Rabu, 09 Maret 2016

ORGANISASI SARUNGAN BERWAJAH MODERAT

Sumber Foto: muslimedianews.com
Nahdhatul ulama atau NU adalah organisasi massa berbasis agama Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Organisasi yang secara formal berdiri pada tanggal 31 januari 1926, atas prakarsa para ulama waktu itu. Salah satu tokoh penting dalam pendiri organisasi ini adalah K.H. Hasyim Asyari, beliau adalah seorang tokoh sentral dalam terbentuknya organisasi yang berperan besar dalam perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini. Hingga beliau sendiri mendapat gelar yang tinggi dikalangan Nahdhiyin, dengan gelarnya Hadratus Syaikh (guru Agung).

Berbicara organisasi yang satu ini tentu tidak terlepas dari sejarah terbentuk dan misi yang dibawanya dalam pembentukannya. Di Indonesia sendiri terdapat berbagai macam organisasi massa, dalam internal Islam sendiri pun juga demikian, tumbuh dan berkembang berbagai bentuk organisasi, baik yang asli terlahir dari rahim Indonesia sendiri maupun yang diimpor dari luar (produk asing). Untuk menyederhanakan pembahasan, saya membagi model organisasi Islam yang terlahir asli dari rahim Indonesia dalam tulisan ini secara umum menjadi dua, pertama  organisasi yang mewakili kelompok tradisionalis dan kedua  organisasi yang mewakili kelompok modernis.

Kelempok tradisionalis sendiri sering diidentikkan dengan kelompok tua, dan kelompok modernis adalah bagian yang mewakili kelompok muda. NU sendiri adalah organisasi yang mewakili kelompok tadisionalis, dan di sisi lain kelompok modernis diwakli oleh Muhammadiyah, SI (Serikat Islam), Al-Irsyad, dan Persis. Fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah NU sebagai organisasi yang memiliki keunikan (organisasi sarungan) sebagai organisasi terbesar di Indonesia dan dunia yang memegang nilai-nilai serta prinsip tadisionalitas dalam perjalanannya bersama bangsa Indonesia, tanpa sedikitpun bermaksud menafikkan peran organisasi massa berbasis Islam lainnya seperti yang telah disebutkan.
Lahirnya NU sendiri disebut sebagai suatu reaksi untuk menandingi organisasi massa Islam modernis yang secara formal lebih dahulu terbentuk, seperti Muhammadiyah pada tahun1902. Pendapat ini mengatakan, bahwa adanya ketakutan dari golongan tradsionalis yang dalam hal ini diwakili kelompok tua atas pengaruh organisasi modernis yang mengusung pembaharuan dalam sendi-sendi keberagamaan di Indonesia inilah yang melatarbelakangi terbentuknya NU. Namun agaknya pendapat ini kurang begitu tepat, sebab apabila NU dibentuk atas dasar itu, seharusnya NU lahir jauh lebih awal dari organisasi modernis tersebut, atau paling tidak, tidak berjarak terlalu jauh dengan waktu terbentuknya organisasi massa Islam modernis tersebut, sebab secara kultural tradisi ke-NU-an telah ada jauh sebelum NU secara formal dibentuk.

Sebagai suatu organisasi yang notabene diartikan sebagai organisasi yang mewakili kelompok tradisional, merupakan suatu bukti bahwa adanya toleransi sebagai syarat menjaga pelayanan keagamaan yang berdasarkan Ahlus sunnah wal jama’ah atau Sunni di Indonesia. Sebab sebagai suatu organisasi keagamaan, NU sendiri adalah organisasi yang menyatakan dirinya sebagai organisasi yang melanjutkan tradisi-tradisi Ahlus sunnah wal jama’ah atau Sunni yang dalam hal fiqih mengakui Imam yang empat (Al-Madzahib al-Arba’ah); Hanafiyyah, Malikiyyah, Shafi’iyyah, dan Hambaliyyah. Dalam konteks ini NU telah mengakui dan memberikan tolerir kepada anggotanya untuk berbeda  dalam menjalankan hukum agamanya sesuai madzhab empat yang diakui.

Menurut Dr. Phil. Gustiana Isya Marjani dalam penelitiannnya mengenai NU dalam buku Wajah Toleransi NU (RMBOOKS:2012: 185-186) dijelaskan bahwa ada tiga faktor utama yang melatarbelakangi berdirinya NU. Pertama, sebagaimana sudah dijelaskan diawal bahwa banyak peneliti menyimpulkan NU didirikan sebagai tanggapan terhadap munculnya berbagai organisasi Islam Indonesia modern. Menurut Gustiana, kesimpulan tersebut tidaklah salah. Menurutnya latar belakang utama berdirinya Nu karena didasari munculnya masalah khilafah dan perkembangan Islam di Timur Tengah (Kairo dan Hijaz). Masalah inilah yang kemudian ditanggapi umat Islam Indonesia dimana ada dua kelompok yang merasa bertanggung jawab atas perihal ini yaitu kelompok tradisionalis dan modernis. Dikatakan oleh Gustiana bahwa jika NU hanya didirikan sebagai tanggapan terhadap munculnya organisasi-organisasi Islam modern, maka seharusnya NU muncul sebelum 1926, atau setidaknya muncul beberapa tahun setelah berdirinya organisasi-organisasi Islam modern.

Kedua, menurut penelitiannya, kaum modernis yang ada di Komite Sentral Hilafat (Centre  Committee for Hilafat) tidak mendukung permintaan kaum tradisionalis agar Raja Sa’ud penguasa baru Hijaz pada saat itu yang berlatar belakang Wahabi haruslah memberikan tolerir masyarakat Islam Indonesia dalam melaksanakan Islam berdasarkan prinsip-prinsip keempat Imam mazhab (tradisi Sunni). Karena hal itulah para ulama pada akhirnya membentuk komite sendiri. Dan dalam pandangan Gustiana latar belakang inilah yang paling relevan dalam pembentukan NU. Ketiga, hal ini tak dapat ditolak, bahwa didirikannya NU merupakan kontribusi besar ulama dalam mengakhiri penjajahan di Indonesia dengan cara yang lebih moderat dan teratur, selain juga melindungi umat Islam dari pengaruh penetrasi budaya Barat dan Kristenisasi oleh pemerintah kolonial Belanda.

90 tahun sudah usia NU saat ini, pasang surut perjalanan organisasi Islam tradisional ini pun mewarnai perjalanannya dalam mengawal dan mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia. NU sebagai suatu organisasi terbesar dengan berbagai peran serta upayanya dalam mencapai kehidupan yang harmonis di negeri ini sejak sebelum Indonesia merdeka adalah suatu fakta yang tak dapat disangkal. Pada awal ketika organisasi ini berdiri terjadi berbagai pergolakan di kalangan umat Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu kelompok tradisionalis dan modernis. Konflik internal yang terjadi dikalangan umat Islam itu disebabkan adanya perbedaan pemahaman serta persepsi dalam memahami doktrin-doktrin agama yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Perbedaan yang muncul adalah lebih banyak bersifat fiqhiyah. Kelompok tradisionalis sendiri dalam mengambil keputusan fiqih itu pertama-tama diambil berdasarkan kitab-kitab klasik yang ditulis oleh empat Imam madzhab Sunni, kalau hal itu tidak ditemukan maka mereka pun merujuk ke Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara kalangan modernis dalam membuat keputusan fiqhnya pertama dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah. Bila kedua sumber utama itu tidak menyebutkan secara detail, maka mereka pun merujuk pada kitab-kitab fiqh kontemporer.

Di usia yang telah melewati satu generasi usia manusia ini, NU telah mengalami pasang surut perjalanan keorganisaian. Masa suram NU disebut-sebut terjadi pada tahun 1952-1973 ketika  NU memutuskan untuk menjadi organisasi politik yang independen dengan bergabung pada PPP. Meski pada tahun 1945 sebelumnya NU telah menjadi bagian dari Masyumi yang juga merupakan organisasi politik pada masa kolonialisme Jepang hingga pada masa Soekarno sebelum akhirnya dibubarkan, pada tahun 1952-1973 inilah NU dianggap telah keluar jauh dari jalur organisasi 1926. Banyak hal yang terabaikan dalam hal pemberdayaan masyarakat, pendidikan, serta pengembangan pemahaman keagamaan masyarakat yang hampir tak dijamah, karena NU terlalu sibuk dalam hal politik pada masa-masa itu. Kenyataan ini menimbulkan kekhawatiran para ulama dan pemuda NU, mereka melakukan instropeksi dan reorientasi sejarah terhadap sikap NU, sheingga wacana kembali ke khittah 1926 pun menguak ke permukaan.

Meski begitu, secara faktual sejarah, NU adalah organisasi keagamaan yang telah memberikan banyak sumbangsih terhadap bangsa ini mulai dari massa perjuangan hingga saat ini. NU  telah menjadi satu-satunya organisasi yang berani menyatakan sikap untuk menerima asas tunggal Pancasila sebagai asas organisasi sebelum pemerintah Orba memerintahkan dan mengaturnya. NU telah banyak mencetak kader-kader yang memiliki peran besar bagi bangsa ini seperti; KH. Hasim Asy’ari, Wahid Hasim (anggota perumus Pancasila), KH Ahmad Sidiq (Rais ‘am NU) yang merumuskan sikap warga Nahdhiyin harus toleran dan seimbang, yang kemudian diperjelas konsepnya yang sekaligus juga klimaksnya oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (Presiden RI ke-4 dari organisasi sarungan/pesantren) yang dianggap sebagai bapak bangsa atau juga bapak pluralisme. NU sebagai organisasi sarungan yang memegang nilai-nilai lama yang baik serta tidak menutup diri dari nilai-nilai baru yang lebih baik, telah banyak memberikan sumbangsih bagi bangsa Indonesia. Organisasi ini telah memberikan kerja nyata dalam mengawal NKRI, menerima Pancasila sebagai asas Negara yang dianggap telah bernilai Islami (nilai-nilai universal), serta menjadi organisasi yang moderat dan toleran dengan menerima kebinekaan sebagai suatu kenyataan hidup yang harus diterima dan dipelihara secara bijaksana.

0 komentar:

Posting Komentar