjadi dari sisi ontologisnya, atau bisa jadi
penafsiran terhadap teks memiliki motif lainnya dari seseorang untuk melanggengkan
penafsirannya sebagai suatu ajaran agama yang benar.
Kalau begitu tak ada agama yang benar jika semuanya
bersifat subjektif? Pada tataran epsitemologis ini, memang semua orang bisa
menafsirkan ‘agama’ nya sesuai teks. Akan tetapi tentu ada tingkatan kemampuan
setiap orang dalam memahami bahasa agama/teks. Pada akhirnya orang yang
memiliki pengetahuan lebih tinggi dari yang lain akan menemukan ‘kebenaran’
yang lebih dekat pada sisi ontologis sesuai kadarnya. Karena itulah pemahaman
atas teks agama dan kebenaran yang didapatkan tentu bergradasi (bertingkat)
serta bersifat subjektif atas kebenaran yang dicapai. Kebenaran yang paling
dekat—pada wilayah ontologis ini—adalah penafsiran akan teks yang berdasarkan
pada basis pengetahuan atau argumentasi yang paling jelas dan kokoh.
Pada
wilayah ontologis ini orang yang paling berhak menafsirkan teks agama adalah
mereka yang memiliki pengetahuan tertinggi yang biasa kita sebut marja’ atau
mufti atau di Indonesia MUI, otoritas itu dalam pandangan penulis hanya
terletak pada keluasan mereka dalam memahami teks dengan ijtihadnya. Lalu dari
hasil ijtihad ini bisa disebarluaskan terhadap mereka yang tidak memiliki
kemampuan dalam membaca pesan agama secara langsung dalam wilayah epitemologis
ini. Hanya sebatas menyebarkan, tidak ada otoritas untuk memaksakan dan
membakukan kebenaran atas ijtihad mereka, sebab apa yang mereka lalukan terhadap
teks bisa saja salah atau benar, dan agama dalam hal ini bukanlah hal yang
mutlak benar, sebab merupakan hasil dari pemikiran. Sehingga tidak dibenarkan
kalaulah menganggap dan mencap secara serampangan seseorang kafir hanya karena
tidak mau mengikuti atau berbeda penafsiran dari mereka.
wallahu a'lam







0 komentar:
Posting Komentar